“Pagiii pak guru! Kita duluan yaa ..,” sapaan sekaligus godaan terdengar renyah di siang itu.
“Udah siang, masih semangat pagi aja kalian!” Balas Arif yang tersenyum menghadapi kecentilan anak didiknya.
“Siangnya tetep adem pak, soalnya liat wajah bapak yang adem kek salju,” sahut siswa putri yang memainkan rambut panjangnya.
“Lah, dingin dong saya?”
“Nggak apa pak dingin, nanti bagian saya yang angetin bapak pake cinta,” yang lain menimpali disambut cekikikan yang lain.
“Heem, mulai deh … sabar, sabar. Ngadepin kalian kayak ngadepin anak kucing, harus sabar luar biasa.” Arif menggelengkan kepala tak menghilangkan senyuman di wajahnya.
“Kalo bapak yang jadi majikannya, mau dong jadi anak kucing …,” sahut mereka kompak sambil berlari menjauh, meninggalkan Arif.
“Astaghfirullah al adziim, anak jaman sekarang beraninya udah naik level.” Gumam pelan Arif, menggelengkan kepala.
Arif melirik jam tangannya, “aduh telat ini aku!”
Ia segera memacu motor kesayangannya menuju lokasi pemotretan dimana Raka memulai proyek perdananya. Semalam, sepupu jauhnya itu mengabarkan kedatangannya dan berniat menginap di rumah sederhana Arif sekitar satu sampai dua Minggu.
“Dul, otewe ke lokasi yo … kita ketemu disana, aku dah telat ini!” ujar Arif meninggalkan voice note untuk Dulmatin.
Lokasi pemotretan Raka terletak beberapa kilometer dari sekolah tempat Arif mengajar. Sekitar lima belas menit kemudian ia tiba di lokasi. Areal persawahan dengan jalanan desa yang masih natural belum beraspal menjadi lokasi pertama Raka.
Suara keributan terdengar saat Arif membuka helm-nya. Beberapa pria berlarian membawa ember kecil berisi air. Salah satunya nyaris menabrak Arif yang berjalan keheranan.
“Mas, ada apa ini? Kok rame?”
“Nganu mas, mesin pembuat asap konslet!” Jawabnya dengan nafas terengah-engah.
Lelaki itu kembali lari menuju sumber air, sementara Arif bergegas mencari Raka. Ia celingukan kesana kemari, mencari sosok pria tinggi besar putih dengan kacamata. Tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya asap tebal yang menyesakkan dada.
Semua panik, dan berlarian tanpa arah menghindar dari asap yang mulai berwarna kelabu.
“Mas, liat Raka nggak?” Tanya Arif menghentikan langkah lelaki berbaju hitam.
Ia menggeleng lalu pergi. Arif kembali menghentikan satu wanita dengan clipboard di tangannya.
“Mbak, liat Raka?”
Wanita itu kebingungan, “mas Raka tadi disana lagi motret sama anak-anak tapi begitu mesin itu konslet semua kacau.”
Arif langsung paham dan segera berjalan lurus ke depan. Intuisinya mengatakan jika Raka pasti pingsan karena terlalu banyak asap disana.
“Raka … Raka!” Teriaknya mencari, ia mengibaskan tangan menghalau asap tebal dan menajamkan pandangan.
Meski perih dan panas saat asap mengenai matanya tapi Arif tak menyurutkan semangat mencari sepupunya itu. “Raka, Ra … astaghfirullah!” ia terkejut.
Tepat di depan matanya, di tengah asap yang mengepung. Raka tengah berjongkok dalam posisi memotret. “Raka?!”
Sepupunya itu tak menjawab, tetap pada posisinya. Hawa aneh menyapa Arif, dingin menusuk diikuti bisikan aneh yang tak biasa. Arif seolah memasuki wilayah asing yang pendengarannya tuli sesaat. Telinganya mendengung, dan hanya mendengar sapaan lembut tak jelas yang mengerikan. Arif menguatkan nyali dan mendekati Raka.
“Raka!”
Ia berusaha menyadarkan Raka yang membeku, diam dalam posisinya. Berkali-kali ia memanggil nama sepupunya itu tapi tak kunjung direspon. Arif terkejut mendapati lima anak yang tengah bermain juga pada posisi yang sama–diam, membeku.
“Astaghfirullah, ada apa ini sebenarnya?”
Asap buatan itu terlihat mengelilingi lokasi dimana Raka dan kelima anak kecil itu bermain, seolah membentuk tembok asap yang menjebak siapa pun yang ada di dalamnya.
“Ini nggak beres, mereka harus disadarkan!”
Arif menarik nafas panjang, mengucapkan beberapa doa yang ia pahami lalu menepuk bahu Raka dengan keras. “Raka?!”
Keajaiban terjadi, asap kelabu yang mengelilingi Raka dan kelima anak itu perlahan memudar dan menghilang. Arif menepuk sekali lagi pundak Raka.
“Ka, bangun! Sadar!”
Raka merespon, ia menurunkan kamera, ekspresi bingung bercampur kaget terlihat dari tatapan matanya. “Arif? Lho kamu ngapain disini?”
Matanya menyapu sekeliling, Raka bingung dengan banyaknya asap dan hiruk pikuk kepanikan timnya. “Lho, ini ada apa ya?”
“Alhamdulillah, syukurlah Ka!” Arif menarik nafas lega melihat Raka baik-baik saja. “Sebaiknya kita menjauh dulu dari lokasi ini, Ka.”
“Nduuk, Le … ayo pindah mainannya!” Seru Arif pada lima anak yang posisinya nyaris seperti Raka–bingung dan juga sedikit takut dengan banyaknya asap.
Kelimanya mengangguk dan segera berlari menjauh tanpa meninggalkan keceriaan khas anak-anak. Raka mengikuti langkah Arif, pikirannya masih melayang pada hal aneh yang ia alami. Gendhis, gadis kecil yang bersamanya tadi tidak dilihatnya.
“Mas Raka! Ya Allah, aku dari tadi nyari mas Raka. Aku kira mas Raka ..,”
“Mati?!” Raka balik bertanya datar pada wanita berhijab yang membawa papan clipboard.
“Ehm, bukan. Aku pikir mas Raka dah lari.” Jawab gadis manis itu dengan kepala menunduk.
“Ini ada apa sih Rin? Kenapa rame sama banyak asap kek gini?” Tanya Raka yang masih belum memahami yang terjadi.
“Mesin pembuat asap konslet mas. Tuh, masih ditangani tukang.” Rini–asisten Raka–mengedikkan kepala ke arah kerumunan orang.
Raka menghembuskan nafas berat, kepalanya mendadak pusing. Ia memijat pelipisnya, lalu menoleh ke arah sekelompok anak kecil yang kembali bermain tak jauh darinya.
“Ehm, Rin … anak kecil yang pake baju kuning kemana ya? Yang rambutnya di iket ekor kuda?”
Rini memperhatikan ke arah anak-anak yang memang telah dikontrak sebagai objek foto. “Baju kuning? Perasaan nggak ada deh mas yang baju kuning. Dari tadi kan mereka aja berlima dan semuanya laki-laki?”
“Ah, masa sih? Anak kecil itu yang ada di tengah lingkaran. Dia yang jaga terus yang lainnya …,’
“Mas, kan mereka mainan gundu? Kok jadi main petak umpet?” Rini menyanggah dengan heran.
Arif ikut bingung mendengarnya, ia menatap Rini dan Raka bergantian. Raka yang tak percaya segera mengecek beberapa gambar yang sempat diambilnya.
“Serius kamu Rin? Di kamera aku mereka main … gundu?” sebelah alis Raka naik, ia bingung dan tak mengerti.
“Mas Raka suka ngeyel sih kalo dibilangin. Yang kita kontrak buat foto itu lima anak laki-laki buat mainan ala-ala anak desa. Nggak ada ceweknya mas.” Rini yang ikut menatap hasil jepretan Raka mengerutkan kening. “Kayaknya mas Raka kebanyakan hirup asap buatan deh.”
Tangan Raka sedikit gemetar, dalam hati ia bertanya-tanya. Siapa gadis kecil itu? Siapa yang ditemuinya tadi?
Ia menoleh perlahan ke arah lokasi dimana permainan tadi dilakukan. Samar terlihat, sosok gadis kecil berbaju kuning, berdiri menatapnya dengan senyuman tipis. Asap buatan yang tersisa membuat keberadaan gadis kecil itu antara ada dan tiada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
YuniSetyowati 1999
Heh kelas berapa kalian?kok udah berani ngegombal ke pak guru?dijadikan keset kaki baru tahu rasa kalian.Sexara gombal tuh jatuhnya kekeset kaki 😁
2025-02-19
3
Isnaaja
ini pak arif yang "misteri diruang sekolah" bukan?
2025-02-19
2
Mbak Bashi
lhoooo kucing ...mau meong sama om
2025-02-19
2