Part 15

Bam!

Rendra menutup pintu dengan kencang hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras..

Bi Iren dan ki Seto yang saat itu belum tidur, langsung menghampirinya di ruang tengah.

"Ren, kenapa pintunya ditutup seperti itu? Kamu bikin heboh aja tengah malam," ucap bi Iren.

"Pulangnya kenapa selarut ini? Semuanya baik-baik aja kan?" tanya ki Seto terlihat khawatir.

Rendra memandang nenek dan kakeknya dengan tajam. "Kasih tahu sama Rendra yang sejujurnya, Nek!" ucap Rendra dengan penuh penekanan.

"Kasih tahu apa?" tanya bi Iren dengan perasaan mulai was-was.

"Tentang anaknya mbak Mulan." Rendra berjalan menjauhi pintu, ia memilih duduk lesehan dan menyandarkan punggungnya ke dinding. "Hufh..." Rendra mengipas-ngipas wajahnya yang mulai terasa panas dengan tangannya.

"Nenek tidak mengerti maksud kamu, Ren."

"Masih juga tidak mau ngaku," ucap Rendra sinis, ia tidak suka dibohongi. Kebohongan neneknya akan mendatangkan malapetaka bagi banyak orang.

Ki Seto menatap sang istri dengan cukup rumit, beliau sendiri tidak paham maksud Rendra. Kalau ki Seto tidak tahu akan apa yang sudah terjadi dengan Mulan, itu wajar saja. Karena malam di mana ritual tersebut dilakukan, ki Seto berada di rumahnya.

Ki Seto tidak tahu menahu soal anak kembarnya Mulan.

"Ren, kamu curiga sama nenek? Kamu mau menuduh nenek merahasiakan tentang Mulan dari kalian?"

"Ini bukan tuduhan, tapi ini fakta, Nek!" ucap Rendra.

"Bu, ayo ngomong jujur sama bapak! Apa kamu ikut terlibat dalam masalah ini? Sudah cukup kita merahasiakan tentang jasad pak Purnomo, jangan lagi ada rahasia lain yang belum kami ketahui."

Bi Iren menghela napas berat, sudah lama sebenarnya beliau ingin menceritakan hal ini pada cucu dan suaminya, namun bi Iren takut. Selama ini dia juga tidak hidup tenang, karena terus dihantui oleh rasa bersalah terhadap Mulan.

"Nak, nenek membawa anak Mulan menuju hutan di sebelah jalan menuju Desa Winara. Tidak tahu anak itu masih hidup atau tidak sampai sekarang," ucap bi Iren.

"Jadi beneran kalau mbak Mulan punya anak kembar?" tanya Rendra memastikan.

Ki Seto terbelalak mendengarnya, sungguh beliau tidak tahu hal itu.

"Mulan punya anak kembar?"

"Benar, Pak."

Rendra tersenyum senang, dia sangat bahagia karena telah berhasil membuat neneknya mengaku.

"Tapi, kenapa kamu tahu soal anak Mulan?" tanya ki Seto, lelaki tua itu mulai menangkap keanehan pada sang cucu.

"Sebelum pulang tadi, aku mampir ke rumah pak Bachtiar. Di sana, mereka menceritakan semuanya. Tentang jasad pak Purnomo dan bu Arum yang berada di ruang bawah tanah, juga tentang bayi kembarnya mbak Mulan. Kalau tidak ada Andini, mungkin mereka semua tidak akan pernah tahu hal ini, karena nenek dan kakek terus saja merahasiakan semuanya dari mereka," cicit Rendra.

Bi Iren termenung sambil menatap luruh ke depan. "Besok nenek akan menjelaskan semuanya sama keluarga pak Bachtiar, kamu enggak usah khawatir lagi akan hal itu."

Setelah obrolan singkat dengan neneknya berakhir, Rendra berlalu masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar dia masih terbayang dengan sosok Mulan yang tadi menghantuinya di perjalanan pulang.

Rendra masih beruntung, dia tidak dijadikan mangsanya wanita itu. Mulan hanya menakutinya saja, dan setelah itu dia menghilang.

Para warga di desa jadi heboh dengan teror arwah Mulan. Bi Iren yang pagi itu sedang berjalan menuju rumah pak Bachtiar, terhenti saat mendengar pengumuman dari kepala desa.

Seluruh warga tampak sedang berkumpul di depan rumah kepala desa, bi Iren menghentikan langkahnya dan ikut bergabung dengan mereka.

"Para warga desa Karang, hari ini saya tegaskan kepada semuanya. Bahwa mulai malam ini, penjagaan akan semakin diperketat, bagi ibu hamil dilarang keluar jika hari sudah sore." Pak Yono memperhatikan warganya satu per satu.

Riuh rendah suara warga menjadikannya suasana tak terkendali. Ada yang protes, ada juga yang setuju.

"Mana bisa seperti itu, Pak. Saya kerja, warung saya buka tiap malam. Masa iya enggak boleh keluar," protes Wati.

"Iya, nanti saya sama Wati makan apa kalau enggak jualan?" tambah ibunya lagi.

Wati baru saja ditinggal pergi suaminya bekerja di kota, itu sebabnya Wati memutuskan untuk berjualan guna mencukupi kebutuhan sehari-harinya dan sang ibu.

Perempuan itu sedang dalam keadaan mengandung dengan usia dua bulan. Peraturan baru ini tentu membuatnya cukup kerepotan, tapi pak Yono adalah orang yang tegas. Semua aturan yang sudah ditetapkan tidak boleh dilanggar oleh siapa pun itu.

"Wati, kamu bisa jualan di depan rumah aja. Enggak perlu pergi ke warung, karena jarak antara warung dengan rumah kamu itu lumayan jauh. Kalau di rumah, kamu bisa berjualan dengan leluasa tanpa perlu mengkhawatirkan ancaman dari arwahnya Mulan," ucap pak Yono memberi saran.

Masih saja ada yang tidak setuju dengan peraturan yang dibuat pak Yono. Salah satu warga angkat bicara, dia dengan gagah beraninya maju ke depan dengan posisi menghadap ke arah para warga.

"Saya tidak setuju! Seharusnya yang kita lakukan adalah mencari tahu orang yang sudah membunuh Mulan. Lalu kita suruh orang itu untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada kampung kita. Gimana para warga? Setuju tidak?" tanya si lelaki itu.

Seolah sedang memprovokasi para warga, lelaki itu memandang ke arah pak Yono dengan kerlingan tajam.

"Apa maksud kamu, Tang? Jangan memperkeruh suasana."

"Apa yang Tatang katakan tidak salah, Pak. Saya setuju!" sahut salah satu warga.

"Saya juga."

Yang lain ikut menimpali, bi Iren terpojok. Wanita tua itu tidak tahu harus gimana melewati ini semua.

Tidak ada yang tahu kalau dialah penyebab Mulan gentayangan.

Buru-buru bi Iren pergi sebelum ada warga yang menyadari kehadiran dirinya di sana.

Bi Iren melangkah pelan-pelan keluar dari kerumunan, saat dirinya sudah keluar dari barisan, bu Marni malah memanggil namanya.

"Bi Iren, tunggu!" seru bu Marni.

Semua mata yang awalnya fokus sama Tatang, kini beralih menatap bi Iren.

Bi Iren mematung, dia tidak langsung membalikkan badannya. Hatinya sungguh dilema, antara mengabaikan panggilan bu Marni atau menanggapinya.

"Kalau saya pergi sekarang dengan alasan buru-buru ke kebun teh, mereka pasti akan berpikir kalau saya sedang berusaha menghindar," pikir bi Iren.

Bi Iren berbalik arah, mencoba bersikap sesantai mungkin. Beliau sangat berharap kalau bu Marni tidak mengungkit soal kematian pak Purnomo dan Mulan yang saat itu menghilang secara tiba-tiba.

"Iya, ada apa ya, Bu Marni?"

"Nah, itu bi Iren. Sebaiknya kita tanyakan masalah ini sama beliau. Bukankah hilangnya Mulan dulu ada desas-desus kalau dia dijadikan tumbal oleh keluarga pak Purnomo."

Ternyata yang mengungkit kejadian tersebut bukanlah bu Marni, tapi Tatang.

"Iya juga ya, kan bi Iren dekat dengan keluarga mereka. Pasti dia tahu alasan Mulan datang meneror warga di sini."

Omongan-omongan dari mulut para warga tak bisa dihentikan. Bi Iren harus bisa memberikan mereka jawaban yang masuk akal.

"Maaf semuanya, saya memang bekerja dengan keluarga pak Purnomo. Saya dekat dengan mereka, tapi bukan berarti semua hal pribadi mereka saya ketahui. Soal Mulan saya tidak tahu apa dia dijadikan tumbal oleh mereka atau tidak, saya beneran tidak tahu," jawab bi Iren. Saat ini dirinya harus pintar-pintar cari aman, supaya nyawanya tetap terjamin.

"Bagaimana dengan jasad pak Purnomo?" tanya bu Marni, "apa bi Iren tidak tahu juga di mana jasad mereka?"

Deg!

"Bu Marni, saya tidak tahu apa yang kamu inginkan dari saya," balas bi Iren.

"Bi, saya cuma tidak mau warga di sini jadi korban. Sudah cukup bu Yati yang dibunuh oleh Mulan, dan kita enggak bisa diam aja seperti ini."

Bu Marni sebenarnya tidak bermaksud memojokkan wanita tua di depannya. Hanya saja dia juga khawatir akan keselamatan warga lainnya, di pagi hari begini mungkin mereka bisa duduk tenang, tapi di malam hari? Ketenangan itu mulai memudar seiring dengan datangnya teror Mulan.

"Ren, di mana nenek kamu?" tanya ki Seto.

"Enggak tahu, Kek. Rendra pergi lewat jalan perkebunan, jadi Rendra tidak melihat nenek ada di mana."

Mereka sudah hampir satu jam menunggu kedatangan bi Iren di rumah pak Bachtiar. Tidak ada yang tahu kalau saat ini bi Iren sedang mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari pertanyaan para warga seputar masa lalu Purnomo.

"Assalamualaikum," ucap bi Iren.

"Waalaikumussalam," jawab mereka serempak.

Anggun mempersilakan bi Iren duduk, dia tidak mempertanyakan penyebab wanita tua itu tiba dengan begitu lamanya.

"Ada masalah baru, itu sebabnya saya lama sampai di sini," beber bi Iren tanpa ditanya.

"Masalah apa lagi?" tanya pak Bachtiar dengan respon yang cepat.

"Mulai malam ini dan seterusnya, tidak ada yang boleh keluar lagi kalau hari sudah sore, dan peraturan ini sangat ditekankan untuk perempuan yang sedang hamil," jawab bi Iren.

Andini langsung mengalihkan pandangannya ke arah Anggun. Sadar kalau Andini sedang menatap wajahnya, Anggun memalingkan wajahnya ke arah lain.

Sisi memperhatikan reaksi mama dan sahabatnya, pikiran gadis itu mulai menerka-nerka bahwa ada sesuatu yang Andini ketahui tentang mamanya.

"Ini pasti karena teror arwah mbak Mulan," ucap Rendra.

"Benar," jawab bi Iren.

"Bi, saya sudah tahu di mana jasad kedua orangtua saya. Kami semua berencana untuk menguburkan mereka dengan layak," ujar pak Bachtiar.

Inilah yang ingin beliau bicarakan dengan bi Iren sejak dua hari yang lalu.

"Jasad mereka tidak bisa dibawa keluar dari rumah ini, Pak Bachtiar," ucap ki Seto dengan ekspresi tegang.

"Kenapa?" tanya Sisi heran.

"Mereka masih menunggu seseorang untuk mewarisi harta ini dan melanjutkan semua yang telah mereka mulai." Jawaban ki Seto lagi-lagi membuat mereka ternganga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!