Bab 10 : Mertua vs Menantu (2)

...****************...

Pagi yang tenang tiba-tiba terusik oleh dering telepon.

Gue, yang masih leyeh-leyeh di sofa sambil makan es krim (lagi), melirik ke arah Teddy yang baru selesai mandi.

Dia mengernyit pas lihat layar ponselnya. Terus, dia mendesah pelan.

"Siapa?" tanya gue curiga.

Teddy mengangkat ponsel ke arah gue. "Nyokap."

Gue langsung keselek es krim.

"UHUK! UHUK! UHUK! ASTAGA!"

Teddy buru-buru nyodorin air putih sambil nahan tawa.

"Santai. Jangan panik dulu."

Gue langsung menyambar gelas itu dan meneguknya.

"GIMANA GUE NGGAK PANIK?! JANGAN BILANG DIA NYURUH KITA KE SANA!"

Teddy melirik gue sekilas. "Ya... mungkin?"

GUE LANGSUNG MOLOTOT.

"NGGAK MAU! MALES! GUE NGGAK ADA URUSAN SAMA DIA!"

"Aira, dengerin dulu—"

"NGGAK MAU!"

Dering telepon itu masih berbunyi. Teddy menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkatnya.

"Iya, Ma?"

Gue langsung pura-pura sibuk mainin kuku.

Dari nada suara di speaker, gue bisa denger jelas suara nyokapnya yang sok manis.

"Teddy, kapan kalian ke rumah? Masa setelah nikah nggak pernah main ke sini? Mama mau ketemu menantu Mama, dong."

Teddy melirik gue sebentar, terus balik jawab.

"Nanti aku kabarin lagi, Ma."

"Nanti itu kapan?"

Gue menggeram pelan. Teddy buru-buru ngomong lagi. "Secepatnya, Ma. Aku tutup dulu ya."

Dan klik!

Telepon ditutup.

Gue langsung ngebom dia.

"TEDDY, GUE NGGAK MAU KE SANA!"

"Aira—"

"NYOKAP LO MENYEBALKAN! DIA BAKAL NGATAIN GUE LAGI!"

Teddy menarik napas dalam. Terus, dia duduk di sebelah gue, meraih tangan gue dengan lembut.

"Sayang..."

GUE MENDADAK MERINDING SEBADAN-BADAN.

"Jangan panggil gue gitu, bulu kuduk gue berdiri."

Dia mengabaikan komentar gue dan malah menggenggam tangan gue lebih erat.

"Dengerin, ya. Gue janji nggak bakal ninggalin lo sendirian di sana. Kalau nyokap ngomong yang aneh-aneh, gue bakal belain lo. Nggak peduli dia ibu gue, lo tetap istri gue."

Gue diam. Sial. GUE MULAI GOYAH!

"Please?" Teddy menatap gue penuh harapan.

Gue mendengus. "Gue nggak suka diatur-atur."

"Nggak ada yang ngatur lo. Kita cuma kunjungan biasa. Nggak bakal lama."

Gue mengerucutkan bibir.

"Serius lo bela gue dibanding nyokap lo?"

Teddy mengangguk yakin. Gue menyipitkan mata.

"Kalo dia bandingin gue sama mantan lo lagi?"

"Gue bakal jawab kalau istri gue sekarang jauh lebih baik dan lebih seksi."

GUE SEMPAT TERDIAM.

Terus, gue refleks nendang dia. "MESUM!"

Teddy malah ketawa. Akhirnya, gue mendesah panjang.

"Huft... YA UDAH! Tapi cuma sejam doang, nggak lebih!"

Teddy tersenyum puas.

"Deal."

Gue langsung manyun. Semoga gue nggak mati kebanyakan nahan emosi nanti.

Begitu gue masuk ke rumah keluarga Teddy, gue udah bisa nebak bakal ada tsunami omongan menyebalkan.

Dan bener aja!

"Oh, Aira, akhirnya datang juga," suara nyokapnya Teddy langsung terdengar begitu kami masuk. "Biasanya kalau mantan istrinya Teddy datang, dia langsung sigap ke dapur bantu masak, ngajak ngobrol, bikin suasana lebih hidup."

GUE LANGSUNG MENAHAN NAFAS. Belum semenit gue di sini, udah dibandingin? SERIOUSLY?!

Teddy langsung melirik gue, mungkin takut gue ngamuk. Tapi gue cuma melipat tangan di dada dan membalas dengan senyum super palsu.

"Oh gitu ya, Tante. Tapi saya bukan dia, kan? Kalau saya ikut-ikutan masuk dapur, nanti malah ribet. Saya tuh spesialis nyobain makanan, bukan masak."

Mertua gue langsung manyun.

"Kok gitu, sih? Masa nggak ada inisiatif buat bantu-bantu?"

Gue menaikkan alis.

"Lah, kan di rumah ini ada asisten rumah tangga. Ngapain repot-repot?"

Nyokap Teddy langsung memutar bola matanya, sementara Teddy berdeham kecil.

"Ma, kita ke sini cuma mau berkunjung sebentar. Jangan mulai, ya."

Mata nyokapnya langsung melotot. "Mulai apaan? Mama cuma kasih tahu kebiasaan istri yang baik!"

Gue senyum miring.

"Berarti mantan istri Teddy baik banget, ya? Tapi tetep aja cerai."

BRUH!

Teddy langsung batuk nahan ketawa. Pelayan rumah yang nguping dari dapur pun mendadak sibuk beres-beres padahal gak ada yang perlu diberesin.

Mertua gue diem sejenak, kayak lagi nyari cara buat bales omongan gue. Akhirnya, dia cuma mendesah dramatis.

"Ya udahlah. Duduk sana, Mama minta teh buat kalian."

Gue pun duduk di sofa, sementara Teddy mencubit pinggang gue pelan.

"Lo sengaja nyolot, ya?" bisiknya.

Gue nyengir. "Namanya juga hiburan."

Teddy geleng-geleng kepala, tapi gue bisa lihat dia juga nahan senyum. Tunggu aja, gue yakin ini belum selesai.

Suasana ruang tamu keluarga Teddy makin memanas.

Gue duduk dengan anggun di sofa, tersenyum sopan, tapi tiap kali nyokap Teddy ngomong, otak gue langsung muter cari balasan.

"Dulu kalau mantan istrinya Teddy ke sini, dia tuh nggak pernah diem aja kayak tamu. Dia langsung ke dapur, bantu-bantu, tanya kabar ini itu. Beda banget sama kamu, Aira."

Gue langsung melirik Teddy. "Mantan lo nggak kerja, ya? Kok nganggur banget?"

Teddy langsung batuk-batuk nutupin tawa.

Nyokapnya menegang, tapi berusaha senyum. "Ya, dia memang lebih banyak di rumah. Perempuan yang baik itu harusnya lebih fokus ke rumah tangga, kan?"

Gue mengangguk-angguk sok setuju. "Oh iya, Tante. Tapi kalau gitu, kenapa tetep cerai?"

DEG.

Gue bisa lihat wajah nyokap Teddy makin berkerut.

"Aira, kamu nggak usah ngomongin hal itu."

Gue nyengir. "Lho, tadi Tante yang mulai nyebut-nyebut dia duluan."

Teddy langsung menggigit bibir nahan ketawa.

Para pelayan di dapur juga sibuk menunduk, pasti biar nggak ketahuan kalo mereka dengerin perang ini.

Tapi nyokap Teddy bukan orang yang gampang kalah.

Dia memandang gue dari atas sampai bawah, lalu berkata dengan nada yang bikin gue merinding.

"Yah, tapi namanya juga kalau nggak ada orang tua, gitu ya. Didikannya jadi minus."

DEG.

Gue langsung membeku. Udara seketika terasa berat.

Jantung gue berdetak kencang, tapi gue menahan wajah gue tetap datar. Nyokap Teddy tersenyum tipis, mungkin mengira dia menang. Gue menarik napas.

Lalu gue menatapnya langsung dengan ekspresi penuh simpati, kayak lagi kasihanin seseorang.

"Oh, Tante. Pantesan aja mantan Teddy dididik dengan baik sama orang tuanya. Tapi tetep aja gagal bikin suami betah. Berarti didikan orang tua juga bukan jaminan, ya?"

SREEET!

Gue bisa lihat wajah mertua gue seketika berubah merah.

Teddy langsung menggenggam tangan gue di bawah meja, mungkin takut gue lanjut nyolot.

Pelayan di dapur salah satu ada yang kesedak air minum. Sumpah, gue mau ketawa, tapi gue tahan. Suasana jadi tegang.

Akhirnya, Teddy memutuskan untuk menyudahi perang ini.

"Ma, kayaknya udah cukup deh ngomongin ini. Kita kan ke sini buat silaturahmi, bukan buat debat."

Nyokapnya Teddy menarik napas panjang, jelas banget lagi nahan emosi.

Gue cuma tersenyum manis dan menyesap teh gue dengan tenang.

"Iya, Tante. Kita ngobrol yang enak-enak aja, yuk."

Teddy memandang gue dengan ekspresi antara bangga dan takut. Gue tahu, ini belum akhir dari segalanya.

Tapi setidaknya, untuk ronde ini, gue menang.

.

.

.

Next 👉🏻

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!