Flower yang masuk ke ruangan itu langsung melangkah menuju anak tangga.
Ruangan itu terasa dingin, bukan karena udara, melainkan karena tatapan orang-orang yang menghuni rumah itu. Ia tahu kepulangannya tak akan disambut hangat, tapi tetap saja hatinya sedikit nyeri saat melihat ekspresi mereka yang tampak enggan menerima keberadaannya.
"Flower, sejak kapan kau keluar dari rumah sakit?" seru Alan tiba-tiba. Suaranya memecah keheningan, membuat beberapa pasang mata tertuju pada gadis itu.
Flower menghentikan langkahnya sejenak di anak tangga, lalu menoleh ke arah mereka. Tatapannya tenang, meski jauh di dalam hatinya ada kegundahan yang ia sembunyikan.
"Sejak tadi. Biayanya terlalu mahal, jadi lebih baik aku pulang," jawabnya dengan nada datar, mencoba untuk tetap tegar di hadapan mereka.
Dari ujung meja makan, Yohanes—kepala keluarga itu—menghela napas panjang sebelum akhirnya bersuara. "Karena kau sudah pulang, mari ke sini dulu. Ada yang ingin Papa katakan!" titahnya dengan nada berwibawa, nyaris seperti sebuah perintah.
Flower mengangguk kecil sebelum melangkah mendekati meja makan. Suasana semakin terasa menyesakkan. Semua mata menatapnya dengan penuh sinisme, seolah-olah ia hanyalah seorang tamu tak diundang, seorang penyusup di rumahnya sendiri.
Ketika ia sampai di hadapan mereka, Yohanes akhirnya angkat bicara. "Kami telah berunding sebelumnya. Daripada kau memaksa untuk melanjutkan sekolah, lebih baik kau berhenti saja!"
Flower menatap mereka satu per satu. Ia bisa melihat ekspresi puas di wajah Wilson dan Zoanna, dua orang yang sejak dulu selalu memandangnya rendah. Namun, ia tidak akan tinggal diam.
"Aku tidak akan berhenti," jawabnya tegas. "Semua juga tahu apa sebabnya nilaiku begitu rendah. Kalau bukan karena ada yang menindasku dan aku membela diri, nilaiku tidak akan dipotong."
Wilson tertawa sinis, matanya berkilat penuh ejekan. "Untuk apa kau beri alasan yang tidak masuk akal? Dari segi apa pun kau kalah dari Cici. Penampilan, pelajaran, semuanya! Kau bukan tandingannya!" katanya dengan nada meremehkan.
Flower mengepalkan tangannya di bawah meja. "Aku belajar demi masa depanku, bukan untuk bersaing," ujarnya dengan suara yang bergetar, bukan karena takut, tetapi karena menahan amarah. "Akan aku buktikan bahwa aku akan berhasil. Ini adalah impianku. Aku ingin menjadi dokter terkenal di negara ini!"
Kali ini, Wilson tertawa lebih keras. "Menjadi dokter terkenal? Apakah kau sedang bermimpi? Nilai saja kau sudah kalah jauh dari Cici. Apa mungkin kau bisa berhasil? Mungkin saja kau hanya akan menjadi cleaning service di rumah sakit!" ejeknya tanpa belas kasihan.
Flower menatap kakak tirinya dengan tajam. "Kakak, jangan merendahkan aku hanya karena kau tidak menyukaiku!"
Zoanna, yang sejak tadi hanya menyimak, kini ikut bersuara. Wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi, tapi nada suaranya terdengar tegas dan penuh kepastian. "Kalau kau ingin melanjutkan sekolahmu, maka kau sendiri yang tanggung biayanya."
Flower terdiam sejenak, bukan karena kaget, tetapi karena ia sudah menduga hal ini. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan kepedihan yang mulai menjalari hatinya. Namun, saat ia kembali mengangkat wajah, sorot matanya tetap penuh tekad.
"Baik, aku akan melakukannya. Aku akan membiayai sekolahku sendiri. Kalian boleh meremehkanku sekarang, tapi suatu hari nanti, kalian akan melihat bahwa aku bisa lebih dari yang kalian kira."
"Jangan terlalu percaya diri. Mungkin di saat itu kau akan mengadu pada kami kalau kau menyesal dengan impianmu itu. Aku berani bertaruh kalau Cici akan lebih sukses darimu," hina Wilson dengan senyum penuh ejekan.
Flower menatap kakaknya dengan sorot mata yang sulit ditebak. Hatinya sudah cukup lelah mendengar perbandingan yang sama berulang kali, tetapi kali ini ia tidak ingin diam saja.
"Kakak, kenapa bicara seperti itu?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut, namun penuh ketegasan. "Cici adikmu, aku juga adikmu. Aku tidak pernah menggunakan uangmu selama ini. Apakah merendahkanku seperti itu membuatmu bahagia?"
Wilson mendengus sambil melipat tangan di depan dada. "Kau tahu kenapa aku lebih percaya pada Cici?" ia menyeringai. "Karena kau bodoh. Sejak kecil kau sudah bodoh. Keluarga ini diisi oleh anak-anak yang cerdas, tidak seperti dirimu. Seharusnya kau malu karena kau adalah anak kandung Papa dan Mama, tapi kau sama sekali tidak mirip dengan kami. Kalau kau sepintar Cici, maka mungkin kami akan yakin padamu!"
Flower merasakan sesuatu mencubit hatinya. Kata-kata Wilson lebih menyakitkan daripada yang ia duga. Namun, ia menelan semua luka itu dan tersenyum miris.
"Kalian adalah keluargaku, tapi yang paling merendahkan aku justru keluarga sendiri," ucapnya dengan nada lirih. "Bukankah lebih baik kalau aku hanya anak adopsi? Setidaknya aku tidak akan merasa sesakit ini. Aku bisa menganggap diriku sebagai anak yatim saja."
Tanpa menunggu jawaban, Flower beranjak dari sana. Langkahnya mantap, meskipun hatinya terasa berat. Namun, sebelum ia bisa benar-benar pergi, suara Alan tiba-tiba menghentikannya.
"Ada dua pilihan untukmu!" suara kakaknya terdengar tegas, membuat semua orang menoleh ke arahnya.
Flower berhenti dan menoleh dengan waspada.
"Kau bisa pilih, lanjutkan pelajaranmu dan biaya kau sendiri yang usahakan. Atau... hentikan pelajaran dan bekerja di perusahaan sebagai karyawan di gudang," ucap Alan tanpa ragu.
Wilson tertawa kecil, jelas menganggap hal itu tidak masuk akal. "Kakak, jangan bercanda! Flower gadis pemalas, mana mungkin dia bisa bekerja di sana?" ejeknya lagi.
Namun, Alan tidak menggubris Wilson. Tatapannya tetap terarah pada Flower. "Kau harus mulai mandiri saat ini. Tidak bisa bergantung pada siapa pun," katanya dengan ketegasan yang sulit dibantah.
Flower menghela napas panjang. Matanya menatap Alan, lalu beralih ke Wilson dan Zoanna yang masih memandangnya dengan penuh keraguan. Dengan suara yang lebih rendah, ia bergumam, "Cici lebih tua dua tahun dariku... tapi aku yang diminta mandiri."
"Usiaku baru 20 tahun, dan saat ini adalah masaku untuk mengejar impian," ujar Flower dengan suara tegas, matanya menatap tajam ke arah mereka yang selama ini meremehkannya.
Ia melihat Wilson yang masih tersenyum sinis, Zoanna dan Yohanes yang tampak tak peduli, dan Alan yang tetap dingin dengan keputusannya. Tapi Flower tidak akan mundur.
"Walau kalian merendahkan aku dan membanggakan putri serta adik kesayangan kalian, aku tidak peduli," lanjutnya, suaranya mengandung keteguhan yang tidak bisa digoyahkan. "Karena kalian tidak pernah peduli padaku, maka jangan berani-berani mengatur hidupku juga."
Tatapan matanya penuh ketegasan, bahkan sedikit tajam. Ia bukan lagi gadis kecil yang bisa dipermainkan atau ditindas begitu saja.
"Jalan yang aku pilih, aku akan menanggungnya sendiri, walau apa pun yang terjadi," lanjutnya, menggenggam tangannya erat. Ia tidak ingin mereka melihatnya goyah. "Kalian... cukup menunggu dan melihat. Suatu saat, aku akan membuat kalian terdiam dan memohon padaku."
Setelah berkata demikian, Flower berbalik dan melangkah pergi tanpa ragu. Ruangan itu terdiam sejenak, hanya suara langkah kakinya yang terdengar, meninggalkan mereka dengan kata-kata yang tidak mudah untuk dilupakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Bu Kus
kamu pasti bisa Flo buat mereka malu jangan menyerah banyak jalan menuju sukses
2025-02-26
1
🤩😘wiexelsvan😘🤩
keluarga yg aneh,ada yach ortu yg menganggap anak kamdung sendiri sprt orang lain sedang anak adopsi di anggap darah daging sendiri, 😡😡😡
2025-03-01
2
𝐕⃝⃟🏴☠️𝐐ᵁᴱᴱᴺ❣️Angela🍁
lihaaat saja nantiiii pasti kalian semua menyesal... ayooo semangat flower kmu pasti bisaaa
2025-04-03
0