"Saya beneran tidak tahu apa-apa, Bu. Ini persoalan yang cukup rumit, coba Ibu tanyakan sendiri sama pak Bachtiar."
"Bi, papa juga sama dengan kita, dia tidak tahu tentang rumah itu. Kalau menurut Sisi, Bibi sama ki Seto pasti tahu sesuatu mengenai rumah kakek, iya kan?"
"Tidak, Non!" bantah bi Iren.
"Kalau memang tidak ada, kenapa Bibi selalu kelihatan takut saat berada di kebun teh jika keadaan di sana sepi, jauh dari para pekerja lain?" pertanyaan Anggun membuat bi Iren terdiam membisu.
"Bi, ayo---"
"Bu, aku mau ke kebun dulu," ucap ki Seto, obrolan mereka jadi terhenti karena kedatangan lelaki itu.
"Ibu ikut, Pak!"
"Ya udah, ayo siap-siap." Ki Seto berjalan lebih dulu menuju kamarnya.
"Bu, Non Sisi, bibi sama ki Seto mau ke kebun dulu. Obrolannya nanti aja kita lanjutin ya."
----
"Ma, aku yakin bibi sengaja mengelak dari kita," ucap Sisi sesampainya dia di rumah.
"Iya, mama juga ngerasa begitu."
Hari sudah mulai beranjak sore saat mereka mengobrol di teras depan saat itu. Bella bahkan belum pulang, padahal dia pamit sebentar untuk ke warung bu Marni.
"Ma, masa sih Mama juga enggak tahu sejarah rumah kakek?" tanya Sisi heran.
"Si, papa kamu itu sedikit nggak terbuka sama Mama kalau soal keluarganya. Kita juga enggak pernah datang ke sini kan? Kalau kangen palingan kakek sama nenek kamu yang datang ke sana."
"Ma, aku pulang!" seru Bella, gadis itu setengah berlari menghampiri mama dan kakaknya.
"Kamu lama banget kok, Bell."
"Biasa, Ma. Warung bu Marni banyak pembelinya, jadi aku harus antri dulu," ucap Bella seraya menghempaskan pantatnya di atas kursi kayu yang ada di samping sang kakak.
"Bell, malam ini papa enggak ada di rumah. Cuma ada kita bertiga sama Mama, kamu mau tidur sendiri atau di kamar Mama?" tanya Sisi.
Bella sejenak melirik ke arah mamanya. "Sendiri aja, ngapain takut." Bella kembali memakan snack yang tadi dibelinya.
"Kamu yakin?"
"Yakin dong."
Di warungnya bu Marni, usai kepulangan Bella, ibu-ibu di sana malah membicarakan tentang dirinya.
"Yen, kau yakin itu anaknya si Bachtiar enggak makek susuk?" tanya bu Indri.
"Ya yakin lah, Indri." Bu Indri menatap ke arah bu Marni.
"Lah, kau ngapain ngeliatin aku seperti itu, Dri?" tanya bu Marni.
"Kamu sendiri gimana, Mar. Kamu setuju enggak sama jawaban si Yeni?"
"Kenapa nggak? Itu anaknya si Anggun kan memang udah cantik dari sononya, mamanya aja cantik. Ya wajar dong kalau anak-anak gadisnya cantik semua."
"Tapi ya, aku takut aja kejadian beberapa tahun lalu terjadi sama warga di sini."
"Hush! Jangan ngomongin itu lagi! Keadaan kita sudah aman sekarang, berhenti membicarakan mereka," ucap bu Marni sambil menoleh kiri kanan.
"Udah ah, aku mau pulang aja. Hari juga semakin gelap." Bu Yeni langsung menyambar kantong plastik berisi belanjaannya. Ia bergegas pergi dari warung bu Marni.
"Mar, aku juga mau pulang, keburu ditinggal jauh sama si Yeni. Takut tahu kalau pulang jam segini," ucap bu Indri sambil berlalu dari hadapan bu Marni.
Wanita paruh baya itu buru-buru menutup warung sembakonya dan masuk kembali dalam rumah, cuaca di luar tampak menakutkan malam ini.
----
----
Wuhsh...
Wush... Tiupan angin kencang membuat gorden jendela kamar Bella bergerak-gerak ke sana ke mari. Bella menikmati udara segar yang menembus masuk ke kamarnya, dia biarkan saja angin malam menerpa tubuhnya.
Sambil menikmati bakso buatan mamanya, Bella fokus melihat informasi tentang sekolah lamanya dari teman-temannya di kota.
"Duh, pengen deh ngumpul bareng kalian lagi," monolog Bella.
Saat ini Bella masih menempuh pendidikannya di kelas dua SMP, sedangkan Sisi, gadis itu sudah lulus SMA beberapa bulan yang lalu. Dia punya niat untuk melanjutkan kuliahnya, tapi dilarang oleh Bachtiar, katanya biarkan dulu ekonomi mereka membaik. Itu sebabnya mereka harus tinggal di rumah peninggalan sang nenek.
"Ma, rumah nenek sama kakek kan cukup besar, kenapa papa tidak menjual saja rumah ini? Terus uangnya kita gunakan untuk mengembalikan perusahaan papa seperti dulu."
"Si, ini peninggalan almarhum. Rumah ini satu-satunya harta yang ditinggalkan oleh nenek sama kakek kamu. Mana mungkin papa menjualnya, lagian soal perusahaan itu kan sudah ditangani sama om Ivan, mama yakin kalau om Ivan bisa membuat perusahaan papa kembali bangkit dari keterpurukan, kita pasti bisa kembali ke rumah kita yang dulu." Anggun memberikan sedikit harapan untuk anaknya.
"Semoga aja ya, Ma."
Pyar!
Deg!
Suara petir yang menyambar keras membuat jantung Sisi berdetak kencang. Reflek dia memeluk mamanya karena rasa terkejut. Sejurus kemudian terdengarlah suara bayi menangis. Mereka berdua diam dan sama-sama ketakutan, suara bayi di malam sunyi begini, kok bisa?
"Please deh, ini bukan gangguan lagi kan." Sisi menatap mamanya dengan wajah tegang.
"Mama enggak tahu, Si."
"Bella kok enggak keluar kamar sih, Ma. Betah banget dia di sana. Emang enggak takut apa?"
Sisi tidak tahu kalau Bella juga mulai ketakutan di kamarnya karena sendirian.
"Buset deh ah, tadi cuaca enggak kayak gini. Kenapa sekarang berubah, ya? Mana di luar gelap banget lagi." Bella bangun dan menutup jendela kamarnya, namun tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang hangat menempel di tangannya.
"Aaa..." Bella menjerit keras sambil menutup rapat jendela kamarnya. Dia buru-buru turun ke bawah untuk menemui kakak dan mamanya.
"Aaa! Mama, kak Sisi!" panggil Bella sambil menuruni tangga satu per satu.
"Kenapa, Bell?" tanya Sisi yang ikutan panik melihat ketakutan Bella.
"Ta-tadi, tadi---"
"Udah, udah. Duduk dulu! Duduk, tenangkan dulu diri kamu, baru setelah itu cerita sama mama dan kak Sisi," ucap Anggun memberi arahan.
Bella mengikuti arahan mamanya, setelah pikiran dan hatinya tenang, barulah dia menceritakan kejadian tadi di kamarnya.
"Ma, tadi saat Bella mau nutup jendela kamar, Bella ngerasain sesuatu yang hangat menempel di tangan Bella, dan saat itu---"
"Oekk!!!"
"Oekk!"
"Oekk!!"
Kali ini omongan Bella terpaksa terpotong lagi karena suara tangis bayi yang begitu besar.
"Itu suara bayi siapa ya?" tanya Bella seraya memandangi kakak dan mamanya bergantian.
"Lupakan! Mungkin itu suara bayi tetangga," ucap Anggun, dia tidak mau anak-anaknya ketakutan saat itu.
"Ma, kita nggak bisa pura-pura bodoh, bayi siapa, Ma? Di desa ini mana ada bayi? Mbak Ayi sama mbak Arum masih mengandung, dan usia kandungan mereka masih sekitar tujuh atau enam bulan. Di sini banyak orang tua, Ma. Mana ada anak bayi." Sisi mulai merasa aneh dengan suara bayi itu.
"Oekk!!!"
"Di luar dingin, bagaimana kalau itu beneran anak bayi? Gimana kalau ini bukan gangguan makhluk halus itu?"
"Kamu benar, Bell. Apa sebaiknya kita periksa aja, ya? Mungkin beneran bayi." Anggun menatap kedua putrinya, berharap mereka setuju dengan usulannya barusan.
"Ya udah, kita periksa keluar!"
Anggun berjalan di depan, Sisi dan Bella mengikuti dari belakang tanpa melepaskan tangan mereka dari mamanya, mereka berjalan beriringan dan saling berdekatan.
----
Ternyata memang beneran bayi, mereka sampai dibuat kewalahan karena bayi itu tak kunjung berhenti menangis.
"Ma, kita enggak punya susu di dapur. Mungkin dia haus, di mana kita dapetin susunya?" Bella panik karena anak bayi itu terus menangis dengan suara kencang. Petir semakin menggelegar di luar, hujan pun kian deras.
"Beli di tempat bu Marni aja, Bell."
"Terus, aku atau kamu yang pergi, Kak?" tanya Bella.
Anggun sibuk mencari cara supaya bayi itu diam, sesaat dia terpaku menatap mata bayi yang berada dalam gendongannya. Mata bayi itu mulai memerah, semerah darah. Anggun ketakutan, dia semakin panik.
Dalam pikiran Anggun saat ini adalah, mata bayi itu memerah karena terlalu lama menangis.
"Dalam keadaan cuaca seperti ini, bagaimana caranya kita ke warung bu Marni?"
Sisi mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu."
"Buruan, Sisi, Bella! Ambil payung di dekat tangga itu! Cepet, Nak! Apa kalian tidak lihat mata bayi ini sudah sangat merah?" ucap Anggun mendesak.
"Kak, cepet ambil payung itu!"
Sisi pergi ke dekat tangga dan mengambil payung. Saat memberikan payung itu kepada Bella, dia sedikit curiga menatap bayi yang dibedong dengan kain jarik itu.
"Aneh, bayi siapa ini?" batin Sisi.
"Ma, aku pergi dulu." Bella pamit dan berlalu dari sana.
"Aduh, mama kebelet ni, Si. Kamu jagain bayi ini dulu, ya. Mama mau ke belakang sebentar." Anggun meletakkan bayi itu di atas sofa. Sisi hanya mengangguk tanpa memegang bayi itu yang masih terus menangis, kali ini tangisnya sudah agak reda. Namun, petir dan hujan di luar semakin kencang. Sisi mulai teringat Bella, dia juga tidak tega membiarkan adiknya pergi sendiri dengan keadaan cuaca seperti ini.
Sisi memastikan dulu kalau bayi itu akan tetap aman saja berada di sana.
Sisi melangkah ke dekat tangga lagi untuk mengambil satu payung lagi, namun saat kembali dia malah mendapati kenyataan menyeramkan.
Bayi itu sudah tidak ada di sana, dari belakang, tepatnya di kamar mandi yang ada di dekat dapur, terdengar suara mamanya yang menjerit keras.
"Aaa..."
"Mama?"
"Sisi!"
"Aduh, aku harus ke mana dulu? Bayi di sini hilang ke mana?" Sisi sangat panik.
"Sisi!"
"Iya, Ma. Iya..."
Saat tiba di depan mamanya, Sisi dibuat kaget dengan keadaan sang mama. Perut mamanya tiba-tiba membuncit, mirip seperti orang hamil yang usianya sudah menginjak empat bulan.
"Ma, perut Mama kok tiba-tiba buncit begitu?"
"Mama enggak tahu, Si. Tadi saat keluar dari kamar mandi, tiba-tiba aja perut mama udah gede begini, rasanya ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh mama," ucap Anggun.
"Ma, bayi itu menghilang."
"Deg!"
"Jangan-jangan---"
Mereka berdua sama-sama menegang dengan mata melotot.
"Cepat panggil adik kamu kembali! Cepat! Tidak usah beli susu itu lagi," ucap Anggun.
"Ba-baik, Ma."
Sisi keluar rumah tanpa mengambil payung, dia lari dengan sangat kencang mencari keberadaan Bella. Seharusnya Bella belum tiba di warung bu Marni, karena warung bu Marni sedikit jauh dari rumah mereka, di tengah hujan yang begitu deras Sisi terus memanggil-manggil nama adiknya. Tepat di depan rumah kosong milik kang Edo, dia dan Bella bertemu.
"Ada apa, Kak? Kok malah hujan-hujanan gini!?" tanya Bella setengah berteriak, supaya suaranya terdengar jelas.
"Mama, Bell. Mama nyuruh kamu pulang!"
"Tapi susunya, Kak?"
"Enggak usah! Bayi itu udah hilang, dia bukan manusia, dia Setan!"
Pyar!
Petir menyambar, suaranya keras bersahut-sahutan. Bella merinding mendengar omongan Sisi, dia memeluk lengan Sisi dan berjalan cepat menuju rumah.
"Ayo, Bell! Kita harus lebih cepat lagi," ucap Sisi.
Begitu tiba di rumah, keadaan mereka sudah sama-sama basah kuyup.
Bella dan Sisi tidak mendapati Anggun di rumah, dan hal ini semakin membuat mereka kalang kabut. Di saat keadaan kacau seperti ini, ke mana mereka harus mencari bantuan, papanya juga tidak ada di rumah.
"Bell, kamu udah ketemu mama belum?" tanya Sisi yang masih terus mencari mamanya di segala tempat.
"Belum, Kak."
Hampir satu jam mereka mencari Anggun hingga ke sudut-sudut ruangan, tapi Anggun tak kunjung juga ditemukan.
Sebenarnya di mana Anggun?
"Kak, sebaiknya kita minta bantuan bibi sama ki Seto aja," usul Bella. Ini adalah pilihan terakhir, tidak ada jalan lain, mereka hanya berdua, dan mereka tidak mau terjadi apa-apa sama mamanya.
Hujan yang kian deras disertai kilat dan angin kencang, yang seolah tidak mau berhenti sampai pagi menjelang, tapi di saat itu juga semangat Sisi dan Bella semakin bertambah untuk mencari keberadaan mama mereka.
"Pak, perasaan aku kok tiba-tiba enggak enak ya. Coba Bapak lihat cuaca di luar! Tidakkah hal ini mengingatkan Bapak dengan kejadian beberapa tahun yang lalu?"
"Bu, cukup! Ini cuma kebetulan aja," ucap ki Seto.
Tidak! Jawaban yang sebenarnya ingin dikatakan ki Seto bukanlah seperti itu, dia sebenarnya juga merasakan hal yang sama. Sejarah itu akan terulang lagi, dan mereka kali ini akan ikut terjebak di sana.
Tok...
Tok...
Tok...
Suara ketukan pintu terdengar keras, bi Iren terperanjat sambil menatap wajah suaminya.
"Jangan dibuka, Bu!" cegah ki Seto mulai waspada.
"Ki, Bibi! Ki, buka pintunya!"
"Pak, itu suara non Sisi," ucap bi Iren.
Mata ki Seto membulat sebesar biji jengkol, ini adalah sesuatu yang tidak beliau inginkan terjadi.
"Bu, biarkan saja mereka!"
"Pak, mereka pasti sedang dalam kesulitan."
"Bibi, ki Seto!" panggil Bella.
Rendra yang kebetulan belum tidur, dia langsung keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu.
Melihat Bella dan Sisi yang basah kuyup membuat Rendra khawatir.
"Ren, mana bibi sama aki?"
"Nenek ada di kamarnya, Non," jawab Rendra tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Sisi yang tampak begitu panik.
"Bi, tolong kami, Bi!" Sisi menerobos masuk ke dalam tanpa permisi.
"Apa yang terjadi---"
"Mama menghilang kak Rendra," jawab Bella tanpa menunggu Rendra selesai bicara.
"Kenapa? Kok bisa?"
Bella tidak mempedulikan pertanyaan Rendra, dengan tubuhnya yang mulai menggigil karena kehujanan, dia masuk ke rumah bi Iren untuk menyusul kakaknya.
"Sebenarnya kalian kenapa?" tanya bi Iren.
"Ibu menghilang."
"Apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments