Terkejut—satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan Citra saat ini. Ucapan barusan membuatnya tertegun, lalu perlahan pandangannya tertuju pada lukisan di hadapannya.
Rama… lukisan ini tentangnya, batin Citra sambil menyunggingkan senyum samar.
Di luar, tepat di tangga museum, Citra dan Olifia berjalan beriringan, berbagi cerita layaknya dua teman baru.
“Kamu hebat sekali, Olifia.”
“Lukisan milikmu sungguh indah,” ujar Citra sambil menuruni anak tangga, langkahnya perlahan, seakan ingin memperpanjang percakapan itu.
Olifia tersenyum rendah hati. “Tidak, aku masih pemula.”
“Pemula? Tapi karyamu luar biasa. Aku sudah menyukai seni sejak kecil dan melihat banyak lukisan, tapi… lukisanmu ini berbeda. Rasanya seperti aku benar-benar masuk ke dalam kesedihan itu… seolah aku yang mengalaminya.” Citra terkekeh kecil, membuat suasana menghangat.
“Terima kasih sudah datang ke pameranku… dan menyukai karyaku,” jawab Olifia, senyumnya manis namun matanya menyimpan kedalaman yang tak terucap.
Mereka terus berbincang hingga mencapai anak tangga terakhir.
“Aku harus pergi sekarang,” kata Citra.
“Baiklah.”
“Jangan lupa hubungi aku.” Citra mengangkat tangan, membuat gerakan seperti menelepon.
Olifia mengangguk, menatapnya sampai wanita itu berjalan menuju mobil sedan putih yang terparkir tak jauh. Namun sebelum Citra sampai, pintu mobil terbuka… dan seorang pria melangkah keluar.
Deg…
Lagi.
Perasaan itu lagi.
Orang itu lagi.
Mata Olifia membeku menatap pria itu—tanpa berkedip, seolah waktu berhenti. Gerakan pria itu lembut saat menoleh, namun tatapannya melewati Citra, menembus jarak… hingga mencapai dirinya.
Citra berbalik untuk melambaikan tangan, namun tatapan Olifia tidak padanya, melainkan pada sosok Rama.
Dan di sisi lain, Rani—yang entah sejak kapan berada di sana—juga memandang Citra dengan sorot mata yang sulit dibaca.
Jangan tanya. Saat ini, perasaan Citra begitu campur aduk. Ia terjebak di antara dua arah pandang yang bertemu—seolah dirinyalah yang bersalah. Tapi satu hal pasti… Rama adalah miliknya. Bukan milik Olifia.
...--------------...
Di dalam mobil, perjalanan pulang.
Citra duduk di kursi penumpang, jemarinya saling menggenggam di pangkuan. Suasana di dalam mobil terasa tenang, hanya suara mesin yang mengisi ruang di antara mereka.
“Maaf mengganggu pekerjaanmu,” ucapnya pelan. “Mobilku… tidak bisa dihidupkan.”
Rama melirik singkat, lalu kembali menatap jalan.
“Tak apa. Sudah hubungi pihak asuransi?” tanyanya lembut.
Citra mengangguk. Ia kemudian menatap wajah suaminya, memperhatikan setiap garis yang mulai ia kenal dengan baik.
“Ada apa? Ada sesuatu di wajahku?” tanya Rama sambil menyentuh pipinya, separuh bercanda.
“Tidak,” jawab Citra dengan keberanian yang jarang ia tunjukkan. “Aku hanya ingin melihatmu.”
Mereka akan bertemu suatu saat nanti, batin Citra. Aku hanya ingin berada di sana ketika itu terjadi.
Pertemuan itu bukanlah kebetulan. Kerusakan mobil hanyalah alasan kecil—bukan untuk menjebak, tapi untuk membuka jalan. Citra ingin Olifia tahu, bukan demi membuktikan siapa yang menang, melainkan untuk menunjukkan bahwa ia ada, bahwa ia adalah bagian sah dalam hidup Rama.
Tidak ada kebencian di hatinya, hanya harapan sederhana: diakui, diterima, dan didukung.
...----------------...
Rama kembali memusatkan pandangannya ke jalan. Jemari kirinya menggenggam setir, sementara tangan kanan bertumpu santai di tuas transmisi. Dari profil wajahnya, Citra bisa melihat betapa tenangnya lelaki itu—setenang air yang menutupi arus deras di bawahnya.
Namun, bagi Citra, keheningan ini terasa sedikit terlalu berat.
“Apa kamu… kaget tadi?” tanyanya hati-hati.
Rama melirik, sedikit mengernyit. “Kaget? Maksudmu?”
“Tadi. Saat keluar dari mobil… dan melihatnya.”
Rama terdiam sejenak, lalu menarik napas. “Tidak,” jawabnya singkat, nyaris terlalu singkat.
Citra mengangguk pelan, tak ingin memaksanya berbicara. Tapi di dalam hatinya, ia tahu tatapan Rama tadi di depan museum bukanlah tatapan biasa. Ada sesuatu di sana—kenangan yang tak ia pahami sepenuhnya.
Mobil melaju menembus senja. Cahaya jingga memantul di kaca depan, membiaskan siluet mereka berdua. Citra memandang bayangan itu, dan untuk pertama kalinya ia menyadari betapa kecilnya dirinya di tengah masa lalu Rama yang begitu besar.
Aku tidak ingin menghapusnya, batin Citra. Aku hanya ingin ada di dalam hidupnya… di antara semua kenangan itu.
Rama memutar setir, memasuki jalan perumahan mereka. “Besok ada rapat pagi, aku mungkin berangkat lebih awal,” ucapnya, nada suaranya kembali biasa.
Citra tersenyum tipis. “Baik.”
Tapi dalam hati, ia sudah menyiapkan langkah berikutnya. Bukan untuk memisahkan, bukan untuk menguasai—melainkan untuk membangun jembatan yang bisa menghubungkan mereka bertiga, meski ia belum tahu apakah Olifia akan mau melangkah ke arah yang sama.
BAB INI DITULIS DARI SUDUT PANDANG CITRA, KEDEPANNYA AKAN DITULIS NOTE SEPERTI INI UNTUK MEMPERJELAS CERITA.
Bersambung,,,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments