Citra menatap pantulan wajahnya di cermin yang tergantung di dapur.
Wajah yang dulu penuh semangat kini terlihat lelah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk mencintai seseorang sendirian. Apalagi jika orang itu adalah suaminya sendiri.
Ia mengusap lembut wajahnya, mencoba menghapus bayang-bayang luka yang sulit disembunyikan.
Suara mesin cuci terdengar samar dari sudut dapur, dan dalam sunyi itulah, Citra menangis tanpa suara. Tangis yang sudah terlalu sering datang diam-diam, agar tak menyusahkan siapa pun—terutama Rama.
Di tempat lain, Rama melangkah masuk ke dalam gedung kantor.
Langkahnya tegap, wajahnya dingin seperti biasa. Karyawan yang berpapasan dengannya langsung menunduk memberi salam, dan Rama hanya memberi anggukan kecil. Semua orang tahu, bos mereka bukan pria yang ramah.
Namun berbeda hari ini.
Setelah menutup pintu ruangannya, Rama menyandarkan tubuhnya di balik pintu, memejamkan mata. Kilasan wajah Olifia—atau entah siapa tadi—masih terus menari di pikirannya.
“Bisa jadi itu cuma ilusi,” gumamnya pelan. Tapi dada Rama berdetak lebih cepat daripada biasanya, seperti ada alarm dalam dirinya yang mengatakan: perempuan itu nyata, dan dia kembali.
Sementara itu, Citra duduk di ruang tamu dengan album foto di tangannya.
Foto-foto pernikahan mereka, yang diambil lima tahun lalu, masih tampak utuh dan rapi. Tapi dari tatapan mata Rama dalam foto-foto itu, tak pernah ada cinta. Citra tahu, bahkan sejak hari itu, Rama hanya berusaha terlihat sopan. Tidak lebih.
Tangannya berhenti di satu foto—foto di mana Rama mencium keningnya. Itu satu-satunya momen yang membuatnya merasa istimewa, meski hanya sesaat.
"Kalau aku pergi... apakah dia akan sadar kehilanganku?" ucapnya lirih.
Keesokan harinya, suasana rumah masih sama. Sunyi.
Rama turun dari kamar dengan kemeja kerja yang sudah rapi dikenakan. Ia berjalan menuju meja makan, dan seperti biasa, Citra sudah menyiapkan sarapan. Hari ini bukan roti, melainkan bubur ayam dan teh panas.
"Ada rapat jam sembilan," kata Rama sambil duduk.
Citra hanya mengangguk. Tapi hari ini ia memberanikan diri untuk bicara lebih panjang.
"Rama..."
Rama menoleh sekilas, menunggu kalimat selanjutnya.
"Aku mau izin keluar kota dua hari. Ada pameran seni di Bandung, aku dapat undangan dari komunitasku."
Rama menatapnya. Lama.
Biasanya, ia akan diam atau mengangguk asal. Tapi hari ini bibirnya bergerak pelan.
"Pergilah."
Citra tak menyangka akan mendapat izin secepat itu. Tapi bukannya senang, hatinya justru makin kosong. Rama bahkan tak bertanya siapa yang mengundang, atau kenapa dia baru bilang hari ini.
Sore harinya, setelah pulang kerja, Rama kembali melewati jalan yang sama.
Tanpa sadar ia memperlambat mobilnya di tempat kemarin ia melihat wanita itu. Ia berharap, mungkin saja ia muncul lagi. Tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya pejalan kaki biasa, dan suara klakson bersahutan.
Namun di lampu merah yang berikutnya, matanya terpaku pada papan reklame besar:
Pameran Seni: "Wajah yang Hilang", oleh Olifia Ramadhani.
Gedung Galeri Kota Bandung, 3-5 Agustus.
Jantung Rama serasa berhenti berdetak.
Olifia… benar. Itu dia.
Dan lebih dari itu, ternyata Citra pergi ke tempat yang sama.
Di dalam kamar, Rama duduk di sisi ranjang, membuka ponselnya.
Ia membuka galeri lama, mencari-cari folder yang sudah bertahun-tahun tidak dibuka:
“OLIFIA – 2015”.
Senyum manis, tatapan lembut, tangan yang dulu pernah ia genggam penuh cinta.
Namun bayangan tamparan sang ayah, jeritan ibunya, dan darah yang mengalir karena keputusan yang tak bisa ia kendalikan... semua kembali menggelegak di kepalanya.
...----------------...
Bandung, dua hari kemudian.
Citra berjalan di antara lukisan-lukisan yang dipamerkan. Tangannya meraba salah satu karya bertajuk “Sangkar Tanpa Kunci”. Di bawahnya tertulis:
“Untuk dia yang pergi bukan karena tak cinta.”
Hati Citra tercekat.
Tepat saat itulah langkah kakinya terhenti, melihat sosok wanita berpakaian putih duduk di dekat meja galeri utama.
“Olifia?” bisik Citra nyaris tak percaya.
Olifia menoleh. Mata mereka bertemu.
Dua wanita yang sama-sama mencintai pria yang sama... akhirnya bertatap muka untuk pertama kalinya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments