Apartemen Zeyn begitu rapi dan minimalis—seperti pemiliknya. Semua furnitur dipilih dengan desain modern dan maskulin, dengan dominasi warna hitam, abu-abu, dan putih. Tidak ada barang yang tampak tidak pada tempatnya, bahkan setiap sudut ruangan terlihat seperti tata letak dalam majalah desain interior. Ruangannya terasa sunyi, hanya terdengar suara samar-samar pendingin ruangan yang bekerja tanpa cela. Aromanya khas, kombinasi antara kopi hitam yang baru diseduh dan wangi maskulin dari diffuser di sudut ruangan.
Sienna duduk di salah satu kursi makan dengan tangan mengepal di pangkuannya. Perasaannya campur aduk, setengah kesal, setengah cemas. Ia masih tidak percaya bahwa ia harus melalui ini—berpura-pura sebagai istri bahagia di depan orang tua mereka. Sienna bukan aktris, dan berpura-pura di depan dua wanita yang bisa membaca gerak-geriknya dengan sempurna terasa seperti mimpi buruk.
Di seberangnya, Zeyn duduk dengan ekspresi datar seperti biasa, tampak begitu santai seolah pertemuan ini hanyalah acara makan siang biasa. Rahangnya tegas, matanya tajam, dan setiap gerakannya terlihat efisien. Tidak ada yang terbuang sia-sia, bahkan ketika ia menuangkan teh ke dalam cangkir ibunya, Diana, sebelum juga mengisi cangkir Lydia, ibu Sienna, semuanya dilakukan dengan presisi. Seakan ia sedang menggambar garis lurus dalam rancangannya, tanpa ada satu detail pun yang meleset.
"Terima kasih, Zeyn," ucap Lydia dengan senyum hangat, meskipun ada tatapan menyelidik dalam matanya.
Sienna melirik ibunya dengan waspada. Ia mengenal tatapan itu. Tatapan yang seakan menelanjangi segala kebohongan.
Di sebelah Lydia, Diana tampak lebih ceria. Wanita itu terlihat bahagia, terus-menerus menatap Sienna dan Zeyn bergantian dengan senyum penuh arti. "Jadi, bagaimana bulan madu kalian di Jepang?" suara Diana terdengar antusias, sementara ia mengangkat cangkir tehnya dengan elegan.
Sienna ingin menjawab bahwa bulan madu mereka lebih terasa seperti dua orang asing yang dipaksa tinggal bersama—tetapi tentu saja ia tidak bisa mengatakan itu.
Zeynlah yang lebih dulu merespons, dengan nada yang tenang tetapi tajam. "Baik-baik saja."
Sienna meliriknya dengan tatapan tajam. Itu saja? Baik-baik saja?
Lydia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya berbinar dengan rasa ingin tahu. "Sienna, kau terlihat lebih... bersinar."
Sienna nyaris tersedak tehnya sendiri. Wajahnya memanas, dan ia bisa melihat Zeyn meliriknya dari ekor matanya.
"A-apa maksudmu, bu?" tanyanya, mencoba mengendalikan nada suaranya agar terdengar biasa saja.
Diana terkekeh pelan. "Maksudnya, kau terlihat lebih dewasa, lebih... bahagia." Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Zeyn penuh arti. "Zeyn memperlakukanmu dengan baik, kan?"
Sienna tersenyum kaku. Apa yang harus ia katakan? Jika yang dimaksud adalah Zeyn membelikannya makanan favoritnya tanpa bertanya atau selalu memastikan ia tidak kedinginan di Jepang, maka ya—Zeyn memang perhatian. Tapi jika yang dimaksud adalah suami yang romantis, tentu saja tidak.
Namun, sebelum ia bisa berkata apa pun, Zeyn menoleh ke arahnya dan menatapnya dalam-dalam. Tatapan itu. Tatapan yang seolah menantangnya untuk berpura-pura lebih baik lagi.
Sienna menghela napas pelan sebelum akhirnya tersenyum, meskipun terasa sedikit dipaksakan. "Tentu saja, Bu. Zeyn... baik sekali."
Lydia dan Diana saling bertukar pandang dengan senyum puas. Tetapi belum selesai sampai di situ. Diana meletakkan sumpitnya, menatap keduanya dengan antusias. "Jadi..." ia berhenti sejenak, menatap Sienna dengan penuh harapan. "Bagaimana malam pertama kalian?"
Sienna membeku.
Zeyn yang sedang menyesap tehnya juga tampak sedikit terhenti.
Lydia tertawa kecil melihat ekspresi Sienna. "Sienna, kenapa wajahmu merah begitu?"
'Karena aku ingin menghilang dari dunia ini sekarang juga.' batinnya. Sienna mengalihkan tatapannya ke meja, berpikir keras bagaimana caranya menghindari pertanyaan ini.
Namun, sebelum ia bisa menemukan jawaban, Zeyn berbicara lebih dulu. "Malam pertama kami berjalan lancar."
Sienna tersentak dan langsung menatapnya. Apa?!
Lydia dan Diana langsung bersorak pelan, sementara Sienna merasa ingin menendang kaki Zeyn di bawah meja. Berjalan lancar? Pria ini benar-benar tidak punya rasa malu!
"Oh, syukurlah!" Diana hampir menepuk tangannya. "Aku dan Lydia sudah khawatir kalau kalian terlalu canggung satu sama lain. Tapi ternyata tidak, ya?"
Sienna merasa wajahnya semakin panas. Ia ingin sekali menghentikan sandiwara ini.
Lydia tersenyum lembut, lalu menatap Sienna penuh harapan. "Kalau begitu, kapan kau akan memberi kami cucu?"
Sienna benar-benar tersedak kali ini. Sementara itu, Diana ikut berseru penuh semangat. "Oh, benar! Aku tidak sabar ingin menggendong cucu pertama kami!"
Sienna buru-buru mengambil air putih dan meminumnya untuk menenangkan diri. Ia bisa merasakan napasnya hampir tersengal karena betapa absurdnya situasi ini.
Ia melirik Zeyn dengan tatapan penuh kebencian dan seolah berkata 'ini semua salahmu!'
Tetapi pria itu tampak begitu tenang, seolah ini bukan masalah besar sama sekali. Zeyn akhirnya meletakkan cangkir tehnya dan menatap kedua wanita itu dengan ekspresi santai. "Kami baru menikah, Bu. Tidak perlu terburu-buru membahas soal anak."
Lydia tersenyum kecil. "Tapi kalau bisa lebih cepat, kenapa tidak?"
Sienna ingin berteriak, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam dan mendengarkan semua ocehan ibunya dan ibu mertuanya yang berpikir bahwa membuat bayi hanya memerlukan proses satu malam saja.
Diana mengangguk penuh semangat. "Iya, benar! Sienna, kau sendiri bagaimana? Apa kau juga berpikir untuk segera punya anak?"
Sienna menelan ludah. Ia tidak bisa menatap ibunya atau ibu mertuanya. Akhirnya, ia menunduk dan berkata pelan, "Aku... aku tidak tahu."
Diana dan Lydia saling bertukar pandang.
Zeyn yang melihat Sienna tampak canggung, akhirnya berbicara. "Sudah cukup, Bu. Jangan membahas soal anak lagi." Suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya, dan tiba-tiba atmosfer ruangan berubah lebih serius.
Diana mengangkat alis, tetapi tetap tersenyum. "Baiklah, baiklah. Kami hanya penasaran."
Sienna diam-diam menghela napas lega. Untuk pertama kalinya hari ini, ia bersyukur atas ketegasan Zeyn. Tetapi ia tahu, ini hanya awal dari segalanya.
***
Setelah makan siang yang terasa lebih seperti sesi interogasi terselubung, Sienna merasa udara di apartemen semakin menyesakkan. Pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya soal malam pertama dan kemungkinan hadirnya seorang anak membuat dadanya terasa sesak. Ia butuh alasan untuk menjauh, sesuatu yang membuatnya terlihat sibuk tetapi tetap memberinya kesempatan untuk bernapas.
Maka, dengan langkah cepat, ia menuju dapur, berencana mencuci piring yang masih tersisa di wastafel. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh piring kotor, sebuah genggaman mencegahnya.
“Biar aku saja,” suara Zeyn terdengar datar, tanpa emosi berlebihan.
Sienna menatapnya, bingung. “Kenapa?”
Zeyn menghela napas, seolah malas berdebat. “Kau selalu ceroboh kalau mencuci piring. Aku tidak mau kau memecahkan sesuatu.”
Sienna mendengus, merasa diremehkan. “Aku tidak seceroboh itu!”
Alih-alih berargumen lebih jauh, Zeyn langsung mengambil piring dari tangannya dan membawanya ke wastafel. Sienna melipat tangan di dada, tidak terima. Ini bukan sekadar soal mencuci piring—ini tentang bagaimana pria itu selalu merasa harus mengontrol segalanya.
Dengan gerakan cepat, ia mencoba merebut kembali piring yang dipegang Zeyn. “Berikan padaku. Aku bisa melakukannya sendiri.”
Zeyn menatapnya sekilas sebelum mendesah, kali ini terdengar lebih frustrasi. “Jangan keras kepala.”
“Aku tidak keras kepala!”
Sienna menarik piring itu dengan sedikit tenaga, dan saat itulah segalanya berubah menjadi kekacauan. Tangan mereka bertemu di atas piring yang licin dengan sisa busa sabun. Air terciprat, lantai menjadi lebih licin dari sebelumnya, dan dalam satu detik yang tak terkendali, keseimbangan Sienna hilang.
Ia terpeleset.
Segalanya terjadi begitu cepat—sebelum ia sempat menyadari, tubuhnya sudah terhuyung ke depan.
Dan sebelum ia jatuh…
Zeyn menangkapnya.
Sienna tersentak. Dada bidang pria itu kini hanya sejengkal dari wajahnya, sementara kedua tangan Zeyn dengan refleks memegang pinggang Sienna untuk memastikan ia tidak jatuh. Napas mereka saling beradu, dan untuk sesaat, dunia terasa membeku.
Posisi mereka terlalu dekat. Terlalu intim.
Dan tepat saat itu—
Pintu dapur terbuka lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments