Petir menyambar berkali-kali seolah mengamuk malam yang sunyi di desa tempat tinggal Arif. Air mulai menggenangi jalanan desa yang masih terbuat dari susunan batuan alami. Tak ada yang berniat keluar dari rumahnya. Kebanyakan warga memilih diam dalam selimut masing-masing di tengah kehangatan keluarga.
Raka duduk di teras asri ditemani secangkir kopi dan singkong rebus yang masih mengepulkan asap tipis.
“Kamu kenapa nggak nginep bareng tim-mu di homestay to? Disini kan sempit dan kekecilan buat kita bertiga.” Tanya Arif setelah menyesap sedikit kopinya.
“Aku pengen nostalgia bareng kamu dan juga bang Dul,” jawab Raka melirik ke arah Dulmatin yang asik memetik gitarnya. Bersenandung lirih mengiringi hujan yang tak kunjung reda.
“Heem, bahasa singkatnya … kangen! Ya to?” Dulmatin menimpali diikuti tawa kecil Arif.
Raka hanya berdecak datar, menyesap kembali kopinya yang mulai terasa dingin. “Rif, kamu ngerasa aneh nggak sih sama kejadian tadi?” Tanyanya tiba-tiba setelah beberapa saat menimbang kegelisahannya dalam hati.
“Aneh gimana nih?”
“Ya aneh aja, aku tadi merasa seperti … masuk ke dunia lain?” Jawab Raka ragu, keningnya berkerut menandakan rasa penasaran yang menggunung.
Dulmatin menghentikan petikan gitarnya. Ia saling pandang dengan Arif. “Maksudmu piye, Ka? Aku nggak paham. Memangnya tadi kamu ngalamin apa to?”
Raka menarik nafas panjang. “Nggak tau juga, pas aku mau foto tiba-tiba semua gelap dan hari berubah senja. Yang paling menakutkan nyanyian bocah-bocah kecil itu.”
“Bocah yang kamu tanya ke Rini, asistenmu?” Tanya balik Arif.
“Iya, aku liat dia lagi sebelum kita pulang.” mata Raka menatap kosong ke arah gelas kopinya yang kosong. “Aku penasaran … apa ada yang liat dia juga selain aku?”
“Coba besok kamu tanyakan ke yang lain, yah siapa tahu emang bocah kecil itu beneran ada kan?” Dulmatin mencoba tetap berpikiran positif meskipun ia telah mengetahui situasi Raka saat itu–dari Arif.
Petir menggelegar begitu kerasnya membuat ketiga lelaki muda itu memutuskan masuk ke dalam rumah dan beristirahat. Cuaca yang dingin dan gemericik air hujan mengantarkan ketiganya lelap dalam tidur. Semua? Tidak!
Raka masih tak bisa memejamkan mata. Ia gelisah mengingat peristiwa aneh yang dialaminya siang tadi. Gadis kecil itu rasanya tidak asing, ia merasa mengenal bocah cantik itu tapi kapan dan dimana … Raka tidak mengingatnya.
DUARR!!
Suara petir kembali menggelegar mengejutkan Raka. Jantungnya berdebar kencang karena pada saat yang bersamaan, jendela kayu di kamar Arif terbuka begitu saja–mengejutkan Raka. Percikan air hujan mengenai wajahnya memaksa Raka melangkahkan kaki untuk turun dari ranjang.
“Duh, mereka ini tidur apa pingsan sih?! Mosok nggak denger ada suara keras begini!” Sungutnya melirik kearah Arif dan Dulmatin yang terlihat estetik dengan pose tidur masing-masing.
Raka menarik jendela kayu yang terbuka dan segera mengaitkan grendelnya. “Aneh, apa tadi nggak terkunci dengan benar?”
DUARR!
“Duh, Gusti! Jantungku bisa copot kalau begini terus,” Raka menggerutu dan tak lama, lampu berkedip-kedip sebelum akhirnya mati.
“Walah, mati lampu kan? Pasti ada yang kena samber gledek ini.”
Arif berjalan perlahan, menajamkan pandangan. Membiasakan diri dalam gelap. “Rif, bang Dul … bangun, ini lho lampune mati!” Ucapnya sedikit keras sambil berjalan perlahan.
Kilatan cahaya petir menerobos masuk ke dalam kamar. Mata Raka menangkap bayangan asing yang berdiri menghadapnya di sudut ruangan. Raka yang penasaran menghentikan langkah untuk memastikan tangkapan matanya itu benar.
“Siapa disana?”
Kilat cahaya kembali menerangi kamar, telat di sudut ruangan sosok itu terlihat jelas. Seketika jantung Raka berdegup dua kali lebih kencang dari biasanya.
“Kamu ..,”
Dimata Raka, gadis kecil berbaju kuning itu tengah menyeringai padanya.
Temani aku …,
Lutut Raka gemetar tak karuan mendengar suara bisikan yang begitu jelas terdengar menyapa. Ia mundur perlahan, selangkah … dua langkah dan … berhenti.
Raka membeku, di belakangnya hembusan nafas berat dan panas begitu terasa menyentuh tengkuk. Suara nafas yang kasar terdengar lebih mirip Geraman binatang. Suara Raka mendadak hilang saat ia ingin berteriak.
“Aaaaiiii tttoo …,”
Didepannya, gadis kecil itu melangkah maju dengan perlahan. Wangi bunga tercium samar setiap kali bocah itu bergerak. Raka semakin ketakutan kala bahunya terasa semakin berat. Ia bisa merasakan sentuhan tak biasa di punggungnya. Jemari dengan kuku tajam berjalan menyusuri punggung.
Hihihihi, cah bagus … awakmu wangi,
Dada Raka naik turun dengan cepat, lehernya memutar perlahan ke belakang. Pelan tapi pasti, sudut matanya menangkap sosok yang dilihatnya saat pemotretan.
Kancani aku dolanan, le …,
Aaaarrgh!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
EL SHADAY
kalimatnya kek ada yg kurang. uh ya bukannya harusnya ubur-ubur ikan lele dulu ya, baru kancani aku dolanan, le!
2025-02-24
4
Isnaaja
kayanya si gadis berbaju kuning dan yang ngajakin kencan 2 hantu yang berbeda.
2025-02-24
2
Sri_sena
aku kembali kesini thor😅
2025-02-25
1