Dari tempat Fadlan terduduk, ia bisa melihat Marisa yang menghampiri Reno. Entah apa yang mereka bicarakan namun dengan jelas Fadlan menangkap basah ketika Marisa menyeka sudut matanya. Tanpa ragu Reno juga mengusap pipinya.
Bulir bening airmata itu bahkan masih menggenang di pelupuk matanya, saat Marisa kembali.
Fadlan tak ingin merusak suasana, ia memilih diam meski sebenarnya ia begitu penasaran. Apa yang membuat Marisa menangis di hadapan laki-laki itu?
Di saat bersamaan Haz, ia baru datang, melangkah menuju pelaminan. Bersama Zahra di sampingnya. Kedatangan keduanya membuyarkan segala spekulasi yang muncul begitu saja di memori otaknya. Namun, semakin mereka mendekat, ia melihat dengan jelas senyum kikuk di bibir Marisa. Fadlan meraih jemarinya, menautkan tangannya pada tangan Marisa. Dia pun menoleh lalu perlahan senyumnya berubah sedikit lebih bersahabat. Senyum yang selalu ingin Fadlan lihat.
Masihkah Marisa menyimpan amarah kepada saudara kembarnya? Jika itu memang benar lalu apakah Marisa masih belum bisa melupakan cintanya?
Belum rasa penasarannya terhadap Reno, musnah, ia kembali berspekulasi yang bukan-bukan mengenai perasaan Marisa kepada Hazlan. Namun, segera ia menepis segala bentuk anggapan buruk itu.
Selanjutnya, Haz menyalami serta memeluknya erat. Haz mengucapkan selamat serta sederet untaian doa. Tak lupa Hazlan menyerahkan bingkisan kado kepadanya. Entah apa isinya namun ukurannya lumayan besar.
Setelah puas memberi selamat, Haz mengalihkan pandangannya pada Marisa, ia yang tengah berbincang dengan Zahra. Meski baru bertemu lagi setelah kejadian di bandara hari itu, Marisa nampak berusaha untuk nyaman menanggapi apa pun yang gadis itu katakan. Hazlan kembali mengucapkan selamat kali ini untuk kakak iparnya. Hanya saja tak ada jabat tangan apalagi cium pipi layaknya para sahabat Marisa.
***
Saat Hazlan hendak pergi, Fadlan menahannya. Ia kembali memeluknya. Marisa melihat keduanya tersenyum sangat mirip. Seperti itukah hubungan persaudaraan satu wajah? Sungguh bagai pinang di belah dua. 'Tos' adu tinju yang mereka lakukan, mengingatkan Marisa saat pertama kali ia melepas Hazlan menuju Kairo. Di tempat itu ia pun melakukan hal kecil yang lucu, 'tos' tinju ia dan Hazlan dihalangi sebuah buku agar tangan keduanya tak saling bersentuhan. Marisa tersenyum lagi melihat dua kepalan tangan mereka beradu.
"Apa aku boleh ikutan?" celetuk Marisa yang tiba-tiba berubah antusias. Sementara Haz hanya terpaku melihat kepalan tangan putih itu mengudara.
"Hmm." Marisa meletakkan sebuah kertas sebagai pembatas agar Haz tak ragu melakukannya. Dia yang mengerti itu akhirnya menuruti Marisa.
***
Seluruh anggota keluarga termasuk keluarga Fadlan juga masih ada di sini.
Mereka tidur di rumah Haris untuk malam ini. Keadaan yang sudah larut membuat ustaz Mahesa dan ustazah Nara beserta keluarga lainnya mau tak mau harus menerima tawaran tuan Haris untuk menginap di kediamannya. Kecuali Haz, yang sudah lebih dulu pulang, sore tadi. Mengingat keadaan pesantren yang lengah tanpa pengawasan. Hazlan terpaksa pulang lebih dulu bersama Zahra dan beberapa perwakilan santri juga santriwati.
Dimas yang merupakan adik ipar Haris juga ada di sana, dia yang menjadi penghubung dua keluarga tersebut lantaran istrinya merupakan adik kandung Umi atau ustazah Nara. Dimas Ibrahim yang merupakan adik dari Divya atau lebih tepatnya Om dari Marisa. Dia merasa sangat bahagia ketika tahu dua keponakannya akan menikah. Dimas yang sudah menetap di Bali bersama istri dan anak semata wayangnya pun segera menuju Jakarta begitu mendegar kabar tersebut. Tak henti-hentinya tadi, ia mengucapkan selamat.
***
Marisa sudah berada di dalam kamarnya. Sudah mandi dan berganti pakaian. Ia tengah menatap wajahnya di depan cermin. Memperlihatkan deretan giginya di sana. Apa yang 'Icha' lakukan? Tersenyum sendiri menatap gambar diri.
Rasa tak percaya mungkin yang ada di benak dan di kepalanya saat ini. Tak percaya jika kini ia telah menikah. Sudah menyandang status istri dan menantu.
Setelah melewati acara resepsi yang begitu menguras tenaga. Banyaknya tamu undangan yang datang ke kediaman Haris Santoso membuat pasangan pengantin harus berlama-lama menyalami satu persatu dari mereka. Duduk lalu berdiri kembali, begitu saja seterusnya sampai tamu habis. Rumahnya yang besar bak istana raja tak mengharuskannya jauh-jauh menyewa tempat untuk menggelar acara. Pelataran depan saja sudah cukup untuk menerima banyak tamu, halaman parkir yang luas serta bagian dalam rumahnya yang tak kalah besar dari sebuah gedung pertemuan.
Saat Marisa tengah sibuk menyisir rambut dengan segala pemikirannya, Fadlan yang baru saja kembali setelah berbincang dengan ayah serta ibu mertuanya, perlahan masuk. Pintu kamar yang sedikit terbuka ia dorong tanpa mengeluarkan suara. Sejenak, ia terdiam. Menatap punggung wanita yang telah sah menjadi istrinya. Diq tengah berdiri menghadap cernin dengan rambut panjangnya yang sedikit basah, tergerai begitu indah.
Ia melangkah mendekati Marisa setelah mengunci pintu itu perlahan. Niatnya semula ingin mengejutkan wanita cantik itu. Namun, pantulan tubuh Fadlan sudah lebih dulu tertangkap oleh cermin di hadapan Marisa. Tatapan mata elang Fadlan dari belakang sana seakan membuat Marisa bergeming. Tangannya tiba-tiba kaku, aktivitasnya menyisir rambut pun terhenti. Dengan masih memegangi rambutnya yang sengaja ia letakkan ke samping, di pundak sebelah kiri, sedikit memiringkan kepala agar air yang masih menempel di rambutnya bisa turun ke lantai tanpa membasahi bajunya. Helai tipis yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya. Baju terusan berbahan licin, berwarna merah muda dengan tali tipis serta renda melingkar di bagian dada dan bagian bawahnya, panjangnya sedikit di atas lutut. Tatapan mata Fadlan seakan mengulitinya hingga ia hanya mampu tersenyum tipis.
"Lagi apa, Sayang?"
Tangan kekarnya sudah melingkar di perut Marisa, membuatnya perlahan menurunkan sisir yang masih menggantung di rambutnya. Desir suara Fadlan nyaris membuat jantungnya melompat. Tak pernah ia merasa segugup ini sebelumnya.
"Kenapa diem? Sudah bisa panggil Sayang, kan sekarang?" Suaranya kembali membuat Marisa merimding.
Meski sebelumnya mereka dekat namun entah mengapa seperti ada hal yang berbeda kali ini. Mungkinkah karena kini keduanya telah resmi menikah?
"Eum, kamu—"
"Hmm?" Dagu Fadlan sudah bergelayut manja di pundak sebelah kanan istrinya.
"—tiba-tiba udah di belakang aja, kapan masuknya?" Marisa menunduk malu, ia yakin saat ini kedua pipinya pasti sudah memerah.
"Barusan, kamu gak tutup pintu jadinya aku masuk tanpa permisi. Gak apa-apa dong?" Ia sedikit terkekeh.
"Hmm." Sebuah deheman kecil saja yang Marisa keluarkan tanpa mengatakan apa pun lagi.
"Sayang. Sudah boleh begini kan?"
Lagi-lagi suara Fadlan lebih mendominasi. Pelukan di perut rata Marisa juga semakin erat. Tingkah Fadlan benar-benar berbeda, ia bahkan menggesekkan pipinya ke ceruk leher Marisa. Sumpah demi apa pun itu membuatnya merinding kegelian.
"Hmm." Dan hanya suara itu juga yang menjadi jawabannya. Marisa mungkin terlalu malu untuk menjawab. Fadlan bisa melihat semburat merah muda di pipinya melalui cermin.
"Hmm, apa? Jawab yang benar!" pinta Fadlan manja.
"Atau kau mau aku memanggilmu Teteh, iya?" Sebutan yang biasa Hazlan pakai saat memanggil Marisa.
"Ish," dengus Marisa tidak suka. Fadlan baru saja mengingatkannya pada hal yang tidak ingin ia ingat.
"Hei, maaf. Jangan marah." Fadlan yang tahu Marisa kesal pun meminta maaf, tanpa menunggu jawabannya ia sudah mendaratkan satu kecupan di pipi wanitanya.
Sudah pantaskah ia menyebut Marisa itu wanitanya?
Gadis itu terpaku, matanya sukses membulat mendapati perlakuan manis dari Fadlan. Ia tersenyum malu lantas mengusap sisi wajah Fadlan, berlama-lama menatap pantulan wajahnya lalu ia pun berbalik. Kini keduanya saling berhadapan. Saling memandang penuh cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Evi Taria
Semangat kakak, aku membawa boom likenya.
jangan lupa feetbackny ya "kesabaran hati seorang wanita"
2020-09-05
1