Part 7

"Kenapa ini bisa terjadi?" tanya ki Seto, beliau yang tadinya merespon biasa saja, kini jadi terlihat lebih khawatir daripada Bella dan Sisi.

"Ini karena bayi itu, Ki?" jawab Bella.

"Bayi?" bi Iren bertanya untuk meyakinkan bahwa pendengarannya tidak salah.

"Ya, anak bayi yang tiba-tiba aja ada di depan rumah kami," ucap Sisi bercerita.

Sisi kemudian menceritakan bagaimana caranya hingga sang mama bisa menghilang tanpa jejak.

"Pak, ini persis seperti apa yang sudah terjadi dengan anak kita, Pa," ucap bi Iren dengan mata berkaca-kaca.

"Ayo, kita harus secepatnya kembali ke rumah kalian. Pasti ibu kalian ada di suatu tempat di sekitar rumah itu." Ki Seto mengambil payung, jas hujan, dan juga senter di tangannya. Beliau sebenarnya juga tidak mau apa yang sudah terjadi kepada anaknya ikut terjadi pula pada mamanya Sisi.

----

----

"Bu, Ibu kok bisa ada di sana?" tanya bi Iren pada Anggun.

Anggun hanya bisa menggeleng lemah, tubuhnya tampak menggigil dan dia masih sangat ketakutan.

"Ki, bagaimana dengan bayi itu?" tanya Sisi.

"Dia sudah mengambil tempat di rahim ibu kamu," jawab ki Seto, pikirannya kacau saat ini.

"Ki, pasti ada caranya supaya kita bisa mengeluarkan bayi itu dari perut mama," ucap Bella sambil menyeka air matanya yang terus mengalir.

"Bell, sepertinya kedatangan kita ke rumah ini adalah keputusan yang salah, kita cuma cari mati di sini," ucap Anggun, sorot matanya sudah tidak sekuat biasanya. Dia merasakan badannya ikut melemah, sepertinya bayi itu sudah mengambil sebagian dari kekuatan tubuhnya.

"Ada caranya, Kek." Rendra masuk ke dalam kamar Anggun tanpa sepengetahuan mereka. Tidak ada yang menyadari kedatangan Rendra, saking kalutnya pikiran mereka saat itu.

"Ren, bagaimana kamu bisa ada di sini? Kakek kan sudah bilang sama kamu, jangan keluar di tengah malam seperti ini!" sentak ki Seto mulai marah.

"Kek, aku tidak akan mungkin diam di saat kondisi ibunya Sisi seperti ini!" Rendra balas membentak.

"Beraninya kamu bicara seperti itu sama kakek," ucap ki Seto tidak menyangka dengan jawaban yang keluar dari mulut cucunya.

"Kenapa? Apa Kakek mau marah sama aku? Aku sudah cukup menderita selama ini, Kek. Kalian membuat aku seperti anak kelainan mental, orang-orang di desa ini juga berpandangan seperti itu sama aku. Cuma sisi dan Bella yang menganggap aku normal, aku seperti ini juga karena kalian, aku tidak akan seperti ini kalau saja kalian tidak terlambat menyelamatkan ibu!" pekik Rendra dengan napas memburu.

Sisi segera menenangkan Rendra, beruntungnya, dia bisa membuat Rendra tenang.

"Ren, jangan marah-marah lagi. Kita semua sedang dalam kondisi yang cukup rumit, kalau terus ribut seperti ini, kita tidak akan punya jalan keluar untuk menyelamatkan mama aku," ucap Sisi.

"Kita punya, Sisi. Jalan satu-satunya adalah dengan membakar habis pohon bambu itu," ucap Rendra.

"Jangan!" langsung saja usulan Rendra ditolak oleh kakeknya sendiri.

"Kenapa, Kek? Cuma itu satu-satunya cara, di sana ada sosok jahat yang bersemayam selama puluhan tahun, dia terkubur di sana, iya kan?"

Sisi dan Bella langsung kaget mendengar omongan Rendra, jadi Rendra juga tahu mengenai sosok makhluk halus yang ada di rumah mereka.

"Dra, kamu bisa melihat mereka?"

"Iya, Si. Mereka menampakkan dirinya hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Kalian juga melihat mereka kan?"

"Tapi aku tidak tahu kalau mereka ada di sana," ucap Bella.

"Rendra, kalau kita membakar pohon itu, maka semuanya akan menjadi musibah besar, Nak," ucap bi Iren.

"Musibah besar? Maksud Bibi?" tanya Anggun yang sedari tadi diam.

"Banyak Iblis Bersemayam di sana, Bu. Kalau tempat tinggal mereka diganggu, semua ini juga akan berdampak buruk bagi para warga di sini," jelas bi Iren.

"Argh!!!" erang Sisi. Dia sudah merasa muak, apa yang telah terjadi dengan keluarga papanya? Kenapa ada makhluk halus itu di rumah peninggalan kakek neneknya? Ini masih menjadi pertanyaan dan hampir membuat kepalanya pecah.

"Bi, Ki, tolong jelaskan apa maksudnya semua ini? Kenapa bisa rumah ini menjadi tempat bersemayamnya para Iblis itu?"

Bi Iren menatap suaminya, beliau tidak akan menceritakan sejarah rumah besar milik Purnomo, sebelum mendapatkan persetujuan dari sang suami.

Ki Seto mengangguk lalu tersenyum getir. "Katakan saja, Bu. Mungkin ini saatnya," ucap ki Seto.

"Dulu, pak Wijaya Purnomo tidak sekaya sekarang, dia juga hidup sederhana seperti warga lain di sini. Namun, seiring berjalannya waktu manusia pasti akan berubah. Pak Purnomo menginginkan harta yang berlimpah ruah, dia ingin jadi kaya raya. Akhirnya dibuatlah kesepakatan dengan Iblis, dia melakukan pesugihan agar hartanya terus bertambah dari hari ke hari. Sedangkan istrinya, bu Arum, dia ingin tetap terlihat cantik dan awet muda. Nah, saat pak Purnomo mulai sakit-sakitan, bu Arum kembali membuat janji dengan Iblis-Iblis itu, mereka harus menjaga harta keluarga Purnomo sampai ahli waris datang, dan mereka mau. Asalkan setiap malam tepat jam 12 bu Arum harus melakukan ritual dan memberikan darah segar untuk mereka," ujar bi Iren bercerita.

"Bi, apa warga di sini tahu kelakuan mertua saya?" tanya Anggun.

"Itu kami tidak tahu, Bu."

"Lalu, anak bayi itu...?" tanya Sisi penasaran.

"Dia anaknya Mulan. Untuk menyempurnakan susuknya, bu Arum menjadikan Mulan sebagai tumbal, saat itu Mulan masih mengandung dengan usia sembilan bulan. Mulan adalah perempuan yang ditunjukkan sebagai tumbal karena Iblis itu menginginkan janin yang berusia sembilan bulan. Bibi rasa Mulan masih berkeliaran karena ingin dendamnya terbalaskan, itu sebabnya dia datangi kalian."

Sisi memicingkan matanya. "Bibi tahu hal ini, itu artinya Bibi tahu semuanya tentang kakek."

"Oh, atau jangan-jangan Bibi juga ingin kami dihantui terus menerus di sini hingga kami mati, begitu?" tuding Bella.

"Bell, jangan menuduh bibi seperti itu," tegur Anggun.

Mereka mulai berdebat dan saling menyalahkan, tidak ada yang sadar bahwa perut Anggun sudah kembali normal.

"Jangan takut anakku, bayi itu tidak bisa mencelakaimu. Mendekatlah padaku, aku akan melindungimu dari gangguannya!"

Suara tak berwujud itu menggema memenuhi se isi kamar Anggun.

Mereka tersentak kaget, dan sekarang baru menyadari kalau perut Anggun tidak sebesar tadi. Semua kembali normal dalam waktu yang singkat.

"Ki, suara itu." Sisi menatap ki Seto penuh tanda tanya.

"Ini godaan awal mereka, kalian tidak boleh terpengaruh, tapi bayi itu?" Ki seto semakin bingung dibuatnya, ini semua menjadi tidak masuk akal.

"Bagaimana mungkin bayi itu bisa hilang begitu saja."

Bukan hanya mereka, tapi Rendra juga merasa aneh dengan kejadian tak terduga ini.

Sayup-sayup dari luar terdengar suara rintihan meminta tolong, malam serasa begitu panjang. Jarum jam bahkan seperti berhenti berdenting, waktu terasa berjalan lambat.

Sisi berpikir malam akan segera berganti menjadi pagi, nyatanya masih jam dua dini hari.

----

----

"Tarno, belum pulang kamu?" tanya pak Ivan.

"Belum, Pak." Pak Tarno terlihat lemas dan tak bersemangat.

"Ada yang ingin kamu omongin sama saya?"

"Kok Bapak tahu?" tanya Tarno mulai penasaran.

"Sejak kemarin, saat pertama kali mengantar pak Bachtiar ke sini, kamu terus menatap ke arah saya. Seolah-olah kamu ingin ngomong sesuatu," jawab pak Ivan.

"Pak, sebenarnya sa-saya_"

"Loh, saya cari dari tadi juga, ternyata pak Ivan ada di sini," ucap pak Bachtiar.

Tarno langsung diam seketika begitu melihat kehadiran Bachtiar.

"Pak, saya pamit mau pulang dulu," ucap Tarno begitu Bachtiar ikut duduk bersama mereka.

Melihat ketegangan di wajah Tarno, membuat Bachtiar menjadi heran.

"Iya, hati-hati di jalan!"

"Baik, terima kasih, Pak." Tarno mengangguk sopan dan langsung masuk ke dalam mobil.

"Dia kenapa, Pak Ivan? Kok saya datang dia langsung pergi?"

"Udah larut gini, wajar kalau Tarno langsung pulang kan?"

"Iya juga sih," jawab lelaki itu, namun hatinya tetap merasa ada yang disembunyikan Tarno darinya.

"Bagaimana kabar istri dan anak-anakmu, Tiar?" tanya pak Ivan.

"Eh, sudah dua hari di sini, saya bahkan belum sekali pun memberi kabar sama mereka." Bachtiar baru ingat akan istri dan kedua anaknya.

"Sebaiknya kamu telpon mereka dan tanyakan gimana keadaan mereka sekarang!" ucap pak Ivan memberi saran.

"Besok aja, Pak Ivan. Saya juga sedang banyak pikiran ini, soal kerjaan kantor belum kelar juga," ucap Bachtiar.

"Jangan terlalu dipikirkan, saya kan sudah janji untuk bantuin kamu juga."

Sedangkan di desa tempat Bachtiar meninggalkan keluarganya, di sana mereka kembali diteror oleh makhluk-makhluk halus itu.

"Ma, ini kan foto nenek sama kakek. Kok bisa ada di sini?" tanya Sisi bingung.

Anggun mendekat ke arah putrinya, dia juga heran kenapa ada foto mertuanya di sana.

Saat ini mereka sedang membersihkan kamar di lantai atas, yang berada tidak jauh dari kamar tamu.

Bella sendiri keasikan membolak-balikkan lembar demi lembar album milik keluarga papanya.

"Ini kan_" ucapan Bella terhenti saat melihat gambar tersebut.

"Ada apa, Bell?" tanya Sisi yang menjadi tertarik dengan apa yang sedang adiknya lihat.

"Kak, perempuan ini kok bisa ada di sini?"

"Loh, ini aneh," desis Sisi. Ia segera memperlihatkan album itu kepada mamanya.

"Ini foto kakek sama nenek kalian, seharusnya foto ini ada di bawah, tapi kok bisa ada di sini ya?" tanya Anggun dengan mata menyipit.

"Lalu, wanita dalam album ini siapa? Kenapa dia bisa ada di antara kakek dan nenek?" tanya Sisi.

Mereka bertiga semakin bingung, pertanyaan-pertanyaan seputar keluarga sang suami terus bermunculan di otak Anggun.

"Apa mungkin papa kalian tahu tentang perempuan ini?"

"Sisi rasa papa enggak tahu deh, Ma."

Bella mengajak kakak dan mamanya untuk membersihkan kamar itu dengan cepat, karena dia merasakan aura di sana semakin tidak biasa.

Trak...

"Suara apa itu?" Sisi langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang terbuka lebar.

Bella sedang menyapu, sapu yang dipegangnya hampir saja jatuh karena dia terkejut.

"Suara itu kayaknya berasal dari kamar tamu deh," ucap Bella.

"Iya, mama rasa juga seperti itu," timpal Anggun.

Selesai membersihkan kamar itu, Anggun dan kedua putrinya langsung keluar. Dia membawa foto kedua mertuanya, foto yang seharusnya ada di lantai bawah malah pindah tempat ke sana, entah siapa yang membawanya, mereka juga bingung. Sedangkan Bella, gadis itu membawa album yang di dalamnya ada foto kakek dan neneknya berserta seorang perempuan.

Niat mereka adalah untuk menanyakan siapa perempuan itu kepada bi Iren dan ki Seto.

"Astaghfirullah!" kaget Sisi.

"Kenapa sayang?" tanya Anggun.

"Ma, kayak ada yang narik rambut aku deh," jawab Sisi. Bulu-bulu halus di tangannya berdiri seketika.

"Kak, jangan nakutin kita dong."

"Aku enggak bohong, Bella."

"Sudah, sudah! Apa pun yang kalian dengar, yang kalian alami. Mulai sekarang abaikan itu semua, anggap saja kita tidak tahu. Kita harus mencari tahu dulu tentang keluarga papa kalian, kalau enggak kita akan selamanya terjebak di sini," ucap Anggun menengahi.

Anggun turun lebih dulu dan meletakkan kembali foto itu di tempat semula.

"Sudah sore, kalau datang sekarang kita pasti kemaleman di jalan. Gimana kalau datang besok pagi aja?" tanya Anggun meminta pendapat kedua putrinya.

"Iya, besok pagi aja. Bella enggak ikut ya, kan Bella harus sekolah."

"Assalamualaikum!"

"Nah, panjang umurnya! Itu suara bi Iren, Ma." Bella langsung membuka pintu, dia terlihat sangat bersemangat.

"Tumben Bibi datang ke sini?" tanya Bella.

"Ki Seto yang nyuruh bibi ke sini, ki Seto khawatir sama keadaan kalian," jawab bi Iren.

"Ayo masuk dulu, Bi." Bella menuntun bi Iren untuk masuk ke dalam rumah, mereka kemudian berkumpul di ruang tamu.

"Bi, ada yang perlu kita ketahui tentang perempuan ini," ucap Anggun sambil membuka album foto itu.

Bi Iren mengerutkan keningnya, beliau tidak tahu siapa perempuan yang berdiri di samping bu Arum.

"Kenapa, Bi? Bibi enggak kenal sama dia?" tanya Sisi.

Bi Iren menggeleng. "Tidak pernah sekali pun perempuan ini datang ke sini, Non. Bibi tidak tahu dia siapa."

Sisi memutar otaknya mencoba berpikir lebih keras, akhirnya dia mengambil satu kesimpulan yang menurut mereka itu hal yang tidak mungkin.

"Istri kedua kakek," ucap Sisi.

"Itu tidak mungkin! Pak Purnomo adalah tipe lelaki setia, dia tidak mungkin menikah lagi," bantah bi Iren.

"Apa yang tidak mungkin kalau nenek juga setuju," balas Sisi.

"Aku enggak yakin, Kak." Bella menatap kakaknya dengan cukup rumit, dia tidak sependapat dengan Sisi.

"Untuk apa kakek kamu nikah lagi? Kalau memang dia punya istri kedua, mestinya papa kalian juga tahu kan?"

Untuk apa pak Purnomo menikah lagi? Pertanyaan itulah yang saat ini sama-sama timbul di benak mereka.

Tentu hal ini masih ada kaitannya dengan janji kepada Iblis itu.

"Apa ki Seto juga tidak tahu, Bi?" tanya Bella.

"Bibi enggak tahu juga, Non. Nanti bibi tanyain deh hal ini sama ki Seto di rumah," janji bi Iren.

Ki Seto, beliau adalah salah satu orang yang paling tahu tentang keluarga pak Purnomo, bisa jadi lelaki itu juga tahu akan siapa sosok perempuan dalam album keluarga Purnomo.

Ada satu hal yang mengganjal di pikiran Sisi saat ini, kenapa papanya malah tidak tahu apa pun tentang keluarganya sendiri, ini membuat Sisi curiga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!