Malam itu, hujan turun tipis—bukan deras, tapi cukup untuk membuat setiap jendela memantulkan cahaya lampu jalan seperti kilauan kaca retak.
Citra berdiri di dapur, menatap panci berisi sup yang masih mendidih pelan di atas kompor. Aroma hangatnya tidak mampu menenangkan pikirannya.
Rama ada di ruang kerja, terdengar suara ketikan laptop dari balik pintu yang tak tertutup rapat. Sesekali, kursinya berderit. Tak ada percakapan sejak mereka pulang.
Citra menarik napas panjang.
Ia ingin bertanya lagi. Tentang tatapan Rama di museum tadi, tentang Olifia… tentang apa yang sebenarnya mengikat mereka. Tapi bibirnya tetap terkunci.
Belum saatnya.
Ia memilih menuang sup ke dalam mangkuk, lalu berjalan perlahan menuju ruang kerja.
“Ram…” panggilnya pelan.
Rama menoleh, lalu menutup laptop. “Ada apa?”
“Makan dulu, sebelum dingin.”
Rama tersenyum singkat, lalu berdiri. “Baik.”
Mereka makan dalam diam, hanya denting sendok yang terdengar. Citra memandangnya di sela-sela suapan, memperhatikan bagaimana tatapan Rama tak pernah benar-benar tertuju padanya malam ini.
Bukan tatapan kosong—lebih seperti tatapan yang sedang berada di tempat lain.
Di suatu tempat yang tidak bisa ia jangkau.
Tempat di mana mungkin… Olifia masih berdiri di sana.
Setelah makan malam, Rama langsung kembali ke ruang kerjanya. Citra berjalan ke balkon kamar, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Hujan sudah berhenti, menyisakan bau tanah basah.
...---------------...
Olifia menutup pintu balkon dengan lembut, membiarkan tirai tipis melambai tertiup angin terakhir malam itu. Lampu kamar menyala redup, memantulkan cahaya kuning pucat ke dinding yang dihiasi beberapa lukisan karyanya sendiri.
Ia duduk di tepi ranjang, meraih buku sketsanya. Pensil di tangannya bergerak pelan, membentuk garis-garis samar. Tanpa sadar, wajah yang tergambar adalah wajah seseorang yang baru saja ia lihat kembali—Rama.
Ia terdiam. Pensil itu berhenti di udara.
Kenangan itu muncul lagi.
Tawa di sore hari di sebuah taman, tatapan yang penuh hangat, dan janji-janji yang tidak pernah sempat ditepati.
Tiga tahun… dan kini ia melihatnya lagi—bersama wanita lain, yang sah memanggilnya suami.
Olifia memejamkan mata. "Bukan urusanku," ia mengulang dalam hati. Tapi dada ini terasa sesak, seakan kata-kata itu hanya kebohongan untuk menenangkan diri.
...---------------...
The Art’s – Rapat Pagi
Rama duduk di ujung meja panjang ruang rapat, jas hitamnya terlipat rapi di punggung kursi. Jemarinya memutar pena perlahan, sorot matanya tajam mengamati layar presentasi.
“Baik, itu adalah presentasi dari saya. Bila ada pertanyaan, silakan,” ujar salah satu karyawan, menutup pemaparannya dengan nada percaya diri.
Rama mengangkat alis. “Kamu menyarankan kita mempromosikan produk terbaru melalui endorsement seorang influencer pelukis itu?”
“Iya, Pak,” jawabnya mantap. “Dengan endorsement dari beliau, kami yakin penjualan akan naik signifikan. Apalagi influencer ini sudah memiliki jutaan pengikut yang loyal.”
“Berapa range harga untuk endorse-nya?” tanya Rama, nadanya datar tapi penuh tekan.
Karyawan itu tampak ragu. “Sekitar…”
Rama menghentikan putaran penanya, menatap lurus. “Bukan sekitar. Saya tanya: berapa?” Suara tegasnya membuat ruangan terasa lebih dingin.
“Baik, Pak,” ucapnya cepat. “Setelah berkomunikasi langsung lewat direct message di media sosial, untuk satu kali endorse video dibanderol sekitar seratus lima puluh juta rupiah.”
Rama kembali memutar penanya, kali ini dengan gerakan pelan. “Oke.” Ia tak menambahkan komentar, membuat semua orang menahan napas.
Matanya berpindah ke asisten pribadinya. “Masih ada satu presentasi lagi, kan, Deren?”
“Masih, Pak,” jawab Deren.
“Silakan,” ucap Rama singkat, memberi gestur pada orang berikutnya.
Seorang wanita berambut sebahu maju ke depan, menata slide presentasinya. “Terima kasih atas kesempatannya. Perkenalkan, saya Canada dari divisi penjualan.”
Rama menegakkan tubuhnya. Ada nada percaya diri di suara Canada yang membuatnya mau mendengar lebih jauh.
“Saya akan membuka presentasi ini dengan satu hal: citra The Art’s,” ucap Canada. “Selama ini, publik melihat The Art’s sebagai merek eksklusif—alat lukis untuk kalangan menengah ke atas. Itu persepsi yang harus kita ubah.”
“Kenapa?” tanya Rama, suaranya rendah tapi penuh rasa ingin tahu.
“Karena ini bukan hanya soal harga, Pak,” jawab Canada mantap. “Ini soal kesan. Kita bisa mempertahankan kualitas, namun membangun citra yang lebih ramah bagi semua kalangan. Tujuan kita jelas: memperluas pasar, meningkatkan penjualan.”
Ia mengganti slide yang menampilkan potret beberapa pelukis muda dengan karya mereka.
“Strateginya sederhana: kita menggandeng pelukis yang masih merintis karier. Mereka memiliki karya luar biasa, namun menggunakan cat dan peralatan yang harganya jauh di bawah produk kita. Bayangkan… dengan kualitas terbatas saja mereka bisa menciptakan karya seindah ini. Lalu bagaimana jika mereka memakai The Art’s?”
Suara Canada semakin menguat, matanya menyapu seluruh ruangan. “Dengan cara ini, kita membangun branding baru: The Art’s yang sederhana, terjangkau, tapi tetap menjaga kualitas tak tertandingi. Sederhana… tapi tidak murahan.”
Ruangan hening. Semua menunggu tanggapan Rama.
Ia menyandarkan punggungnya, memutar penanya sekali lagi. “Menarik,” ucapnya singkat—tapi cukup untuk membuat Canada tahu bahwa ide ini… telah menembus lapisan pikirannya.
Canada memberikan hardfile presentasinya yang sudah di cetak sebelumnya.
"Di dalam dokumen tersebut sudah ada beberapa pelukis muda yang memiliki bakat luar biasa, dan lumayan dikenal akhir akhir ini."
Canada melangkah maju, menyerahkan sebuah hard file tebal yang telah ia siapkan sebelumnya. Sampulnya rapi, tiap lembar portofolio disusun dengan teliti.
“Di dalam dokumen tersebut sudah ada daftar beberapa pelukis muda yang punya bakat luar biasa,” jelas Canada. “Mereka juga mulai dikenal publik akhir-akhir ini.”
Rama membuka lembar demi lembar. Matanya menyapu foto-foto karya yang dipajang di halaman berlapis plastik bening. Setiap goresan warna, setiap detail sapuan kuas, ia amati dengan seksama—namun belum ada yang benar-benar menarik perhatiannya.
Hingga jemarinya berhenti pada satu halaman.
Sebuah lukisan memenuhi pandangannya—perpaduan warna lembut namun menyimpan gejolak emosi. Ada sesuatu di sana… sesuatu yang mengaitkan hatinya pada masa lalu.
Indah… batin Rama. Matanya menelusuri tiap detail—langit kelabu, cahaya temaram, dan sepasang mata yang digambar seolah hidup.
Tanpa sadar, bibirnya menyebut, “Juliet…”
Ruangan seketika sunyi. Beberapa orang saling pandang, terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Rama.
“Berikan saya informasi lebih banyak tentang pelukis ini,” katanya, suaranya tegas namun mengandung rasa ingin tahu.
“Tapi…” Canada ragu sejenak. “…dia anonim, Pak. Menggunakan nama panggung ‘Juliet’ untuk semua karya dan pamerannya. Identitas aslinya tidak pernah dibuka ke publik.”
Dahi Rama berkerut. “Anonim?”
“Ya, beliau sengaja menjaga privasinya. Namun, jika Bapak berminat, saya bisa mencoba mengatur pertemuan dan memberikan informasi lebih lanjut,” jawab Canada dengan senyum penuh percaya diri.
Rama menutup file itu, menekannya dengan telapak tangan. “Baik. Lanjutkan.”
“Terima kasih, Pak,” ujar Canada singkat.
Tanpa menunggu akhir rapat, Rama bangkit dari kursinya, memasukkan penanya ke saku jas. Langkahnya tegap saat meninggalkan ruangan—meninggalkan rekan-rekannya yang masih bertukar tatap.
Tidak ada yang tahu… kecuali satu orang di ruangan itu, bahwa “Juliet” bukan hanya sekadar nama panggung. Dan jika nama aslinya terungkap, semuanya akan berubah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments