NovelToon NovelToon

Perfectly Imperfect

Kesalahan atau Takdir?

Matahari musim semi mengintip melalui jendela kayu penginapan, cahayanya yang lembut menerobos masuk, menari di atas lantai tatami. Di luar, udara masih dingin, embun pagi menggantung di ranting-ranting pohon sakura yang mulai bermekaran. Burung-burung kecil berkicau pelan, menyambut pagi dengan nada yang damai.

Namun, di dalam kamar sederhana itu, dua insan masih tertidur lelap, terbungkus dalam kehangatan satu sama lain.

Zeyn merasakan sesuatu bergerak dalam pelukannya. Sienna menggeliat pelan, menggosokkan kepalanya ke dada Zeyn, tubuhnya yang mungil mencari posisi lebih nyaman. Dalam tidurnya, bibirnya sedikit mengerucut seperti anak kecil yang malas bangun.

Zeyn, yang awalnya juga masih terlelap, tersadar saat merasakan kehangatan kulit Sienna yang terlalu dekat, terlalu nyata.

Tunggu.

Kelopak matanya terbuka, dan kesadarannya langsung menyerang begitu cepat hingga ia merasa kaget sendiri. Napasnya tertahan di tenggorokan saat ia menunduk dan melihat pemandangan di depannya.

Sienna—telanjang—terselimuti dengan kain tipis yang melorot hingga ke punggungnya. Lengannya masih melingkar di pinggang Zeyn, wajahnya terlihat begitu damai, tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Zeyn membeku.

Pikirannya bekerja cepat, mencoba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Potongan-potongan ingatan itu menyerbu masuk: bibir mereka yang saling bertaut, napas yang memburu, jemari yang menelusuri setiap inci tubuh, desahan tertahan, hingga bagaimana mereka tenggelam dalam panasnya malam yang seharusnya tidak terjadi.

Sial.

Zeyn mengatupkan rahangnya rapat. Apa yang sudah ia lakukan?

Ia tahu mereka terjebak dalam suasana, tapi bagaimana mungkin ia kehilangan kendali sejauh itu? Ini bukan dirinya. Zeyn Alfarez tidak pernah membiarkan emosinya menguasai logikanya. Tapi malam itu...

Malam itu, dia memang menginginkan Sienna. Dan sekarang, mereka harus menghadapi konsekuensinya. Zeyn menarik napas dalam dan mencoba membangunkan Sienna dengan mengguncang bahunya pelan. "Sienna." Suaranya terdengar lebih serak dari biasanya.

Sienna hanya bergumam pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Zeyn.

Zeyn mendesah pelan, mengusap wajahnya dengan satu tangan. Ia mencoba sekali lagi, kali ini lebih tegas. "Sienna, bangun."

Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, tubuhnya masih enggan bergerak. Kemudian, saat kesadarannya perlahan kembali, Sienna menegakkan kepalanya, melihat langsung ke mata Zeyn yang mengawasinya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Sejenak, mereka hanya bertatapan dalam diam. Lalu, ekspresi Sienna berubah dari bingung menjadi kaget.

Ia menunduk, melihat dirinya yang tidak mengenakan pakaian, lalu melihat ke arah Zeyn yang juga tidak memakai apa pun di balik selimut.

Wajahnya langsung pucat.

Zeyn bisa melihat napasnya tertahan, dan dalam satu detik berikutnya, Sienna menarik udara dalam-dalam, hendak berteriak.

Sial.

Dengan refleks cepat, Zeyn menutup mulut Sienna dengan tangannya, menatapnya tajam. "Jangan berteriak," bisiknya dengan suara rendah, nyaris mendesak. "Kau mau semua orang di penginapan tahu?"

Sienna mengerjap beberapa kali, ekspresinya panik. Namun, ia akhirnya mengangguk cepat. Zeyn perlahan melepaskan tangannya dari bibir Sienna, tapi tetap mengawasinya dengan tatapan waspada, seolah gadis itu bisa meledak kapan saja.

Sienna menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, wajahnya merah padam. "K-kita... semalam..." suaranya bergetar.

Zeyn merasakan sesuatu di dadanya mencelos, seakan masih berharap kalau mungkin saja mereka hanya tertidur begitu saja tanpa melewati batas. Ia ingin menjelaskan sesuatu, tapi sebelum ia sempat berbicara, Sienna sudah meringis kecil, tangannya turun ke bagian bawah tubuhnya.

Dan saat itulah Zeyn tahu, tidak ada lagi yang bisa ia sangkal.Kare na ekspresi Sienna yang merasakan nyeri di tubuhnya cukup menjadi bukti. Mereka benar-benar melakukannya. Mereka telah melewati batas yang seharusnya tidak mereka langgar.

Dan sekarang, tidak ada jalan untuk kembali.

***

Sienna tetap diam. Napasnya tersendat, jari-jarinya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat, seakan otaknya masih mencoba mencerna kenyataan yang baru saja ia sadari.

Zeyn mengamati ekspresinya dengan saksama. Ia bisa melihat ketakutan, kebingungan, dan syok yang jelas terpampang di mata Sienna. Gadis itu masih mencerna fakta bahwa mereka benar-benar telah melewati batas semalam.

Udara di kamar terasa berat. Hening yang menyesakkan menggantung di antara mereka, hanya diiringi suara desir angin musim semi yang masuk melalui celah jendela kayu.

Zeyn mengusap wajahnya, mencoba mencari cara untuk mengendalikan situasi. Ini tidak bisa dibiarkan menjadi semakin buruk.

Sienna akhirnya membuka mulut, suaranya nyaris berbisik, "K-kenapa... bisa sampai begini?"

Zeyn tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam sebelum berkata dengan suara rendah, nyaris datar, "Karena kita sama-sama menginginkannya."

Sienna menoleh, menatapnya dengan mata melebar. "Apa?"

Zeyn menahan keinginannya untuk menghela napas berat. Ia tahu gadis ini akan menyangkal. "Kau pikir aku memaksamu?" tanyanya dingin, tatapannya tajam.

Sienna tampak goyah sejenak. Ia membuka mulut, hendak membantah, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Karena ia tahu Zeyn benar. Ia mengingat bagaimana dirinya membalas ciuman Zeyn, bagaimana ia menyerah pada sentuhan pria itu.

Tapi tetap saja...

"Kita seharusnya tidak melakukan ini," gumam Sienna lebih pada dirinya sendiri, suaranya bergetar. "Ini... bukan bagian dari kesepakatan."

Zeyn menegang. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada yang ia kira. Kesepakatan.

Benar. Pernikahan mereka bukanlah tentang cinta atau gairah. Ini adalah sesuatu yang diatur, sesuatu yang seharusnya hanya menjadi formalitas. Dan dia, yang selalu rasional, yang selalu mengendalikan segalanya, telah melanggar aturan yang ia buat sendiri.

"Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi," kata Zeyn akhirnya, suaranya tetap datar, tapi matanya tajam menusuk ke arah Sienna.

Gadis itu menggeleng pelan, ekspresinya masih kacau. "Tapi... aku butuh waktu."

Zeyn mengatupkan rahangnya. "Untuk apa?"

"Untuk memahami semua ini," jawab Sienna, menundukkan kepalanya. "Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana setelah ini."

Zeyn diam. Ia bisa merasakan tembok di antara mereka semakin tinggi. Sienna kembali mencoba menjaga jarak, seakan ingin menghapus malam tadi dari pikirannya. Dan anehnya, hal itu mengganggunya lebih dari yang ia kira.

Akhirnya, Zeyn bangkit dari futon, tubuh telanjangnya hanya tertutup selimut yang melorot dari pundaknya. Ia meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai, mengenakannya tanpa tergesa-gesa, lalu berbalik menatap Sienna yang masih duduk memeluk lututnya.

"Aku akan keluar sebentar," ucapnya akhirnya, suaranya tetap tenang tapi tegas. "Kita akan bicara lagi nanti."

Sienna mengangkat kepalanya, menatap Zeyn dengan kebingungan. "Kau mau pergi kemana?"

Zeyn tidak menjawab langsung. Ia hanya merapikan pakaiannya, lalu mengambil jaketnya. "Aku butuh udara segar."

Sienna menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin meminta Zeyn untuk tidak pergi karena ada sesuatu dalam dirinya yang merasa takut jika ditinggalkan sendirian dalam situasi seperti ini.

Tapi bibirnya tetap terkatup rapat.

Zeyn menatapnya sejenak, lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Sienna dengan pikirannya yang berkecamuk.

***

Ketika Logika Tak Lagi Berbicara

Udara pagi musim semi terasa sejuk saat Zeyn melangkah keluar dari penginapan, membiarkan angin menerpa wajahnya. Langit mulai berubah warna, dari jingga ke biru muda, memberikan nuansa tenang pada desa kecil itu. Namun, tidak ada ketenangan di dalam dirinya.

Zeyn berjalan menyusuri jalanan berbatu, membiarkan langkah kakinya membawanya tanpa arah yang jelas. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran. Tentang apa yang baru saja terjadi. Tentang Sienna.

Tentang bagaimana ia kehilangan kendali.

Ia tidak menyesalinya. Tidak sama sekali.

Tapi ia juga tahu, ini akan mengubah banyak hal.

Sienna bukan gadis biasa dalam hidupnya. Ia adalah istrinya, seseorang yang seharusnya hanya menjadi bagian dari perjanjian yang disusun dengan matang. Tapi sekarang...

Sekarang semuanya menjadi berantakan.

Zeyn menghela napas panjang, mengusap tengkuknya. Ia harus memikirkan langkah berikutnya. Jika Sienna menganggap ini sebuah kesalahan, apakah ia seharusnya ikut berpikir demikian? Atau mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

***

Musim semi di Jepang seharusnya terasa indah. Udara masih sejuk, aroma bunga sakura memenuhi udara, dan matahari bersinar hangat tanpa terlalu menyengat. Namun, bagi Sienna, keindahan itu terasa kontras dengan ketegangan yang menyelimuti dirinya dan Zeyn setelah malam itu.

Ia masih bisa merasakan sakit yang samar di tubuhnya. Bukti dari apa yang terjadi semalam. Bukti yang membuatnya terus bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi antara mereka?

Mereka kini duduk di restoran kecil di Tokyo, berhadapan dalam diam. Restoran itu memiliki suasana tradisional yang tenang, dengan lantai tatami dan meja kayu rendah. Beberapa pasangan terlihat menikmati makan siang mereka dengan senyum hangat, sementara ia dan Zeyn duduk dalam kebisuan yang nyaris menyiksa.

Sienna mengaduk teh hijaunya dengan malas. Ia tidak berani menatap Zeyn terlalu lama. Pria itu duduk dengan postur sempurna seperti biasa, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung rapi. Ekspresinya tetap dingin dan tak terbaca, seolah tidak ada yang berubah.

Tetapi Sienna tahu itu tidak benar.

Mereka telah melewati batas yang seharusnya tidak mereka lewati. Akhirnya, Sienna memberanikan diri berbicara. Suaranya pelan, tetapi cukup tajam untuk mengusik keheningan di antara mereka. "Jadi... kita tidak akan membicarakan ini sama sekali?"

Zeyn mengangkat pandangannya dari cangkir kopi hitamnya, lalu menatapnya dengan mata gelap yang selalu terlihat tajam. "Bicara soal apa?" tanyanya datar.

Sienna menahan napas. Astaga, benar-benar pria ini!

Sienna mengepalkan tangannya di bawah meja. Tentu saja, Zeyn pasti akan pura-pura tidak peduli. Tentu saja dia akan bersikap seolah-olah ini bukan masalah besar.

"Kau tahu maksudku, Zeyn," katanya, lebih tajam kali ini. "Apa yang terjadi semalam..."

Zeyn meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi. Tatapannya tetap tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa tajam, hampir seperti peringatan. "Kau ingin aku mengatakan apa, Sienna?" tanyanya. "Bahwa aku menyesal? Bahwa aku tidak seharusnya menyentuhmu?"

Sienna terdiam. Ia tidak tahu apakah ia ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Zeyn atau tidak.

Zeyn menatapnya beberapa detik lebih lama sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Kita sudah menikah, Sienna," katanya akhirnya, suaranya tenang tetapi tajam. "Apa yang terjadi semalam... wajar saja terjadi di antara suami-istri."

Sienna merasakan amarahnya naik. Wajar?

Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosinya, tetapi percuma.

"Tidak ada hal yang wajar dari pernikahan kita, Zeyn!" bisiknya tajam, matanya berkilat marah. "Kita menikah karena perjodohan, bukan karena saling mencintai!"

Zeyn akhirnya menatapnya lagi. Kali ini, ada sesuatu yang berbahaya dalam sorot matanya.

"Dan kau pikir itu alasan untuk menyangkal kenyataan?" tanyanya pelan, tetapi ada nada tajam dalam suaranya. "Kau pikir dengan terus menghindar, semua ini akan hilang begitu saja?"

Sienna terdiam.

"Atau..." Zeyn melanjutkan, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Kau takut karena kau tidak bisa mengabaikan apa yang kau rasakan saat aku menyentuhmu?"

Jantung Sienna berhenti berdetak sejenak. Matanya melebar, dan ia bisa merasakan panas naik ke wajahnya.

Bajingan.

Zeyn pasti bisa melihat keterkejutannya, karena sudut bibirnya sedikit tertarik, nyaris seperti smirk.

Sienna buru-buru berdiri, kursinya bergeser dengan suara berdecit di lantai kayu. Ia tidak peduli jika orang lain menoleh ke arahnya. Ia hanya ingin menjauh. "Aku sudah selesai," katanya singkat, sebelum berbalik dan berjalan keluar dari restoran.

Zeyn tidak menghentikannya.

Tetapi ia tahu pria itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.

***

Langit Jakarta mendung ketika pesawat mereka mendarat. Setelah dua minggu di Jepang—yang terasa lebih seperti perang dingin daripada bulan madu—Sienna menghela napas lega begitu melihat landasan bandara Soekarno-Hatta dari jendela pesawat. Ia tidak sabar untuk kembali ke kehidupannya, kembali ke apartemen kecilnya yang sederhana, jauh dari atmosfer canggung bersama Zeyn.

Selama perjalanan pulang, mereka hampir tidak berbicara. Sejak malam itu di hotel, segalanya berubah. Mereka tidur berjauhan setelahnya, hanya berbicara jika benar-benar perlu, dan menghindari kontak fisik sejauh mungkin. Tapi tetap saja, Sienna tidak bisa menghapus bayangan kejadian itu dari pikirannya.

Dan kini, di bandara, saat Sienna mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi menuju apartemennya, suara dingin Zeyn menghentikannya.

"Batalkan."

Sienna menoleh, menatap pria itu dengan alis bertaut. "Apa maksudmu?"

Zeyn memasukkan tangan ke saku celananya, ekspresinya tetap datar, matanya tajam seperti biasa. "Kau tidak akan kembali ke apartemenmu."

Sienna mengerutkan kening. "Tentu saja aku akan kembali ke apartemenku. Kau pikir aku mau tinggal di mana?"

Zeyn menghela napas panjang, seolah tidak punya kesabaran untuk mendebat ini. "Kita sudah menikah, Sienna. Setelah apa yang terjadi, kau pikir aku akan membiarkanmu tinggal sendiri di apartemen kecil itu?"

Nada suaranya membuat Sienna kesal. "Itu bukan apartemen kecil," sahutnya defensif.

Zeyn menatapnya dengan ekspresi ‘jangan-buang-waktuku’. "Sudah kubilang, batalkan pesanan taksimu. Kita akan tinggal bersama."

***

Permainan Kepura-puraan

Zeyn menatapnya dengan ekspresi ‘jangan-buang-waktuku’. "Sudah kubilang, batalkan pesanan taksimu. Kita akan tinggal bersama."

Sienna merasakan napasnya tercekat. Tinggal bersama? Tidak. Itu bukan bagian dari kesepakatan. Tidak pernah ada pembicaraan bahwa mereka harus berbagi tempat tinggal setelah menikah.

"Kau tidak bisa seenaknya mengatur hidupku, Zeyn!" protesnya, bersikeras tetap memesan taksi.

Tapi sebelum ia sempat menekan tombol 'pesan', Zeyn sudah meraih pergelangan tangannya dengan cengkeraman yang cukup kuat.

"Sienna," katanya dengan nada rendah tapi berbahaya. "Aku tidak ingin mengulanginya lagi. Aku suamimu, dan setelah apa yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu tinggal sendiri. Kau akan tinggal di tempatku. Dan aku akan mengurus kepindahanmu."

Sienna menatapnya dengan frustrasi, tetapi ia juga bisa melihat sesuatu di mata Zeyn—sesuatu yang tidak mudah ia terjemahkan. Tanggung jawab? Kepemilikan? Atau sesuatu yang lain?

"Aku tidak mau tinggal denganmu," bisiknya, suaranya terdengar lebih rapuh dari yang ia inginkan.

Zeyn menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, "Terlambat untuk menolak, Sienna."

***

Dua hari kemudian, dengan koper dan beberapa kardus yang diangkut oleh jasa pindahan, Sienna resmi pindah ke apartemen Zeyn.

Apartemen pria itu jauh lebih besar, lebih modern, dengan desain minimalis khas seorang arsitek yang perfeksionis. Tidak ada barang yang tidak pada tempatnya, setiap furnitur tampak dipilih dengan perhitungan matang. Tidak ada jejak kehangatan di sana—hanya efisiensi, ketertiban, dan kesan dingin yang mencerminkan pemiliknya.

Sienna berdiri di tengah ruang tamu, merasa seperti orang asing di tempat yang seharusnya kini menjadi rumahnya.

"Kau bisa menggunakan kamar tamu," kata Zeyn, meletakkan laptopnya di meja kerja yang ada di salah satu sudut ruangan.

Sienna menoleh. "Kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa kembali ke apartemenku—"

Zeyn menatapnya tajam, membuat Sienna kehilangan keberanian untuk melanjutkan.

"Kamar utama tetap kamarku," lanjut Zeyn, seolah mengabaikan keberatannya. "Aku tidak suka tempat tidur berantakan, jadi jangan menyentuhnya kalau kau tidak bisa merapikannya lagi. Dan aku tidak suka ada barang-barang yang tidak pada tempatnya."

Sienna menghela napas, merasa dadanya semakin sesak. "Kau pikir aku ini apa? Tahanan?"

Zeyn menatapnya sekilas sebelum berjalan ke dapur, membuka lemari dan mengambil cangkir kopi hitam favoritnya. "Kau bisa pergi kalau mau," katanya santai. "Tapi aku akan tetap mengirim orang untuk membawa barang-barangmu kembali ke sini."

Sienna mengepalkan tangannya, menahan keinginannya untuk melempar sesuatu ke arah pria itu. "Kenapa kau seperti ini, Zeyn?" tanyanya lirih.

Zeyn menyesap kopinya sebelum menjawab, "Karena aku tidak main-main dengan tanggung jawabku."

Sienna terdiam. Kata-kata itu menusuknya lebih dari yang ia kira.

Tanggung jawab.

Jadi itu saja?

Apakah ini hanya tentang tanggung jawab bagi Zeyn?

Tidak ada yang lain?

Sienna menggigit bibirnya. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau justru semakin sakit hati.

***

Suara bel apartemen berdenting tajam, memecah keheningan yang sejak tadi memenuhi ruangan. Sienna, yang sedang duduk di sofa sambil menikmati semangkuk es krim, hampir menjatuhkan sendoknya. Ia menoleh ke arah pintu, lalu menatap Zeyn yang duduk di seberang meja dengan laptop terbuka, tampak fokus pada pekerjaannya.

Zeyn menghela napas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Dengan enggan, ia menutup laptopnya dan bangkit berdiri. "Itu pasti mereka," gumamnya datar.

Sienna mengerutkan kening. "Mereka siapa?"

Alih-alih menjawab, Zeyn berjalan menuju pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, suara ceria langsung menyambut mereka.

"Sienna, sayang! Ibu rindu sekali!"

Sienna nyaris tersedak es krimnya saat melihat ibunya, Lydia Valerisse, masuk ke apartemen dengan penuh semangat, diikuti oleh Diana Alfarez yang tampak tidak kalah bersemangat. Dan di belakang mereka, ayah Zeyn, Andreas Alfarez, dan juga ayah Sienna, Hendry Valerisse melangkah masuk dengan ekspresi datar yang khas.

"Sienna," Lydia langsung menarik putrinya ke dalam pelukan erat, sementara Diana ikut tersenyum lebar. "Kau terlihat semakin cantik! Bagaimana bulan madunya? Menyenangkan, kan?"

Sienna tidak sempat menjawab karena Lydia sudah membombardirnya dengan pertanyaan lain. "Kalian pasti menikmati waktu berdua, kan? Aku tahu Zeyn anaknya agak dingin, tapi ibu yakin dia romantis dalam caranya sendiri!"

Sienna ingin tertawa miris. Romantis? Zeyn? Itu dua kata yang tidak mungkin berada dalam satu kalimat.

Sementara itu, Zeyn hanya berdiri di dekat pintu, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tetapi Sienna bisa melihat dagunya sedikit menegang. "Kenapa kalian tidak bilang kalau mau datang?" tanya Zeyn akhirnya, suaranya terdengar datar dan sedikit ketus.

Diana menepuk lengan putranya. "Kami ingin memberi kejutan! Lagipula, setelah kalian menikah, kami belum pernah mampir ke rumah kalian!"

Rumah? Sienna melirik sekeliling. Apartemen ini memang tempat tinggal mereka sekarang, tetapi sama sekali tidak terasa seperti rumah baginya. Sienna ingin protes, tetapi tatapan tajam Zeyn menghentikannya. Ia tahu, ini adalah momen di mana mereka harus berpura-pura.

"Kami baik-baik saja, Bu," kata Sienna akhirnya, mencoba terdengar meyakinkan. Ia bahkan tersenyum kecil. "Bulan madunya menyenangkan."

Lydia dan Diana tampak puas mendengarnya, tetapi kemudian Lydia mengerutkan kening, matanya menyapu seisi ruangan. "Tunggu dulu. Kalian tidur di kamar yang sama, kan?"

Sienna langsung membeku. Ia melirik Zeyn, berharap pria itu bisa menjawabnya.

Zeyn, dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasa, hanya menatap ibunya dengan tenang. "Tentu saja."

Lydia mengerutkan kening. "Oh ya?" Ia lalu melangkah ke koridor dan membuka salah satu pintu.

Sienna menahan napas. Astaga. Itu kamar tamu!

Lydia melihat ke dalam dan menoleh kembali dengan ekspresi curiga. "Kalau kalian tidur bersama, kenapa tempat tidur di kamar ini terlihat habis dipakai?"

Sienna melirik Zeyn dengan panik. Tetapi, seperti biasa, pria itu tetap tenang. Ia berjalan santai ke arah Lydia dan menutup pintu kamar dengan satu tangan, seolah tidak mau mendengar lebih lanjut.

"Kami sering bekerja sampai larut," katanya santai. "Kadang, Sienna tertidur di sana."

Sienna terbelalak. Oh, dia memang pintar berbohong.

Lydia masih tampak tidak sepenuhnya percaya, tetapi Diana menyelamatkan situasi. "Ah, sudah lah, Lydia! Yang penting mereka bahagia, kan?" Ia menatap putranya dengan mata berbinar. "Kalian memang cocok! Lihat bagaimana Zeyn melindungi Sienna tadi? Begitu penuh perhatian!"

Sienna hampir tertawa. Zeyn? Penuh perhatian? Dimana?

Zeyn tidak bereaksi, tetapi rahangnya sedikit mengencang. Lalu, tanpa peringatan, ia meraih tangan Sienna dan menariknya lebih dekat.

Sienna nyaris tersandung karena tidak siap dengan sentuhan tiba-tiba itu. Ia menatap Zeyn dengan bingung, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke arah ibu mereka.

"Kami baik-baik saja," ulang Zeyn, suaranya terdengar lebih lembut, tetapi tetap dengan nada dingin yang khas. "Jadi, kalian tidak perlu khawatir."

Diana tersenyum puas. "Bagus! Kami juga membawa makanan, ayo kita makan bersama!"

Zeyn akhirnya melepaskan tangan Sienna dan berbalik, tetapi sebelum pergi, ia berbisik pelan, hanya untuk didengar oleh Sienna.

"Jangan membuat kesalahan, Sienna. Kita harus meyakinkan mereka."

Sienna menelan ludah. Ya Tuhan, ini akan menjadi hari yang panjang.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!