Melfissa melihat sosok pria dengan sepasang mata yang begitu indah, cerah, dan juga jernih, seakan memancarkan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Pupil matanya menyerupai bebatuan berwarna hitam seperti Black Agate, hitam pekat namun bening seperti kristal, berkilauan dengan cahaya yang jenaka dan penuh kehidupan. Matanya seakan menarik perhatian para gadis layaknya setitik black hole yang menyerap benda-benda diluar angkasa. Selain itu, pupil matanya sungguh mirip seperti langit gelap gulita dimalam hari.
“Eh? Apa semua gi*olo begitu tampan saat ini?” gumam Melfissa pelan pada dirinya sendiri, masih terpesona oleh pria itu. Ia menatap pria tersebut dengan hati berdebar-debar, matanya belum bisa lepas dari keindahan wajah dan sikap anggun yang hampir seperti seorang Aristokrat itu.
"Orang ini Ganteng banget!” pikir Melfissa sambil menahan napas, matanya masih terpaku pada wajah pria itu. Dia mengingat apa yang pernah dikatakan Lala kepadanya—bahwa di bar ini, semua pelayannya berkualitas tinggi, hanya yang terbaik yang bekerja di sini. Tapi pria ini… dia bahkan tampak jauh lebih menarik daripada yang bisa Melfissa bayangkan.
"Hah? Apa kau bilang!? Gig*lo?" suara Adrian Valerian tiba-tiba menggema di antara keramaian bar, matanya menyala marah saat dia menatap Melfissa dengan tajam. "Siapa yang kau panggil g*golo? Apa kau mau mati!?" ucapnya dengan nada penuh kekesalan, hampir seperti geraman.
Sebelum Adrian bisa mengatakan apa-apa, Melfissa, yang dipenuhi dengan keberanian mendadak dari alkohol yang masih mengalir dalam tubuhnya, maju selangkah. Dengan gerakan cepat, dia meraih kerah kemeja Adrian, menariknya mendekat dengan kasar. Matanya menatap langsung ke mata pria itu, penuh dengan tantangan.
“Hei, berapa biaya yang kamu kenakan per malam?” tanya Nelfissa dengan agresif dibawah pengaruh alkohol.
Pembuluh darah di dahi Adrian menonjol, menunjukkan amarah yang mendidih di bawah permukaannya. Matanya yang sedingin es menembakkan tatapan yang tajam, seakan menembus jiwa Melfissa. Napasnya terdengar berat dan teratur, tetapi penuh dengan kemarahan yang tertahan.
Tanpa peringatan, lengan Adrian yang melingkar di pinggang Melfissa tiba-tiba mengencang. Tubuh Melfissa yang lembut dengan cepat tertarik lebih dekat, begitu dekat hingga dadanya yang keras seperti batu menyentuh tubuh Melfissa. Detak jantungnya terasa jelas, memberikan perasaan perdebar-debar yang membuat Melfissa malu.
“Apa kau pikir aku seorang gi*olo?” suara Adrian terdengar rendah namun jelas, hampir seperti geraman. Ada nada mengejek dalam pertanyaannya, namun juga ancaman yang samar, seolah menantang Melfissa untuk menjawab pertanyaannya yang bisa membuat Adrian puas dengan jawaban itu. Situasi menjadi semakin tegang, seolah waktu berhenti di sekitar mereka, sementara mata Adrian yang berkilat tajam tetap terkunci pada Melfissa, menunggu responsnya.
“Tentu saja, memangnya menurutmu kenapa lagi aku bertanya padamu?” jawab Melfissa dengan santai, nada suaranya terdengar sepert tidak peduli sama sekali dengan atmosfer tegang yang melingkupi mereka.
Melfissa tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terpesona. Tidak hanya pria ini tampan, dengan rahang yang tegas dan mata yang dingin seperti es yang bisa menusuk siapa saja, tetapi suaranya… suara yang berat, dalam, dan bergetar dengan resonansi yang memikat. Suara itu begitu berbeda dari cowok lainnya, menambah kesan dewasa dan berwibawa yang sangat berkarisma.
“Begitu yah... jadi kau pikir aku ini seorang gi*olo yah!” Suara Adrian membuat merinding. Untuk beberapa alasan, mendengar dia mengatakan itu menyebabkan dia mendidih karena marah. Dia menyeretnya ke sebuah lift.
Sebelumnya Adrian membooking sebuah kamar karena sebelumnya berniat bertemu dengan koleganya untuk membahas suatu bisnis hingga larut malam, namun karena hal seperti ini terjadi akhirnya ia mengubah jadwalnya dan membawa Melfissa kekamarnya.
Adrian semula merasa jenuh, berdiam diri menunggu koleganya. Selain itu hari ini juga terlalu banyak wanita yang mencoba menarik perhatiannya, menggodanya dengan berbagai cara yang sama sekali tak membuatnya tertarik. wajahnya selalu datar tanpa menyunggingkan senyuman dan tatapannya terlihat kosong, tak menunjukkan sedikit pun ketertarikan.
Namun, semuanya berubah ketika Melfissa muncul di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya, seperti sesuatu yang menggugah keinginannya yang sudah lama terpendam. Mata Adrian yang dingin seperti es tiba-tiba memanas, mengamati setiap detail tubuh Melfissa dengan tatapan seperti binatang buas yang akan memangsa burung merak.
"Ayo ikut aku kalau itu kemauanmu" ucap Adrian sembari menarik telapak tangan Melfissa menuju sebuah lift.
Ketika Lala dan pelanggannya akhirnya selesai bertransaksi, keduanya segera menoleh ke arah tempat Melfissa sebelumnya duduk. Namun, alih-alih melihat Melfissa, mereka justru melihat pelanggan lain yang sedang memesan minuman di kursi yang sama.
Lala mengerutkan alis, dengan cepat menyadari bahwa Melfissa telah menghilang. Rasa marah langsung memenuhi wajahnya. Dengan frustrasi yang tak tertahankan, dia menginjak kakinya di lantai, tatapan matanya memancarkan kemarahan yang menyala-nyala. Dia tidak bisa percaya bahwa Melfissa begitu saja lenyap di tengah kerumunan, meninggalkan rencananya yang awalnya ingin menjual tubuh Melfissa ke orang lain.
Di sisi lain, tubuh Melfissa mulai berkeringat, membuatnya bergerak gelisah di dalam lift sempit itu. Biasanya, dia adalah seorang wanita karir yang tegas dan serius, tetapi sekarang, berada di ruang yang begitu dekat dengan Adrian, keadaannya berubah sepenuhnya. Tubuh mudanya secara tidak sengaja bergesekan dengan tubuh Adrian yang lebih besar dan kokoh, membuatnya merasa gugup dan tidak nyaman.
“Hmm, pria ini sangat wangi,” pikir Melfissa dalam hatinya, terpesona oleh aroma yang mengelilingi mereka di dalam lift. “Aroma tembakau ringanw tanpa parfum buatan, boleh juga penampilannya,” lanjutnya, merasakan kagum dengan penampilan pria itu.
Melupakan amarahnya sejenak, Adrian mengangkat dagu Melfissa dengan satu gerakan cepat dan tegas. Matanya yang dalam dan tajam menatap langsung ke dalam mata Melfissa yang indah, seolah-olah sedang memandang bunga yang cantik..
Ada jeda sesaat, momen di mana waktu terasa seolah berhenti. Napas mereka bercampur di udara sempit lift, dan tubuh mereka hampir bersentuhan sepenuhnya. Adrian tak dapat mengendalikan dirinya lagi, dorongann nafsu mereka berdua sangat kuat.
Tanpa peringatan, Adrian menundukkan kepalanya, mendekatkan wajahnya ke wajah Melfissa. Bibirnya menyentuh bibir merah Melfissa dengan tiba-tiba, kuat namun juga penuh gairah. Ciuman itu singkat namun penuh makna bagi Melfissa.
Bibir Adrian yang gesit dengan cepat membuka mulut Melfissa, mengaitkan lidah kecilnya yang cantik dengan gerakan yang terampil. Dia mengisap dengan lembut dan menggigit ringan, seolah menikmati setiap detik dari kontak yang intim itu. Tindakan beraninya membuat tubuh Melfissa terkejut dan seluruh punggungnya bergetar, sensasi asing merambat dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya.
Mereka terus berciuman, seakan lupa di mana mereka berada. Bibir mereka bertemu lagi dan lagi dengan hasrat yang semakin membara, tanpa memedulikan kenyataan bahwa mereka masih berada di dalam lift sempit yang bergerak lambat. Suara desahan dan napas mereka yang semakin berat memenuhi ruang kecil itu disaat lift sedang naik ke lantai atas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments