Permainan Kepura-puraan

Zeyn menatapnya dengan ekspresi ‘jangan-buang-waktuku’. "Sudah kubilang, batalkan pesanan taksimu. Kita akan tinggal bersama."

Sienna merasakan napasnya tercekat. Tinggal bersama? Tidak. Itu bukan bagian dari kesepakatan. Tidak pernah ada pembicaraan bahwa mereka harus berbagi tempat tinggal setelah menikah.

"Kau tidak bisa seenaknya mengatur hidupku, Zeyn!" protesnya, bersikeras tetap memesan taksi.

Tapi sebelum ia sempat menekan tombol 'pesan', Zeyn sudah meraih pergelangan tangannya dengan cengkeraman yang cukup kuat.

"Sienna," katanya dengan nada rendah tapi berbahaya. "Aku tidak ingin mengulanginya lagi. Aku suamimu, dan setelah apa yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu tinggal sendiri. Kau akan tinggal di tempatku. Dan aku akan mengurus kepindahanmu."

Sienna menatapnya dengan frustrasi, tetapi ia juga bisa melihat sesuatu di mata Zeyn—sesuatu yang tidak mudah ia terjemahkan. Tanggung jawab? Kepemilikan? Atau sesuatu yang lain?

"Aku tidak mau tinggal denganmu," bisiknya, suaranya terdengar lebih rapuh dari yang ia inginkan.

Zeyn menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, "Terlambat untuk menolak, Sienna."

***

Dua hari kemudian, dengan koper dan beberapa kardus yang diangkut oleh jasa pindahan, Sienna resmi pindah ke apartemen Zeyn.

Apartemen pria itu jauh lebih besar, lebih modern, dengan desain minimalis khas seorang arsitek yang perfeksionis. Tidak ada barang yang tidak pada tempatnya, setiap furnitur tampak dipilih dengan perhitungan matang. Tidak ada jejak kehangatan di sana—hanya efisiensi, ketertiban, dan kesan dingin yang mencerminkan pemiliknya.

Sienna berdiri di tengah ruang tamu, merasa seperti orang asing di tempat yang seharusnya kini menjadi rumahnya.

"Kau bisa menggunakan kamar tamu," kata Zeyn, meletakkan laptopnya di meja kerja yang ada di salah satu sudut ruangan.

Sienna menoleh. "Kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa kembali ke apartemenku—"

Zeyn menatapnya tajam, membuat Sienna kehilangan keberanian untuk melanjutkan.

"Kamar utama tetap kamarku," lanjut Zeyn, seolah mengabaikan keberatannya. "Aku tidak suka tempat tidur berantakan, jadi jangan menyentuhnya kalau kau tidak bisa merapikannya lagi. Dan aku tidak suka ada barang-barang yang tidak pada tempatnya."

Sienna menghela napas, merasa dadanya semakin sesak. "Kau pikir aku ini apa? Tahanan?"

Zeyn menatapnya sekilas sebelum berjalan ke dapur, membuka lemari dan mengambil cangkir kopi hitam favoritnya. "Kau bisa pergi kalau mau," katanya santai. "Tapi aku akan tetap mengirim orang untuk membawa barang-barangmu kembali ke sini."

Sienna mengepalkan tangannya, menahan keinginannya untuk melempar sesuatu ke arah pria itu. "Kenapa kau seperti ini, Zeyn?" tanyanya lirih.

Zeyn menyesap kopinya sebelum menjawab, "Karena aku tidak main-main dengan tanggung jawabku."

Sienna terdiam. Kata-kata itu menusuknya lebih dari yang ia kira.

Tanggung jawab.

Jadi itu saja?

Apakah ini hanya tentang tanggung jawab bagi Zeyn?

Tidak ada yang lain?

Sienna menggigit bibirnya. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau justru semakin sakit hati.

***

Suara bel apartemen berdenting tajam, memecah keheningan yang sejak tadi memenuhi ruangan. Sienna, yang sedang duduk di sofa sambil menikmati semangkuk es krim, hampir menjatuhkan sendoknya. Ia menoleh ke arah pintu, lalu menatap Zeyn yang duduk di seberang meja dengan laptop terbuka, tampak fokus pada pekerjaannya.

Zeyn menghela napas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Dengan enggan, ia menutup laptopnya dan bangkit berdiri. "Itu pasti mereka," gumamnya datar.

Sienna mengerutkan kening. "Mereka siapa?"

Alih-alih menjawab, Zeyn berjalan menuju pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, suara ceria langsung menyambut mereka.

"Sienna, sayang! Ibu rindu sekali!"

Sienna nyaris tersedak es krimnya saat melihat ibunya, Lydia Valerisse, masuk ke apartemen dengan penuh semangat, diikuti oleh Diana Alfarez yang tampak tidak kalah bersemangat. Dan di belakang mereka, ayah Zeyn, Andreas Alfarez, dan juga ayah Sienna, Hendry Valerisse melangkah masuk dengan ekspresi datar yang khas.

"Sienna," Lydia langsung menarik putrinya ke dalam pelukan erat, sementara Diana ikut tersenyum lebar. "Kau terlihat semakin cantik! Bagaimana bulan madunya? Menyenangkan, kan?"

Sienna tidak sempat menjawab karena Lydia sudah membombardirnya dengan pertanyaan lain. "Kalian pasti menikmati waktu berdua, kan? Aku tahu Zeyn anaknya agak dingin, tapi ibu yakin dia romantis dalam caranya sendiri!"

Sienna ingin tertawa miris. Romantis? Zeyn? Itu dua kata yang tidak mungkin berada dalam satu kalimat.

Sementara itu, Zeyn hanya berdiri di dekat pintu, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tetapi Sienna bisa melihat dagunya sedikit menegang. "Kenapa kalian tidak bilang kalau mau datang?" tanya Zeyn akhirnya, suaranya terdengar datar dan sedikit ketus.

Diana menepuk lengan putranya. "Kami ingin memberi kejutan! Lagipula, setelah kalian menikah, kami belum pernah mampir ke rumah kalian!"

Rumah? Sienna melirik sekeliling. Apartemen ini memang tempat tinggal mereka sekarang, tetapi sama sekali tidak terasa seperti rumah baginya. Sienna ingin protes, tetapi tatapan tajam Zeyn menghentikannya. Ia tahu, ini adalah momen di mana mereka harus berpura-pura.

"Kami baik-baik saja, Bu," kata Sienna akhirnya, mencoba terdengar meyakinkan. Ia bahkan tersenyum kecil. "Bulan madunya menyenangkan."

Lydia dan Diana tampak puas mendengarnya, tetapi kemudian Lydia mengerutkan kening, matanya menyapu seisi ruangan. "Tunggu dulu. Kalian tidur di kamar yang sama, kan?"

Sienna langsung membeku. Ia melirik Zeyn, berharap pria itu bisa menjawabnya.

Zeyn, dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasa, hanya menatap ibunya dengan tenang. "Tentu saja."

Lydia mengerutkan kening. "Oh ya?" Ia lalu melangkah ke koridor dan membuka salah satu pintu.

Sienna menahan napas. Astaga. Itu kamar tamu!

Lydia melihat ke dalam dan menoleh kembali dengan ekspresi curiga. "Kalau kalian tidur bersama, kenapa tempat tidur di kamar ini terlihat habis dipakai?"

Sienna melirik Zeyn dengan panik. Tetapi, seperti biasa, pria itu tetap tenang. Ia berjalan santai ke arah Lydia dan menutup pintu kamar dengan satu tangan, seolah tidak mau mendengar lebih lanjut.

"Kami sering bekerja sampai larut," katanya santai. "Kadang, Sienna tertidur di sana."

Sienna terbelalak. Oh, dia memang pintar berbohong.

Lydia masih tampak tidak sepenuhnya percaya, tetapi Diana menyelamatkan situasi. "Ah, sudah lah, Lydia! Yang penting mereka bahagia, kan?" Ia menatap putranya dengan mata berbinar. "Kalian memang cocok! Lihat bagaimana Zeyn melindungi Sienna tadi? Begitu penuh perhatian!"

Sienna hampir tertawa. Zeyn? Penuh perhatian? Dimana?

Zeyn tidak bereaksi, tetapi rahangnya sedikit mengencang. Lalu, tanpa peringatan, ia meraih tangan Sienna dan menariknya lebih dekat.

Sienna nyaris tersandung karena tidak siap dengan sentuhan tiba-tiba itu. Ia menatap Zeyn dengan bingung, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke arah ibu mereka.

"Kami baik-baik saja," ulang Zeyn, suaranya terdengar lebih lembut, tetapi tetap dengan nada dingin yang khas. "Jadi, kalian tidak perlu khawatir."

Diana tersenyum puas. "Bagus! Kami juga membawa makanan, ayo kita makan bersama!"

Zeyn akhirnya melepaskan tangan Sienna dan berbalik, tetapi sebelum pergi, ia berbisik pelan, hanya untuk didengar oleh Sienna.

"Jangan membuat kesalahan, Sienna. Kita harus meyakinkan mereka."

Sienna menelan ludah. Ya Tuhan, ini akan menjadi hari yang panjang.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!