Pagi itu, matahari bersinar cerah di langit desa. Udara masih segar, embun tipis masih menempel di dedaunan. Sarah bangun lebih pagi dari biasanya karena antusias. Hari ini adalah kegiatan KKN pertama mereka: membantu ibu-ibu PKK dan mengajar anak-anak di balai desa.
“Wah, semangat banget Mbak Sarah. Baru jam enam udah rapi,” goda Rani sambil menguap.
Sarah hanya tertawa kecil. “Aku nggak mau telat di hari pertama. Lagian, aku penasaran banget gimana suasana anak-anak di sini.”
Mereka berangkat bersama kelompok menuju balai desa. Warga sudah berkumpul, sebagian ibu-ibu membawa kerajinan tangan, sebagian lagi menggendong anak kecil. Balai desa yang sederhana mendadak penuh warna dengan tawa dan suara ramai.
Sarah ditugaskan mendampingi anak-anak SD. Dengan papan tulis kecil dan beberapa spidol, ia mulai mengajak anak-anak bernyanyi, menulis huruf, dan bermain tebak kata.
“Siapa yang tahu arti kata ‘cita-cita’?” tanya Sarah.
Seorang bocah laki-laki menjawab lantang, “Cita-cita itu kalau besar pengen jadi juragan kayak Om Andi Kerrang!”
Seluruh anak-anak tertawa, bahkan ibu-ibu yang duduk di belakang ikut terkekeh. Sarah terkejut, tapi tersenyum. Nama Andi Kerrang rupanya memang begitu melekat dalam kehidupan desa.
“Wah, bagus sekali. Jadi juragan itu harus kerja keras dulu ya. Kalau kalian rajin belajar, nanti bisa jadi apa saja yang kalian mau,” balas Sarah sambil menepuk bahu anak itu.
Anak-anak tampak bersemangat. Mereka berebut maju menulis di papan tulis, sementara Sarah dan teman-temannya membantu membimbing dengan sabar.
Sementara itu, di sisi lain balai desa, ibu-ibu PKK sibuk membuat olahan makanan dari hasil tani. Rani dan Mira ikut membantu mengiris sayur, sementara Sarah yang selesai mengajar anak-anak pindah ke meja ibu-ibu.
“Coba, Nak, iris bawangnya tipis-tipis ya,” pinta seorang ibu.
Sarah menuruti dengan hati-hati, walau matanya perih terkena uap bawang. Anak-anak yang tadi belajar malah berdiri mengerubungi Sarah, menyorakinya tiap kali irisannya terlalu tebal.
“Biarin aja, Nak Sarah masih belajar,” ujar seorang ibu sambil tertawa. “Yang penting mau membantu. Mahasiswa kan harus bisa segalanya.”
Sarah tersipu malu tapi merasa hangat. Ada kebersamaan yang ia rasakan di tengah tawa dan canda sederhana itu.
Siang menjelang, tiba-tiba suasana berubah. Dari luar balai desa, terdengar suara gaduh. Beberapa pemuda berlari kecil sambil berteriak, “Pak Kades! Pak Kades! Banjir kecil di sawah sebelah timur! Air dari irigasi meluap!”
Orang-orang spontan berdiri. Beberapa bapak langsung menuju lokasi, sementara ibu-ibu panik memanggil anak mereka.
Sarah terkejut, belum paham sepenuhnya situasi. Ia menoleh pada salah satu ibu, “Kenapa, Bu?”
“Irigasi bocor, Nak. Kalau nggak cepat ditangani, bisa merusak tanaman padi. Itu sawah banyak milik warga sini… juga milik Juragan Andi.”
Nama itu kembali terdengar. Dan benar saja, tak lama kemudian, seorang pria muncul tergesa. Andi Kerrang. Tubuhnya tegap, wajahnya serius, kemeja kerjanya sudah basah oleh keringat meski siang belum terlalu terik.
“Semua pemuda ikut saya! Kita tutup aliran sekarang juga!” suaranya lantang memecah suasana.
Sarah refleks memperhatikan. Ada wibawa dalam cara Andi memimpin. Warga segera bergerak mengikuti perintahnya, tanpa banyak tanya.
Rani berbisik, “Itu lho, Sar… juragan kita. Lihat, karismanya kayak komandan perang!”
Sarah tak menjawab. Matanya fokus menatap Andi yang mengatur warga dengan sigap. Ada sesuatu dalam sosoknya yang membuat Sarah sulit berpaling.
Namun, ia sadar tak bisa hanya berdiri. Bersama teman-temannya, Sarah ikut membantu menenangkan anak-anak dan ibu-ibu yang panik. Ia mengajak mereka kembali duduk, memberi minum, bahkan mencoba menenangkan seorang ibu yang menangis karena takut sawahnya rusak.
“Tenang, Bu. Insya Allah, warga dan Pak Andi bisa mengatasinya,” ucap Sarah lembut.
Tak lama kemudian, kabar datang bahwa aliran air berhasil ditutup sementara. Warga kembali dengan napas terengah-engah, sebagian wajah dan pakaian belepotan lumpur.
Andi berjalan masuk ke balai desa, mengusap keringat di dahinya. Matanya sekilas bertemu dengan Sarah yang sedang menenangkan seorang anak kecil di pangkuannya. Tatapannya kali ini tidak hanya tegas, tapi juga… berbeda.
Ia mendekat, lalu berkata singkat, “Terima kasih sudah membantu menenangkan warga.”
Andi mengangguk sekali, lalu melanjutkan langkahnya menemui Kepala Desa. Tapi bagi Sarah, ucapan sederhana itu membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Rani langsung menyikut lengannya begitu Andi pergi. “Duh, Sar, kalau tatapannya tadi bisa bikin padi langsung tumbuh subur, lho!”
Mira ikut menimpali sambil cekikikan, “Mbak Sarah, siap-siap deh. Kayaknya juragan udah notice kamu.”
Sarah menutup wajah dengan kedua tangannya, menahan malu bercampur rasa tak menentu. Dalam hati, ia tahu satu hal: pertemuannya dengan Andi Kerrang kali ini lebih dari sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang mulai tumbuh, meski ia belum berani memberinya nama.
Dan di hari pertama KKN itu, Sarah belajar bahwa pengabdian bukan hanya soal membantu warga, tapi juga membuka hati untuk menerima kejutan-kejutan kehidupan yang datang tanpa diduga.
Sarah terperanjat. “Eh… iya, Pak. Sama-sama.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments