Keanehan di sekitar Raka

Aaaarrgh!

“Ka, kamu kenapa sih?!” Tepukan keras di bahu Raka menyadarkannya.

“Hei, sadar, bangun!” Dulmatin memercikkan air ke wajah Raka yang tegang dan menatap lurus pada satu titik.

Tapi Raka tak kunjung merubah ekspresi nya. Mulutnya ternganga seolah melihat kengerian yang luar biasa.

“Waduh Rif, ni anak kesambet apa gimana ya?” Dulmatin kebingungan.

Arif mulai cemas, ia kembali berusaha menyadarkan Raka. “Raka … nyebut ka, jangan kamu ikuti apa yang kamu lihat. Aku tahu kamu dengar suaraku. Raka, bangun!”

Satu tepukan menyusul diikuti kalimat yang melafalkan keagungan sang Khalik. Tepukan yang akhirnya menarik Raka kembali pada kesadarannya. Raka bak tersedot ke dalam lubang yang dalam dan sesak. Ia mendesis panjang sebelum akhirnya bergerak merespon sekeliling.

“Dul … Rif, tolong … tolong aku!” Ucapnya dengan panik dan gemetar.

“Ada apa sih Ka? Nolongin kamu kenapa?” Dulmatin dibuat penasaran.

Nafas Raka terlihat memburu, panik dan takut. “Itu … itu!” Sahutnya sambil menunjuk pada satu titik di sudut kamar.

“Apa sih?! Raka, liat aku.” Arif memutar bahu Raka, menangkup kedua pipinya, dan menatap mata Raka. “Tarik nafas, Ka. Selow, pelan-pelan, hembuskan lagi … tarik nafas lagi, lihat aku Ka. Wes to tenang?”

Perlahan, kesadaran Raka kembali sepenuhnya. Tubuhnya lemas, dan ia terduduk di tepi ranjang dengan tatapan mata kosong.

“Wes, nggak usah ngelamun. Nih minum dulu,” Dulmatin memberikan Raka segelas air yang langsung tandas diminum.

“Sebenarnya ada apa lagi sih Ka? Kamu itu tadi liat apa to?” Arif bertanya, ia duduk di hadapan Raka dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Raka menghela nafas sejenak, “bocah kecil itu, Rif. Dia datang dan tadi … ada dikamar ini.” Jawabnya pelan.

Hujan masih turun dengan deras meski petir tak lagi terdengar. Ketiga lelaki muda itu terlihat tegang.

“Bukan hanya bocah kecil tadi. Ada sosok lain yang mencoba menarik ku. Sosok mengerikan yang begitu terobsesi buat ngajak aku mainan.” Lanjut Raka ngeri membayangkan seringai seram yang nyaris melahapnya.

“Mainan? Kamu yakin Ka? Kalau menurutku sih, kamu masih kebawa perasaan siang tadi. Masih penasaran sama hal aneh yang menurut kamu itu terjadi.” Dulmatin menanggapi.

Arif mengangguk pelan setuju dengan asumsi Dulmatin. “Aku setuju tuh sama Dul, aku rasa kamu masih kebawa perasaan takut. Lagipula sebelum tidur kan kamu juga bercerita tentang hal ini.”

Raka terdiam, hatinya menolak untuk setuju karena apa yang dialaminya sangat aneh. Semuanya terasa nyata, bahkan punggungnya terasa perih saat ini. Mata Raka membulat, ia segera membuka kaosnya.

“Bang Dul, tolong liatin punggung aku. Rasanya perih dan panas.” Ujarnya seraya berbalik membelakangi Arif dan Dulmatin.

Saat Raka memunggungi, Arif dan Dulmatin terkejut. Dipunggung Raka terdapat luka gores panjang merah yang melintang.

“Astaghfirullah, kamu jatuh?” Tanya Arif terkejut meski ia tak yakin dengan bentukan luka yang aneh.

“Nggak,”

“Atau mungkin kamu gatal terus garuk punggung?” Dul juga bertanya heran, memperhatikan luka lecet yang didapat Raka.

“Seingatku sih nggak, tapi …” Raka ragu apakah luka yang didapatnya itu adalah luka karena halusinasinya tadi.

Ia terdiam beberapa saat sambil menunggu Dulmatin yang tengah mengoleskan obat di atas lukanya. Raka ingat betul jari berkuku panjang kehitaman yang menyusuri punggung. Tapi apakah itu nyata? Ia meyakini jika itu hanya halusinasi lalu darimana luka gores didapatnya.

“Sudah kelar Ka, pake lagi deh kaosnya. Dingin, bisa-bisa kamu masuk angin lagi.” kata Dulmatin.

“Makasih bang Dul,”

Arif melirik jam di dinding, pukul satu lewat tiga puluh menit persis. Waktu dimana kekuatan gelap menguasai. Ia mulai curiga dengan kejadian ganjil yang menimpa Raka berturut-turut.

“Kamu yakin Ka, liat gadis kecil itu di kamar ini?”

Raka bingung untuk menjawab, “aku rasa begitu tapi … mungkin juga aku salah.”

“Ya sudahlah, ayo tidur lagi! Masih malam ini, besok kamu mau kerja juga kan?” Dul mengingatkan.

Raka masih dalam posisinya, untuk berbaring rasanya masih takut tapi akhirnya setelah ditenangkan Arif, Raka berhasil memejamkan mata.

Hujan masih mengguyur desa seolah menumpahkan seluruh isi langit malam itu. Suasana desa sunyi sepi berselimut kabut yang perlahan turun menutupi.

Keesokan harinya, udara dingin menyelimuti desa. Matahari masih enggan menampakkan diri meski jam telah menunjukkan pukul delapan pagi. Ini hari Sabtu jadi Arif bisa bersantai sambil menikmati acara televisi pagi. Dulmatin masih tertidur pulas, tidak ada jadwal mencari berita hari ini. Sementara Raka, susah sibuk mengutak-atik kameranya.

“Rencana hari ini mau ambil spot dimana Ka?” Tanya Arif sambil memperhatikan Raka yang tengah fokus pada kameranya dari sofa.

“Mengulang pengambilan gambar kemarin, Rif. Sekaligus setting lokasi buat tema mengejar maling.”

“Heh, kok ngejar maling?”

“Iya, warga desa yang kasih ide. Bagus sih melibatkan para pemuda desa. Aku dah bikin konsepnya tinggal eksekusi aja.” Jawab Raka.

Ketenangan pagi itu harus terusik dengan kedatangan salah satu anggota tim–Rini. “Mas Raka! Duh aku cariin kemana mana ternyata disini. Nih pesanan sate ayamnya!” Sungutnya kesal meletakkan tas plastik di meja.

“Loh, kapan aku pesan sate Rin?” Raka balik bertanya bingung.

“Lho tadi mas Raka minta ini waktu ketemu saya di dapur homestay makanya aku telepon dari tadi nggak diangkat-angkat!”

Raka mengambil ponselnya, memeriksa panggilan masuk. “Heem, orang lagi mode pesawat. Mana aku tahu lah.”

“Huh bikin kesel aja, tuh aku belinya sesuai pesanan mas Raka aja! Nggak pake lontong.” Rini memutar tubuhnya tapi kemudian ia berbalik lagi.

“Kenapa lagi?” Tanya Raka.

Rini menatap Raka dari atas sampai bawah, keningnya berkerut. “Mas Raka cepet banget ganti bajunya? Kita nggak jadi motret tema kejar-kejaran maling?”

“Jadi dong, semua sesuai jadwal!”

Rini masih memperhatikan Raka dengan heran. “Kirain tadi mas Raka pake baju adat Jawa mau ganti konsep.”

“Baju Jawa? Kapan saya pakai itu?”

“Iiih mas Raka lupa ingatan! Ya di homestay, selepas subuh mas lagi di dapur trus minta saya buat bikinin kopi sama beli sarapan. Tapi …,”

Jantung Raka berdegup kencang, ia tak pernaheninggalkan rumah Arif sejak semalam. Lalu siapa yang ditemui Rini pagi tadi?

“Kamu yakin itu Raka?” Arif mengambil alih pertanyaan yang disambut anggukan wanita berkacamata itu.

Arif menarik nafas panjang. “Raka nggak pernah pergi dari sini sejak semalam. Kami tidur sekamar malah dan baru bangun lepas subuh.”

“Hah, jadi … siapa yang …,” Rini mendadak gemetar dan bulu di sekujur tubuhnya meremang.

“Aaargh, tolong!”

Terpopuler

Comments

Siti H

Siti H

Ada apa dirumah Arif?

2025-05-04

0

Ali B.U

Ali B.U

next

2025-02-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!