Tumbuh dewasa lebih cepat

Sudah pantaskah ia menyebut Marisa itu wanitanya?

Gadis itu terpaku, matanya sukses membulat mendapati perlakuan manis dari Fadlan. Ia tersenyum malu lantas mengusap sisi wajah Fadlan, berlama-lama menatap pantulan wajahnya lalu ia pun berbalik. Kini keduanya saling berhadapan. Saling memandang penuh cinta. Tangan kekar Fadlan masih melingkar di pinggang Marisa.

"Jangan ganggu, aku blm selesai," ucap Marisa manja.

Fadlan hanya mengangkat sebelah halis, mempertanyakan apa yang masih belum selesai itu.

"Rambutku masih basah. Kau lihat!" Menunjukkan rambutnya yang terurai masih setengah kering itu.

"Lalu, apa masalahnya? Hmm?" Lagi, Fadlan semakin mengeratkan pelukannya hingga tubuh Marisa menempel sempurna di tubuh atletisnya.

Meski jarak usia mereka selisih empat tahun dan 'Icha' lebih dewasa nyatanya postur tubuh Fadlan justru lebih besar. Marisa terlihat lebih seperti adik bagi Fadlan.

"Fadlan. Lepas!" Marisa meronta.

Gagal, jelas saja ia kalah tenaga. "Sayang," ucapnya lirih.

Belum Marisa melanjutkan kalimatnya, Fadlan sudah lebih dulu meletakkan telunjuk di bibir gadis itu. Membuatnya mengerjap kecil, sedikit mendongak menatap suaminya. Lelaki brondong-nya yang tinggi, Icha hanya sebatas pundak bila dibandingkan dengannya.

"Kau tahu? Aku sudah menunggu momen ini dari sejak lama," lirih Fadlan penuh perasaan.

"Aku tumbuh dewasa lebih cepat setelah mengenalmu." Fadlan sudah mengusap sisi wajah Marisa dengan sebelah tangannya.

"Aku berusaha lebih baik setelah mengenalmu, lebih tepatnya setelah kau memarahiku di rumah sakit gara-gara bertengkar dengan adikmu." Fadlan ingat kapan ia mulai meninggalkan dunia klub malam, yaitu setelah perkelahiannya dengan Leo, adik iparnya kini.

"Aku sudah pernah melihatmu seperti ini, jujur rasanya ingin melahapmu saat itu juga. Sayang, ayahku seorang ustaz, apa jadinya kalau masyarakat tahu anaknya merusak anak gadis orang." Fadlan terkekeh dengan kalimatnya sendiri. Ia sudah pernah melihat lekuk tubuh indah yang kini dalam pelukannya. Walaupun ia tak sampai kelepasan.

Mendengar setiap kalimat Fadlan, entah kenapa Marisa merasa tubuhnya semakin menghangat. Pipinya juga mungkin sudah memerah. Ia ingat cumbuannya tiga bulan lalu. Ia ingat saat itu mereka hampir terbawa suasana. "Lalu?" Marisa sudah membalas pelukan Fadlan.

"Kita lanjutkan itu sekarang," bisiknya di telinga Marisa, membuat kedua mata Marisa lagi-lagi membulat sempurna. Sekian detik kemudian ia mengerjap pelan. Bahkan untuk menelan saliva-nya saja ia kesulitan.

Benarkah pria di hadapannya itu Fadlan? Ia terlihat berani sekali menggodanya seperti itu. Tidak pernah Marisa mendapati Fadlan seromantis malam ini. Apa karena mereka sudah sah menjadi suami istri? Tak kuasa lagi Marisa hanya mampu menepuk pelan dada lelaki-nya.

Fadlan kembali dengan aksinya, deretan kalimat lolos dari bibirnya, mengutarakan segala perasaannya saat ini. Ia begitu bahagia. Penantian panjang yang melelahkan akhirnya membuahkan hasil. Butuh sekiranya hampir lima tahun untuk Marisa bisa menyadari perasaannya. Seandainya saja bukan Haz; saudara kembarnya itu yang menjadi pesaingnya. Mungkin Fadlan sudah sejak dulu menyatakan perasaannya. Tak punya keberanian selain memendam rasa dalam diam. Fadlan terlalu takut. Takut akan sebuah penolakan.

Matanya tak juga terlepas dari menatap sosok bidadari di hadapannya. Hingga Marisa mampu menangkap dengan jelas sorot mata Fadlan yang kian mendamba. Ia bahkan sudah meraih tengkuk lehernya dan siap menjelajahi setiap inci dari bibirnya. Sesuatu yang pernah sekali ia rasakan. Hingga membuat keduanya hampir kebablasan.

Kali ini tubuh Marisa sudah berada dalam pangkuan Fadlan. Ia membaringkannya di atas tempat tidur. Kamar pengantin yang dihias sedemikian rupa. Serpihan kelopak bunga mawar berserak di atasnya.

Sejarah cinta mereka pun dimulai sejak malam ini. Dengan tak mengidahkan rasa lelah, keduanya terhanyut dalam ikatan suci pernikahan yang telah menyelamatkannya dari perasaan dan hubungan yang terlarang.

***

Sementara di tempat lain. Kepulangannya kembali ke pesantren bersama Zahra diisi oleh keheningan. Tak ada percakapan di antara keduanya. Hanya terdengar suara merdu dari lantunan sholawat yang dinyanyikan para santri. Riuh memenuhi ruang mobil bis yang membawa mereka hingga memasuki pelataran gedung yang dihuni ratusan anak itu. Dua puluh perwakilan santri dan santriwati berhamburan turun begitu bis berhenti. Begitupun dengan Hazlan dan juga Zahra.

Keduanya yang tadi hanyut dalam pemikiran masing-masing. Tak ada perbincangan apalagi candaan, sama-sama tak saling bicara, kini berjalan beriringan. Zahra masih setia mengikuti Haz hingga masuk ke lorong yang seharusnya mereka berpisah di sana. Kamar yang biasa Zahra tempati setiap ia berkunjung ada di sebelah kiri, sementara rumah utama ustaz Yunus ada di sebelah kanan.

Hazlan yang tiba-tiba berhenti membuat langkah Zahra pun terhenti.

"Maafkan aku, Zahra." Kalimat itu yang keluar pertama kali.

"Maaf." Kali ini Haz berbalik menghadap Zahra, gadis yang tengah tertunduk itu tak berani memperlihatkan wajahnya.

"Untuk apa meminta maaf. Antum tidak ada salah, Kak Haz," ucap Zahra menanggapi permintaan maafnya yang entah karena apa. "Untuk apa meminta maaf," imbuhnya. Seutas senyum tersungging meski nyaris tak terlihat karena Zahra tak sedikitpun mendongak.

"Karena, Akak seakan memanfaatkan Dek Zahra. Seharusnya tidak seperti ini."

Kembali Hazlan berucap getir seolah menyesali sesuatu.

"Kak, ternyata Kak Marisa itu baik ya? Tadi saja saat kita datang, dia terlihat jengah. Namun, saat Zahra mengajaknya berbincang, Kak Marisa justru menanggapinya dengan santun. Pantas saja Kak Haz sulit melupakannya. Wanita sebaik ... apalagi kaya dan punya kedudukan sosial yang tinggi, mustahil bersikap seramah itu terhadap gadis yang ia anggap telah merebut kekasinya."

Kalimat panjang Zahra sukses membuat hati Haz bagai tersayat. Gadis yang berbicara sembari melangkah membelakanginya membuat rasa bersalah Haz semakin mendalam.

***

Malam yang menjelang semakin dalam. Fadlan mengusap puncak kepala istrinya. Menyelimuti tubuh polosnya. Lalu mendaratkan satu kecupan di dahinya. Mengantarkan wanita itu untuk masuk ke dalam dunia mimpinya. Seulas senyum tercetak di bibir Fadlan. Ia masih belum melepaskan diri dari memandang wanitanya.

Masih seakan tak percaya, ia berulang kembali mengusap lembut rambut Marisa, seraya berujar, "Tidurlah,Sayang. Mimpi indah." Kalimat itu lolos dari bibirnya.

Sebelum Marisa pergi untuk masuk ke alam bawah sadarnya, Fadlan sempat bertanya tentang tangisannya di hadapan Reno. Laki-laki yang gagal dijodohkan dengannya. Fadlan, dirinya hanya ingin memastikan agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman.

Ia sempat terkejut dengan penuturan Marisa, bahwa Reno memutuskan hubungan karena ia melihat kejadian malam itu. Marisa berusaha memberi pengertian jika semua yang di lihatnya tidaklah benar. Ia hanya ingin agar Reno tidak menilainya buruk. Menjelaskan dan minta maaf semata-mata karena alasan itu. Bukan karena ada hal lain.

Tangis bahagia yang pecah di hadapan Reno, tidak membuat laki-laki itu ragu untuk mengusap pipi Marisa. Fadlan tahu hubungan mereka memang dekat. Ia pun mengakhiri segala spekulasi buruk yang sempat hinggap di memorinya. "Dia istriku, saat ini dan selamanya," gumamnya lalu menarik selimut yang sama dengan yang membungkus tubuh wanita kesayangannya.

Ikut tenggelam ke dalam mimpi di malam yang sudah beranjak pagi. Denting jam terdengar mengantarkannya untuk pulas memeluk guling bernyawa di sampingnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!