AUTHOR POV
Pagi datang menyapa laki-laki yang masih tertidur pulas di kamarnya. Adi menggeliatkan tubuhnya, merasa tidurnya terganggu dengan suara berisik peralatan dapur, "Oh udah pagi rupanya, aduh telat lagi. Kapan aku bisa memperbaiki ibadahku yang sering bolong ini?" gumam Adi setelah tau sekarang sudah pukul tujuh pagi.
Adi segera bangkit dari tidurnya dan meregangkan otot nya, kemudian masuk ke kamar mandi. Adi keluar dari kamar dan menyapa ibu Rokhayah dan Maya. Terlihat dia masih canggung, atas kejadian salah paham semalam.
Mereka sarapan bersama, Adi hanya makan dalam diam dan sesekali menjawab pertanyaan dari ibu dan anak yang memiliki mata bulat itu. Dia keluar dari rumah setelah sarapan selesai, Adi memainkan ponselnya untuk menelpon ayahnya sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Assalamualaikum, Yah. Sepertinya Abang cari tempat tinggal lain aja, Yah. Abang ngerasa ngerepoti betul." keluh Adi kepada ayahnya.
"Wa'alikumsalam, Bang. Kenapa kek gitu? Kalau memang Abang merasa demikian, lebih baik Abang kasih uang untuk biaya makan Abang aja. Itung-itung, Abang menyantuni janda tua dan janda kembang juga." jawab ayah Dodi, dengan di akhiri gelak tawanya.
Terdengar Adi menggeram frustasi, "Yah, Ayah tau Abang bukan penikmat janda. Kalau memang Ayah berniat kasih umpan buat Abang, kenapa tak carikan yang perawan begitu?" suaranya yang dibuat seserius mungkin.
Ayah tertawa terbahak mendengar penuturan anaknya, "Kalau memang Abang pengen tinggal pisah, Ayah ijinkan asal tak jauh dari tempat tinggal ibu Rokhayah, Ayah mau Abang tetap terkontrol." suara ayah yang terdengar serius, "Nanti orang Ayah carikan tempatnya. Udah dulu ya, Bang? Ayah lagi di jalan, assalamualaikum." sambung ayah dan langsung memutuskan panggilan telepon.
Adi hanya bisa menghela nafas dan menginjak puntung rokok nya. Dia tidak bisa membantah orang tuanya, dia merasa malu dan tidak tau diri saja karena pernah mengecewakan mereka.
Dia menunggu ojek onlinenya datang, dia berencana untuk mendatangi tempat acara penulis favoritnya dulu sebelum ke kedainya.
Sebetulnya Adi tidak mengerti, untuk apa dia dikirim ke kota C dengan alasan mengurus kedai. Dia tidak melakukan apapun di sana, sudah ada karyawan dan orang ayahnya yang mengerjakan urusan kedai.
Ah, mungkin hanya akal-akalan ayahnya saja. Mungkin ayahnya takut Adi terjerumus lagi kalau tetap tinggal di provinsi A. Sedangkan tinggal bersama ibu di kota J, dia tidak betah dengan suasananya. Membuatnya dititipkan ke kerabat jauh. Mungkin untuk sementara waktu, sampai Adi tau jalan hidupnya.
ADI POV
Akhirnya sampai juga aku di tempat tujuanku. Mungkin besok aku akan membeli motor saja, sekali jalan ongkosnya lumayan. Padahal bukan kota besar, tapi kebutuhan hidup disini lumayan mahal juga. Aku bukan orang yang boros dan royal, tapi aku tidak pelit juga. Aku selalu mempertimbangkan sesuatu untuk membeli ini itu. Apa lagi kalau memang tidak dibutuhkan sekali.
Karena aku merasakan sendiri susahnya cari uang dan ruginya gagal panen. Aku tidak semiskin yang kalian pikir, tapi aku pun tidak sekaya yang kalian kira. Aku bersyukur bisa hidup sederhana dan berkecukupan.
Ah, rupanya sudah ramai sekali yang datang. Mungkin sudah di mulai acaranya. Aku penasaran dengan penulisnya, karena jujur aku bisa tertawa karena membaca karyanya. Memang tidak semua karyanya mengandung unsur komedi, ada juga cerita sedih karena cinta. Aku pun ikut membeli buku dan berencana meminta tanda tangan dan foto bersamanya.
Setelah lumayan lama ikut antrean, alangkah terkejutnya aku. Kenapa bisa wanita itu lagi?
Wanita yang mengejekku karena kebodohanku di luar masjid itu, wanita yang mempermalukanku di depan kawan-kawanku di kedaiku sendiri.
Saat aku diam dalam ekspresi kaget, muncul seorang anak laki-laki berusia empat tahun dari belakang tubuh wanita itu.
Dia menunjuk ke arahku, "Mah, itukan om om yang mamah bilang manis itu. Om yang salah pakai sepatu itu loh." ucap anak itu dengan tampang polos.
Ini betul-betul memalukan, mana banyak orang lagi. Tapi apa katanya, dia bilang ke anaknya kalau aku manis? Memang tidak tersaring mulutnya, didikan macam apa itu.
"Sssttt, kalau ada omnya tak boleh bilang kek gitu ya Bang." sahut mamah dari anak laki-laki tersebut.
Tentu saja si Adinda menyebalkan, mamah anak laki-laki itu. Dia bilang apa lagi barusan, kalau ada omnya tak boleh bilang begitu. Aku paham sampai sini.
Jadi dalam ucapannya tersebut mengandung arti, boleh bilang kek gitu kalau tak ada omnya. Alias boleh ngomongin orang, kalau orangnya tak ada. Geram sekali aku dengan betina satu ini.
Lalu Adinda melihat ke arahku, ia menaik turun kan alisanya dengan wajahnya yang di setting menyebalkan itu.
"Sini dong bang, kenapa jauh sekali hm?"
Detik itu juga aku langsung berbalik dan berlalu, mana terdengar beberapa tawa lagi saat dia mengatakan itu. Memang hobinya meledek orang dan mempermalukan orang kah?
Aku tak habis pikir, dia kerja di kedai tapi dia juga seorang penulis yang sudah memiliki nama. Kenapa dia tidak hidup damai di dalam rumah saja dengan anaknya?
Kenapa harus sambil bekerja juga?
Aku asik dengan pemikiranku sendiri, sampai tak memperhatikan langkahku dan menabrak anak kecil yang membawa bola berlapis kain berkarakter. Dia terduduk dan hampir menangis.
Oh, tunggu anak siapa ini? Sempit sekali dunia ini, kenapa bisa aku menabrak anak Adinda? Bukankah tadi dia bersama ibunya?
Aku langsung menggendongnya, "Maaf ya, Dek. Abang tak liat ada kau lagi main di sekitar sini, lagian kan ini tempat ramai kenapa kau tak main dekat mamah aja?" ucapku sehalus mungkin sambil menatap nya.
Tapi dia langsung menangis, dengan terpaksa aku membawanya ke arah ibunya karena aku tidak bisa menenangkannya.
Ibunya mendengar tangis anaknya dan mendekat ke arahku. Lalu cepat mengambil alih menggendong anaknya, "Kenapa nih? Kok kenapa Abang nangis?" ucap Adinda dengan raut wajah yang khawatir.
Dia nampak keibuan dengan ekspresi wajah yang seperti ini.
Anaknya masih menangis, "Tadi dia lagi main sendiri, terus tak sengaja aku tabrak?" jawabku dengan rasa bersalah.
Tentu saja aku merasa bersalah, dengan berjalan tak tentu arah dan pikiran yang kemana-mana. Lalu menabrak anaknya, yang sedang asik dengan dunianya.
"Hah, kok bisa? Di tabrak pakai apa? Mana Bang yang luka? Abang udah nangisnya, cepat jawab! Biar mamah balas hari ini juga siapa dia berani-berani nabrak jagoan Mamah." tanya Adinda beruntun ke anaknya sambil memeriksa keadaan anaknya.
Lihat lagi ekspresi wajahnya yang langsung berubah kesal dan penuh emosi. Sebetulnya dia ini pemain sinetron atau apa?.Mana cerewet sekali dia.
"Iya maaf, Dek. Aku tak sengaja, lagian kenapa....." ucapku terpotong dengan interupsi dari Adinda yang suaranya terdengar sedikit meninggi.
"Apa hah kau mau ngomong apa lagi, anak aku yang salah begitu? Memang kau aja yang ceroboh Bang! Pakai sepatu aja kau salah. Tak punya bawa rasa kah kau bang? Kalau salah satu sepatu itu bukan punya kau? Dari ukuran aja jelas beda. Sekarang jalan kaki aja kau bisa sampai nabrak anakku, besok-besok apa lagi Bang Adi!" teriak Adinda dengan posisi sedikit maju ke depan.
Aku kaget bisa secepat dan selancar itu dia bicara dan mengungkit yang sudah-sudah.
Aku mulai terpancing emosi, "Hei, dengar baik-baik ya, Dek..................
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Komsatun Komsatun
kesel kesel lama lama jatuh cinta
2023-12-26
1
Edelweiss🍀
haha bang Adi dibuat kesel terus sama Dinda😁😂
2021-12-23
1
Isma Aji
Boom like bintang lima fav 🤗
2021-07-12
2