Pernikahan

Hallo, hallo. Yang sudah pada nunggu ceritanya mana nih. Jangan lupa isi absen ya, komen aja 'Hadir kakak author ' atau apa pun itu. Supaya Authornya tahu kalau kalian sudah ada di sini.

Oh iya sebelumnya, author mau kasih selingan tiga bab dari RDP 1(Rahasia di balik perjodohan) supaya ceritanya nanti nyambung ok. Jangan pada protes ya, tiga bab itu akan jadi flashback nantinya😀😀

.

.

.

Menanggapi keputusan Reno, Marisa merasa lega. Dia laki-laki yang baik dan pantas mendapatkan yang terbaik. Namun, Marisa sadar jika dirinya tak bisa menjadi yang terbaik untuk Reno. Entah perasaan ini benar ataukah salah. Bagi Marisa di hatinya hanya ada Fadlan saat ini.

Ia pun meraih ponsel saat Reno keluar dari kamarnya, mendial nomor seseorang yang baru beberapa jam lalu bercumbu dengannya di dalam mobil. Walaupun semua tak sempat terjadi lebih dari sekedar ciuman.

Entah apa yang Reno katakan kepada Haris dan Divya. Apa pula yang ia pikirkan tentangnya. Reno pasti menilai jika ia telah menyerahkan diri pada pemuda itu. Belum sempat Marisa menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi, Reno justru sudah memilih mundur.

Sekarang yang jelas kedua orang tuanya merestui untuk ia memilih jalan hidupnya sendiri. Memilih cinta yang ia miliki kepada siapapun itu. Yang terpenting bisa membuatnya bahagia. Bagi Haris kebahagiaan putrinya lah yang paling utama. Begitupun Divya sang ibunda.

"Kamu yakin sayang, Fadlan pilihanmu?"

Sekali lagi bunda Divya ingin memastikan keteguhan hati Marisa.

"Bukan karena dia saudara kembar Haz?"

"Ingat, Nak. Bunda punya cerita masa lalu Ayahmu. Kamu ingat Tante Marisa?"

tanya Divya pada Marisa 'Icha' yang merebahkan kepalanya dengan nyaman di pangkuannya.

"Hmm. Kakak kandung Bunda, kan?" Marisa mengangguk.

"Iya, dia mirip sekali dengan Bunda. Kamu juga tahu kalau sebelum pada Bunda, Ayahmu lebih dulu mencintainya. Dulu Bunda selalu takut jika Ayah menganggap Bunda itu Tante kamu. Bunda selalu takut jika harus hidup dengan bayang-bayang Tante kamu. Makanya Bunda pengen memastikan sekali lagi, apa benar kamu mencintai Fadlan? Atau semata-mata hanya karena dia satu wajah dengan Hazlan. Bunda tidak ingin jika nantinya Fadlan akan merasakan apa yang selama ini Bunda takutkan dari Ayahmu."

Panjang lebar Divya mengingatkan kembali putrinya itu. Jika ia tak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.

Marisa mendongak, menatap ibunya yang tengah membelai lembut rambutnya. Tertidur di pangkuan beliau adalah hal paling menenangkan. Setiap ia menghadapi masalah, belaian tangan bunda Divya lah yang paling ia butuhkan.

"Ayah memberimu pilihan antara Reno dan Fadlan bukan tanpa alasan. Ayah sudah banyak melihat perubahan pemuda itu. Ia memang cukup baik, bahkan adikmu Leo juga melihat dan menilai semua itu. Tapi, di sisi lain Reno juga sangat baik. Kamu tahu itu. Icha Sayang, Bunda dan Ayah dulu dijodohkan tapi kami hidup bahagia meski ada banyak liku dan sekelumit masalah di hidup kami. Sedangkan kamu, Ayah dan Bunda selalu takut jika kamu dan Reno tidak bisa seperti kami."

Jika perjodohan hanya akan membuat putrinya menderita maka Haris tidak akan melakukan kesalahan itu. Membiarkan Marisa mengambil keputusan dengan siapa dirinya akan bersama. Dan pada siapa pula hatinya akan berlabuh.

"Ingat juga perbedaan usia kalian," pungkas Divya mengakhiri perbincangannya dengan Marisa.

Aku yakin dengan perasaanku pada Fadlan. Bukan karena Haz, aku mencintainya, Bunda. Tentang Haz, entahlah Icha menganggap itu sebuah kesalahan. Selama ini Fadlan yang selalu ada bersamaku,sedangkan Reno aku tahu dia baik. Tapi ... aku hanya menganggap kebaikannya sebagai seorang sahabat, tidak lebih.

Batin Marisa berujar sangat yakin.

Namun begitu, meski kedua orang tuanya telah merestui dan memberinya kebebasan, Marisa tak serta merta menerima Fadlan. Pemuda itu masih belum siap menikah. Kuliahnya yang masih menggantung. Skripsinya yang masih belum rampung. Menjadi pertimbangan Marisa untuk menunda entah sampai kapan semuanya siap.

Usia yang tak lagi muda menuntutnya untuk segera berumah tangga, sedangkan Fadlan sendiri ia ingin sekali segera melamar Marisa. Namun, tuntutan dari sang calon mertua membuatnya mengurungkan niat. Menundanya hingga ia benar-benar pantas bersanding dengan Marisa.

"Buktikan saja jika dirimu pantas bagi putriku, setelah itu aku tidak akan meragukanmu."

Perkataan Haris malam itu membuat Fadlan merasa dirinya harus berjuang keras demi mendapatkan restu dari orangtua Marisa.

"Aku tidak ingin gegabah meski tahu jika dirimu anak dari ustaz Mahesa. Beliau memang teladan bagi keluarga kami, tapi bukan berarti kau bisa dengan mudah menjadi menantu ku."

Untuk kesekian kalinya Fadlan mengingat apa yang dikatakan tuan Haris. Ia paham betul bagaimana kerasnya sikap beliau. Tak mudah baginya meluluhkan atau bahkan memenangkan hatinya jika hanya mengandalkan sumpah dan janji. Berhadapan dengan pria seperti Haris tidaklah cukup hanya dengan bermodalkan dua hal itu. Butuh setidaknya perjuangan dan pembuktian. Karenanya Fadlan bertekad melakukan apa pun agar bisa meyakinkannya.

***

Tidak pernah terceritakan sebelumnya jurusan apa yang Fadlan ambil. Ia kuliah dan mati-matian menyelesaikannya lebih cepat hanya untuk mengejar seorang Marisa. Tiga bulan kemudian barulah ia resmi menyandang status sebagai dokter muda terbaik lulusan sebuah fakultas kedokteran di Jakarta. Fadlan terbilang cerdas meski kesan pertamanya ia pemuda yang urakan dan liar. Dengan hobinya balapan serta dulu sering sekali mabuk-mabukkan.

Barulah setelah Fadlan lulus dan mulai bekerja, Haris membuka peluangnya untuk meminang putri sulungnya. Fadlan datang bersama anggota keluarga termasuk Hazlan saudara kembarnya.

Malam itu, acara makan malam di rumah besar keluarga Haris dilaksanakan sebagai jalur silaturrahmi sekaligus acara lamaran yang semula direncanakan oleh kedua belah pihak.

Acara yang berjalan cukup lancar dengan diselingi canda tawa bahagia.

Reno, laki-laki itu juga ada di sana menyaksikan tawa bahagia Marisa. Ia turut tersenyum gembira.

Singkat cerita perjalanan cinta Marisa berlabuh pada titik tertinggi dari sebuah hubungan, yaitu jenjang pernikahan. Fadlan dan Marisa, nama itu yang tertera dalam kartu undangan. Tepat hari ini, undangan tersebut akan dibagikan. Satu pekan dari sekarang adalah hari bahagia keduanya.

***

Bahagia itu ketika kita bisa bersanding di pelaminan dengan pasangan yang kita cintai. Semua terlihat dari senyuman Marisa yang sedari tadi tidak memudar. Rona wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan. Benar, jika ada istilah dunia bagai milik kita berdua disaat kita sedang jatuh cinta. Melirik laki-laki di sampingnya dengan menarik lebar kedua sudut bibirnya. Marisa melihat Fadlan yang sama bahagianya. Laki-laki yang baru beberapa jam lalu mengucapkan ikrar janji suci di hadapan sang penghulu. Di saksikan seluruh anggota keluarga, kerabat dan sahabat. Kini dialah yang menyandang status sebagai suaminya.

Kali ini keduanya tengah menyalami satu persatu tamu undangan yang hadir. Dengan sesekali tertawa kecil oleh candaan beberapa rekan kerja yang lebih dulu menikah. Ada Anita dan suaminya yang berkebangsaan Malaysia. Ada juga pasangan Shintia dan Hendri beserta putra mereka. Silih berganti menggoda Marisa juga Fadlan.

"Uh dokter vs dokter nih, nanti kalau punya anak bakal jadi apa ya." Kali ini giliran Rinaya, teman sesama dokter di rumah sakit di mana Marisa dan Fadlan bertugas. Rinaya atau biasa dipanggil dokter Naya itu seorang dokter SpOG. Ia terkekeh saat berhasil menggoda pasangan pengantin itu.

"Dokter kalau vs dokter malam pertamanya nanti main suntik-suntikkan, lho, Nay," imbuh laki-laki bernama Satrio yang tak lain ialah kekasih Rinaya. Sontak candaannya membuat orang-orang yang berada di sekitar mereka tak kuasa menahan tawa. Bahkan ada yang sampai terbahak-bahak kegelian.

Marisa pun terkekeh geli sembari memukul lengan Satrio. Di sampingnya ada Reno yang juga terlihat menahan tawa. Marisa terhenti dari kekehannya kala tatapannya tak sengaja bertemu dengan manik mata tajam Reno. Ia pun tersenyum kikuk.

"Udah ah, ngeledekin mulu. Kalian tuh kapan nyusul? Awas lho, Naya tuh ganas tahu gak? Nanti kamu kena suntik. Bohong dikit kena bius," balas Marisa kepada Satrio.

"Ya, lebih parah lagi kalau kamu diinstruksi suruh ngeden nih sama bu dokter." Tak ingin kalah, Fadlan pun ikut menimpali candaan Marisa yang ditunjukkan kepada pasangan kekasih, dokter Naya vs Satrio yang berprofesi sebagai polisi.

"Dan ya, Dokter. Kamu juga musti hati-hati. Berani nolak Satrio semalam aja, ntar kena tembak. Dorr!" Tangan Fadlan terangkat meniru bentuk sebuah pistol.

Sesaat setelah mereka puas bercanda, Reno sedikit menjauh dari pelaminan. Ia mencoba mengalihkan kecanggungan dengan mendekati meja minuman. Mengambil segelas jus dan menenggak hingga tinggal separuhnya. Marisa yang melihat Reno hengkang pun menatapnya dengan iba, ia mengukutinya setelah pamit pada Fadlan dan rekan-rekannya yang lain.

Terpopuler

Comments

KOwKen

KOwKen

Hai hai kk
semangt berkarya, aku mampir ni bawa like dan rate bintang 5

jan lupa feedback ya..

suka ceritanya, bca nya nyicil ya

2020-11-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!