Bab 2. Mempesona

Pintu ruang perawatan spa terbuka perlahan, mempersilakan Aurora masuk. Aroma terapi yang menenangkan, campuran lavender dan chamomile, langsung menyambutnya. Ruangan itu tampak elegan, dengan pencahayaan redup yang menciptakan suasana damai.

Beberapa terapis berdiri tegak, menyambutnya dengan senyum ramah dan sangat profesional. Salah seorang terapis wanita paruh baya dengan mengulurkan tangannya. "Selamat datang, Nona. Silakan ikuti saya."

Aurora mengangguk, dia mengikuti terapis itu menuju sebuah ruangan yang lebih kecil, di mana sebuah bak mandi besar berdiri megah di tengah ruangan. "Nona, silakan bersihkan tubuh Anda terlebih dahulu. Kami sudah menyiapkan air hangat yang telah dicampur dengan aroma terapi untuk membantu Anda rileks."

Aurora menurut, dia menanggalkan pakaiannya dengan hati-hati dan merasa sedikit canggung. Gadis itu membersihkan tubuhnya dengan perlahan, membiarkan aroma terapi harum memenuhi ruangan

Dalam bak mandi yang dipenuhi busa dan juga air hangat, Aurora terus menggosok kulitnya. Gadis itu memejamkan mata dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menenangkan.

Seorang terapis lain datang, bersiap untuk mencuci rambut Aurora. Sentuhan lembut jari-jari terapis itu di kulit membuat Aurora merasa nyaman. Dia menikmati setiap sentuhan, setiap buih sabun yang membersihkan rambutnya.

"Bagaimana, Nona? Apakah Anda merasa nyaman?" tanya terapis yang memijit lembut kepalanya

Aurora membuka matanya, tersenyum tipis."Sangat nyaman. Terima kasih."

Untuk sesaat, pikiran-pikiran buruk tentang apa yang terjadi sirna untuk sementara. Dia hanya fokus pada sensasi menenangkan yang diberikan perawatan spa. Aurora membiarkan dirinya terhanyut dalam kedamaian, melupakan sejenak beban hidup yang menimpanya.

Dua jam berlalu, Aurora terbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya masih terasa nyeri. Perlahan ia membuka mata dan menatap langit-langit kamar yang asing. Bau parfum mewah dan aroma bunga-bunga mahal memenuhi ruangan.

Perawatannya telah selesai. Sentuhan-sentuhan lembut para terapis masih terasa di kulitnya. Suara langkah kaki yang pelan mendekat memecah kesunyian. Ia melihat bayangan beberapa wanita memasuki ruangan, membawa kotak-kotak make up dan berbagai perlengkapan kecantikan.

Mereka adalah para penata rias, dan Aurora tahu, ini semua atas perintah Zico. Pria yang membelinya dari tempat pelelangan itu. Dia merasakan sesak di dadanya. "Cantik dan sempurna? Untuk apa?" gumamnya dalam hati.

Salah seorang penata rias mendekat. "Nona, mari ikut kami. Anda harus ber makeup."

Aurora hanya diam, matanya menatap kosong ke arah mereka. Meski ada keraguan, tetap saja dia harus patuh. Tangan-tangan terampil itu mulai bekerja, merias wajahnya dengan bedak dan lipstik.

"Silakan Anda pakai dress ini, Nona," kata penata rias lainnya, sambil mengangkat sebuah dress satin berwarna coklat muda yang berkilauan.

Dress itu tampak mahal dan elegan. Aurora segera memakainya. Rambut panjangnya yang berkilau dibiarkan tergerai. Kecantikan alami yang dimilikinya memang tak bisa dipungkiri, namun kecantikan itu terasa seperti kutukan baginya saat ini.

Dia hanya boneka yang dipamerkan, sebuah barang mahal yang akan menghibur pemiliknya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia berusaha menahannya.

Setengah jam kemudian, Aurora akhirnya siap. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Gadis cantik dalam balutan dress satin itu bukanlah dirinya yang sebenarnya. Aurora menghela napas panjang, lalu berkata lirih,"Semua ini sia-sia ...."

Langkah kaki pelan terdengar dari balik pintu. Pintu terbuka, memperlihatkan Fedric asisten kepercayaan Zico berdiri tegap di ambang pintu. Pria itu memanggil Aurora. “Nona waktu telah habis, mari ikut saya ke tempat Tuan.”

Wajah Fedric datar tanpa ekspresi. Hanya sorot mata yang tajam dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap. Aurora ingin bertanya sesuatu, tetapi dia bingung memulainya dari mana.

"Nona," panggil Fedric, suaranya rendah dan berat, tanpa sedikitpun nada ramah. "Tuan Zico sedang menunggu Anda."

Aurora menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Ia tak berani menatap mata Fedric terlalu lama. Pandangannya kembali tertuju ke arah lain sambil mengangguk pelan, sebagai jawaban atas perintah yang tak bisa ia tolak.

"Silakan," kata Fedric, tanpa basa-basi. Ia mengulurkan tangannya, bukan sebagai isyarat bantuan, melainkan sebagai tanda perintah.

Langkah Aurora mengikuti langkah Fedric yang berjalan di depannya. Udara terasa begitu berat menekan dadanya hingga sesak. Dia menarik napas panjang berkali-kali mencoba menetralisir kegugupan yang mendera.

Aroma khas hotel dengan campuran parfum tak mampu mengalihkan fokusnya. Di depannya, pintu kamar hotel yang menjadi saksi bisu pertemuan itu. Fedric mengetuk pintu dengan pelan. Bunyi ketukan itu terdengar nyaring di telinga Aurora dan semakin memperkuat debaran jantungnya.

Setelah beberapa saat, pintu terbuka. Fedric memberi isyarat kepada Aurora untuk masuk lebih dulu, "Silakan masuk, Nona."

Aurora melangkah masuk, tubuhnya menegang. Ruangan itu terasa sunyi, hanya diiringi suara samar dari luar. Di atas ranjang, Zico duduk dengan tenang, tatapannya tertuju pada Aurora. Pria itu tampak lebih tampan dari yang dia ingat. Keheningan yang mencekam itu membuat Aurora semakin gugup.

Zico tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak mampu menyembunyikan aura misterius yang melekat padanya

Suaranya, rendah dan sensual, memecah keheningan,"Apa yang kau lakukan di sana? Aku sudah menunggu lama, hingga membuatku hampir mat."

Zico berdiri dari ranjang, dia mendekati Aurora dengan langkah yang pelan namun pasti. Aurora terpaku di tempat, matanya tak mampu lepas dari tatapan Zico. Dia merasakan jantungnya berdebar semakin kencang, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Tuan, maafkan saya. Saya tidak tahu harus bagaimana?" seru Aurora memohon.

Ketegangan pun memuncak membuat Aurora semakin takut. Zico semakin dekat dan jarak mereka hanya beberapa sentimeter. Bau parfum Zico memenuhi indra penciuman Aurora

Hal itu semakin menambah kegugupan dan ketegangannya.

“Tenanglah,” bisik Zico, suaranya terdengar lembut.

Tanpa menunggu jawaban, Zico merengkuh tubuh Aurora dalam pelukannya. Pelukan yang awalnya terasa hangat, segera berubah menjadi jerat yang mencekik. Aurora merasakan tubuhnya diangkat dengan mudahnya oleh Zico

Aurora seperti boneka tanpa daya, dia terhuyung dan mengalungkan kedua tangannya di leher Zico. Hingga, pria itu meletakkan Aurora dengan lembut di atas ranjang.

Zico menatap Auroraz pandangannya tak lepas dari wajah gadis itu. Mata Zico yang gelap seakan mampu menembus jiwa Aurora. "Kau... sangat cantik," gumam Zico.

“Tuan, apa tugas saya sebagai seorang pelayan? Saya masih belum bisa mengerti?” tanya Aurora terbata-bata

Zico tersenyum tipis, dia mencengkeram kedua pipi Aurora. "Jangan seperti gadis bodoh. Tentu kau akan menjadi pelayan pribadiku. Paling penting adalah sekarang ini. Aku ingin kau memuaskanku sebagai partner ranjangku."

"Tapi, Tuan. Saya belum pernah melakukan hal itu! Mungkin saya akan sering salah. Mohon ajari saya dengan baik!" kata Aurora dengan mata sayu.

Zico tersenyum smirk, dia berdiri dan membuka kemejanya di depan Aurora. "Kau lihatlah, aku akan mengajarimu secara perlahan. Kau hanya perlu mengingatnya, karena aku akan mengajarimu sekali saja. Jadi, simaklah baik-baik.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!