"Aku kehilangan segalanya... karena dirimu!... Karena seseorang seperti dirimu ! ” Seonho kembali berteriak, matanya liar dengan emosi yang tak terbendung. Dalam kemarahannya, dia mengayunkan tangan, memukul Yoora sekali lagi hingga tubuh gadis itu terhuyung ke dinding. Suara hantaman itu menggema, dan Yoora meringis kesakitan, napasnya terputus-putus. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, namun tidak lebih menyakitkan daripada luka di hatinya.
“Oppa... maafkan aku... aku juga tidak ingin semua ini terjadi , aku juga tidak mau kehilangan mereka.....” lirih Yoora di antara isakan tangisnya. Tapi Seonho tidak mendengar, atau mungkin tidak peduli.
“Maaf?... Maafmu tidak akan mengembalikan apa pun! Maafmu tidak akan menghapus air mata yang sudah aku tangisi, tidak akan menyembuhkan luka di hatiku! Apa dengan maafmu, aku akan mendapatkan kebahagiaanku kembali? katakan padaku? Apa dengan maafmu, orang tua kita akan kembali hidup?” Seonho berteriak lagi, wajahnya memerah karena amarah. Satu pukulan lagi menghantam Yoora, kali ini lebih keras, membuat tubuh ringkihnya jatuh ke lantai tanpa daya.
Teriakan Yoora tak mampu menahan rasa sakit yang terus menerpa, namun matanya menatap kosong pada kakaknya yang kini tampak seperti orang asing. Sosok Seonho yang dulu penuh kasih sayang telah hilang, digantikan oleh kebencian yang mengakar dalam.
Seonho berdiri di atasnya, napasnya berat dan tergesa, menatap tubuh Yoora yang lemah di lantai dengan tatapan dingin.
“Aku memperingatkanmu... jauhi adik-adikku. Berhentilah membuat masalah. Kau tahu, aku tidak akan segan-segan membuatmu kehilangan segalanya kalau kau berani melakukan yang membuat ku kerepotan lagi , Kau paham? " Bentak seonho, yang membuat Yoora yang tidak berdaya dalam posisi nya hanya bisa mengangguk mengiyakan apa yang di ucapkan sang kakak.
Dengan kata-kata terakhirnya yang penuh ancaman, Seonho meninggalkan Yoora di sana, pintu kamar mandi kini terbuka lebar, seolah memberikan Yoora kesempatan untuk keluar dari neraka ini. Tapi tubuh Yoora terlalu lemah, hatinya terlalu hancur untuk segera bergerak.
“Aku tidak melakukannya... aku bukan orang seperti itu...” Yoora berbisik pelan, suaranya hampir tak terdengar di antara tangisannya.
Setelah beberapa saat terdiam, dengan sisa tenaga yang dia miliki, Yoora akhirnya memaksa dirinya bangkit, tertatih-tatih keluar dari kamar mandi itu. Setiap langkah terasa menyakitkan, tetapi lebih dari rasa sakit fisik, luka di hatinya terasa jauh lebih menyiksa.
...Yoora pov...
"Huhhhhhh..."
Lagi dan lagi, aku terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuh gemetar, dan keringat dingin yang mengucur deras. Rasanya seperti seluruh udara di kamar ini menolak masuk ke paru-paruku. Jantungku berdebar kencang, seperti aku baru saja dikejar bayangan mengerikan yang tak pernah mau berhenti. Mimpi itu... mimpi sialan itu, terus datang menghantui. Wajah Seonho oppa, tatapan marahnya, dan rasa sakit yang ia berikan semua itu menyergapku setiap kali aku menutup mata, seolah tidak ada tempat untukku melarikan diri, bahkan dalam tidur sekalipun.
"Kenapa ini terjadi, ya Tuhan..." bisikku, suaraku nyaris tak terdengar, tertelan dalam kegelapan malam yang sepi.
Sejak hari itu, semuanya berubah. Bayangan Seonho oppa yang menyakitiku seperti kutukan yang tak bisa hilang. Pukulan dan hinaannya terus berputar di dalam kepalaku, setiap detailnya tertanam dalam, merobek ketenangan hatiku. Bahkan tidur... hanya membawa lebih banyak siksaan. Aku tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini, bagaimana membuat semuanya berhenti.
Aku menoleh ke arah jam dinding. Pukul setengah dua belas malam. Namun, mataku... mereka tidak mau memejam. Setiap kali aku mencoba, bayangan Seonho oppa kembali muncul, menghantui pikiranku seperti sosok hantu yang mengintai dari balik kegelapan. Aku merasa lelah, tapi tubuhku tidak peduli. Setiap helaan napas membawa rasa takut yang baru, seolah mimpi buruk itu akan menyeretku kembali kapan saja.
Aku hanya ingin damai... tapi rasanya damai itu tidak pernah untukku.
Aku memutuskan untuk keluar dan mencari angin segar. Terlihat seluruh penjuru mansion ini begitu sunyi dan sepi, seolah tidak ada kehidupan yang tersisa. Seperti sebuah kastil tua yang ditinggalkan oleh penghuninya, hanya meninggalkan jejak langkah kesepian di setiap sudutnya. Aku berjalan pelan, setiap langkahku terdengar menggema di antara dinding-dinding dingin yang tampak lebih besar dan menakutkan saat malam tiba. Mungkin semua orang sudah tertidur, terlelap dalam mimpi indah mereka, tanpa sedikit pun tahu bahwa ada satu hati yang berjuang keras hanya untuk bertahan.
Langkahku berhenti di ruang tengah, di mana sebuah foto besar menggantung dengan angkuh di dinding. Foto yang begitu familier, menampilkan wajah-wajah yang dulu pernah menganggap ku sebagai keluarga nya . Ketujuh saudara laki-lakiku, bersama pria dan wanita yang tampak begitu sempurna. Daddy dan Mommy. Wajah-wajah itu penuh dengan senyum, seolah tidak ada beban dunia yang mereka pikul. Aku menatap foto itu lama, semakin lama semakin dalam, hingga perasaan asing mulai menggerogoti hatiku. Rasanya seperti menatap keluarga yang tidak pernah benar-benar aku miliki.
Aku duduk di lantai dingin, membiarkan rasa dingin itu menyusup ke dalam kulitku, seolah berharap bisa menumpulkan rasa sakit yang terus menghantuiku. Dengan suara yang hampir tidak terdengar, aku mulai berbicara, meski aku tahu tak ada yang akan mendengarnya.
"Apakah kalian memang lebih bahagia tanpa diriku? Haruskah aku menyerah, Oppa? Bertahun-tahun aku mencoba, berharap suatu hari kalian akan memaafkan ku, tapi rasanya tak pernah ada perubahan. Apa aku salah karena terlahir di dunia ini ? Salah karena selalu menjadi beban dalam hidup kalian? Maafkan aku jika begitu... maafkan aku karena telah merenggut Daddy dan Mommy dari kalian. Aku berjanji, aku akan membawa Mommy kembali, meski aku tak tahu caranya... tapi aku akan mencoba. Haruskah aku berhenti mengganggu hidup kalian?" ucapku, suaraku nyaris retak karena hatiku terasa perih .
Air mata mulai menetes dari sudut mataku, perlahan mengalir turun dan jatuh ke lantai di bawahku. Setiap tetes terasa seperti pecahan kecil dari hatiku yang telah hancur berkeping-keping. Kenangan-kenangan masa lalu berputar dalam benakku senyum Daddy, tawa Mommy, kebahagiaan yang dulu tampak begitu sempurna, kini hanya menyisakan bayangan kelabu yang semakin menyakitkan.
Aku bangkit dengan susah payah, tubuhku terasa lebih berat dari biasanya, seolah terbebani oleh semua luka yang tidak pernah sembuh. Aku menghapus air mata dengan kasar, meski hatiku masih menangis. Dengan langkah gontai, aku keluar, berharap udara malam bisa sedikit meringankan beban di dadaku. Saat sampai di teras mansion, angin dingin malam langsung menyapa tubuhku, menusuk hingga ke tulang. Aku duduk di anak tangga, memeluk lututku sendiri untuk menahan rasa dingin yang kini menyelimuti, bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam diriku sendiri.
Aku mendongak, menatap langit malam yang begitu luas dan gelap. Di atas sana, bulan tampak pucat, dikelilingi bintang-bintang yang bertaburan. Begitu kontras dengan gelapnya langit, tetapi juga mengingatkanku betapa kecilnya aku di dunia ini. Seolah-olah, meski ada cahaya, gelap tetap lebih mendominasi. Dan di tengah kegelapan itulah aku berada, sendirian.
“Daddy… apa Daddy melihatku di atas sana? Aku rindu padamu, Dad. Maafkan aku karena telah memisahkan mu dari yang lain. Daddy pun pasti marah kan pada Yoora? Andai hari itu tidak pernah terjadi, mungkin semua oppa-ku tidak akan membenciku, bukan Dad? Kenapa harus Daddy yang pergi, kenapa bukan Yoora saja?” Ucapnya dalam hati sembari menatap malam itu dia berkhayal sedang berbicara dengan sang ayah, air matanya terus mengalir bagaikan air terjun yang tak bisa dibendung, mengalir deras membasahi pipinya yang dingin.
Begitu lama Yoora terdiam dalam kesunyian, pikiran dan emosinya bertabrakan dalam jiwanya. Ia terjebak dalam pusaran ingatan yang penuh kesedihan dan penyesalan, berusaha mencari jawaban dari pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Semua pertanyaan dan kegelisahan tersebut hanya terpendam bagaikan mimpi yang tak bisa diwujudkan, menunggu untuk diungkapkan, namun terhalang oleh ketidakberdayaannya.
“Aku bisa… aku akan mencarinya,” ujarnya, suara lembutnya bergetar di tengah hening malam. Setelah sekian lama duduk terdiam di sana, akhirnya ada secercah harapan dalam pikirannya, seolah-olah kata-kata itu bisa membebaskannya dari beban yang selama ini menghimpit hati dan jiwanya.
...POV end...
....
Saat Yoora berjalan kembali ke kamarnya, tiba-tiba dia melihat siluet tubuh dari arah pintu kaca besar yang mengarah ke kolam renang. Hatinya berdebar, campuran antara heran dan penasaran, karena sudah larut malam dan tidak mungkin ada saudaranya yang masih terjaga di luar sana.
"Siapa itu?" gumam Yoora dalam hati, lalu dia berjalan mengendap-endap mendekati siluet misterius tersebut.
Dia berhenti di balik jendela besar yang sedikit terbuka sebenarnya itu adalah pintu kaca yang menghubungkan ruang keluarga dengan kolam renang. Dari tempatnya berdiri, pemandangan utama yang terlihat adalah kolam yang tenang, dengan cahaya bulan yang memantul indah di permukaannya.
Langkah Yoora terhenti saat seseorang yang berada di dekat kolam renang itu kembali berbicara. Suara itu terdengar tegas dan penuh emosi.
"Sudah aku bilang, kau ambil saja. Tidak perlu mengganggu aku lagi. Apa semua uang yang saudara ku berikan padamu itu kurang? Lagipula, hanya dengan menjual iba, kau berhasil mendapatkan uang sebanyak itu," ujarnya, nada suara penuh ketidakpedulian.
Hening sejenak menyelimuti malam, seolah waktu terhenti. Yoora bisa merasakan ketegangan di udara. Lawan bicara pria itu sepertinya menjawab, tetapi suara mereka tidak terdengar jelas. Hingga akhirnya, suara pria itu kembali terdengar, lebih tajam dan penuh amarah.
"Aku tidak mau tahu! Jangan pernah menghubungiku lagi. Semua hubungan ini sudah selesai, dan kita sudah impas. Aku berhasil membuat Yoora tersiksa dan dijauhi oleh saudara ku . Sementara kau, kau juga mendapatkan keinginanmu untuk mendapatkan uang yang banyak." Ucap nya yang terdengar begitu kesal.
Seolah disambar petir di malam yang tenang, tubuh Yoora terasa lemas tak bertulang. Dia luruh ke lantai, tertegun saat menyadari bahwa saudara kandungnya sendiri adalah sosok di balik semua rencana jahat ini. Tidak habis pikir, tidak pernah terlintas dalam benaknya, jika sang kakak bisa melakukan drama seperti ini demi kepentingan pribadi.
Dengan cepat, Yoora bangkit kembali, berusaha menahan rasa sakit yang menggerogoti jiwanya. Dia memaksakan diri untuk menjauh dari tempat itu, sebelum saudaranya menyadari kehadirannya dan menimbulkan masalah baru.
Terlalu banyak kejutan yang harus dihadapinya malam ini. Kepalanya terasa buntu, dan semakin kelam saat dia menyadari semua kejadian mengejutkan yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir, ternyata adalah hasil konspirasi antara kakaknya dan kakak kelasnya, serta pemilik kantin. Bayangan kebohongan dan pengkhianatan melingkupi pikirannya, dan saat itu, dia merasa terjebak dalam labirin kegelapan yang tiada akhir.
"Kau berani mengancamku? Maka nama baikmu sendiri taruhan yang dipertaruhkan. Kau pikir nama baikmu akan baik-baik saja setelah semua orang tahu bahwa semua ini hanya sandiwara? Kau yakin sekolah tidak akan mengambil tindakan atas semua perilakumu ini?" tanya pria itu dengan nada sinis, suaranya tegas dan menggema dalam kesunyian malam.
"Aku menyesal bekerja sama dengan orang sepertimu," jawab suara dari seberang telepon, terdengar putus asa dan frustrasi.
"Kau ingin menghancurkan hidupku? Maka aku akan mengajakmu hancur bersamaku. Sadarlah akan posisi mu, kau pikir aku akan takut dengan gertakan mu yang tak berguna itu ?! " pria itu menjawab, suara dinginnya seakan menggantung di udara. Dengan sekali gerakan, dia memutuskan sambungan telepon, tidak memberi kesempatan bagi lawan bicaranya untuk membela diri.
Pria tersebut memandang sekeliling, merasakan suasana sepi yang menyelimuti tempat itu. Angin malam berhembus lembut, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman seolah ada mata-mata yang mengawasi setiap gerakannya. Namun, ketika dia berusaha mencari tahu, tidak ada siapa pun di sekelilingnya. Semua tampak kosong dan sunyi.
"Mungkin hanya perasaanku saja," ujarnya sembari mengedikan bahunya, berusaha mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya. Namun, meski ia mencoba untuk bersikap acuh, kegelisahan dalam hatinya tidak bisa dipadamkan. Setiap detik terasa menegangkan, dan bayangan dari ancaman yang dilontarkan sebelumnya terus menghantui pikirannya.
...
Alarm dari ponsel berdering nyaring, memecah kesunyian pagi dan memaksa si pemilik ponsel untuk segera terbangun. Perlahan, mata sayu itu terbuka, mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Dengan gerakan lamban, dia mematikan ponselnya yang masih berdering keras. Rasanya, baru saja tertidur beberapa menit, tetapi kini harus terbangun lagi.
"Aku baru saja tidur, kurasa," gumamnya sambil menghela napas berat. Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi, berusaha mengusir rasa kantuk yang menyelimuti. Setelah mandi, dia bersiap-siap untuk menghadapi rutinitas harian, mulai dari beres-beres hingga memasak sarapan untuk saudara-saudaranya yang lain.
Selama melakukan semua kegiatannya, ucapan yang didengarnya semalam terus berputar di benaknya, mengganggu fokusnya. Masih sulit bagi Yoora untuk mencerna kenyataan yang menyakitkan itu, tetapi mau tidak mau, dia harus menerima fakta pahit tersebut.
" Yoora...," panggil seseorang, mengejutkan Yoora yang sedang melamun di dapur. Tanpa pilihan, dia menoleh ke arah sumber suara.
"Iya, oppa," jawab Yoora, terkejut melihat kakak ketiganya berdiri di belakangnya, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi yang ramah.
"Cuci mobilku. Aku akan memakainya hari ini," ujarnya sambil melemparkan kunci mobil ke arah Yoora. Dengan refleks, Yoora berhasil menangkap kunci itu.
"Yoora masih harus memasak, oppa. Aku akan melakukannya setelah ini," balasnya, mencoba mempertahankan nada sopan nya .
"Awasi dirimu. Jangan sampai ada kesalahan lagi, kali ini bukan hanya Seon Hyung tapi tangan ku sendiri yang akan memberikan mu pelajaran jika kau terus bertingkah " ujar sang kakak, suaranya dingin, sebelum berlalu meninggalkannya sendirian.
Yoora hanya bisa diam, merasa ketegangan di antara mereka semakin menguat. Dia melanjutkan acara memasaknya, berusaha berfokus pada tugasnya. Dia berusaha melakukan semuanya secepat mungkin agar bisa pergi ke sekolah tanpa harus terlambat. Setiap irisan sayuran, setiap tumisan, seakan menjadi sarana untuk meluapkan kekhawatirannya. Dalam hati, dia berdoa agar hari ini tidak menjadi lebih buruk dari kemarin.
Seperti biasanya, Yoora menata semua makanan agar bisa segera disantap oleh saudara-saudaranya. Setelah itu, dia harus membangunkan saudara-saudara yang lain. Hal ini terasa sangat berat baginya, karena dia tahu akan menghadapi kata-kata yang tidak mengenakkan di pagi hari seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi? Dia tidak diberikan pilihan dan harus melakukannya.
“Tok... tok... tok... { Yoora mengetuk pintu kamar kakak pertamanya, Seonho } Oppa, makanan sudah siap,” ujarnya, tetapi tak mendapat sahutan.
Dia mengetuk lagi, berharap kali ini akan segera ada jawaban dari orang yang di tuju.
“Oppa…” Akhirnya, setelah menunggu sejenak, pintu terbuka dan Seonho muncul dengan wajah sayu khas orang yang baru bangun tidur. Namun, bukannya menyapa, dia hanya membuka pintu dan melengos pergi, seolah kehadiran Yoora tidak terlihat sama sekali. Yoora tidak mempermasalahkan sikapnya, karena dia pun tidak ingin membuat keributan di pagi hari.
Setelah membangunkan semua saudara, tinggal Namjin yang belum. Yoora terdiam di depan pintu kamar kakaknya. Dia sering menganggap Namjin telah berubah setelah kejadian Jungsoo memukulnya hingga masuk rumah sakit. Sejak saat itu, Namjin kembali menunjukkan sikap acuh dan dingin.
“Tok... tok... tok...” Dia tidak perlu berjuang keras untuk memanggil Namjin, karena pria itu langsung membuka pintu kamarnya.
“Maaf, oppa. Yang lain sudah menunggu untuk sarapan,” ujarnya, segera pergi meninggalkan Namjin tanpa menunggu jawaban atau reaksi. Namjin hanya bisa terdiam melihat Yoora yang seolah menjauh darinya, pikirannya berkecamuk.
“Maafkan oppa, adek,” ujarnya pelan, sebelum turun ke bawah untuk bergabung dengan saudara-saudara yang lain.
Sementara itu, Yoora memilih menyelesaikan pekerjaan lainnya, yaitu mencuci mobil Haesung sebelum akhirnya pergi ke sekolah.
Di meja makan, semuanya sudah duduk dan sedang menunggu Namjin agar sarapan bisa segera dimulai. Suasana terasa hening, hanya dentingan sendok dan garpu yang mengisi kekosongan.
“Hyung, lama sekali,” keluh Jungsoo, sambil melirik ke arah tangga.
“Maafkan aku,” jawab Namjin yang baru saja duduk di kursinya. Makan pagi itu berlangsung tanpa percakapan, seolah kata-kata terjebak di kerongkongan mereka. Namjin merasa hampa di tengah-tengah suasana yang seharusnya hangat, hanya bisa mengalihkan perhatian pada makanan di depannya.
“Kemarin di Jepang, kau bersama siapa?” tanya Seonho, memulai pembicaraannya dengan nada yang penuh rasa ingin tahu.
“Dengan temanku, Hyung,” jawab Namjin datar, sambil menatap piringnya yang sudah hampir kosong.
“Siapa?” tanya Seonho lagi, mengamati ekspresi Namjin yang tampak acuh.
“Ji-won, aku bersamanya,” jawab Namjin, tetap dengan nada datar, seolah menjawab pertanyaan itu hanya karena Seonho yang bertanya. Tidak ada semangat dalam setiap ucapannya, hanya keheningan yang membekas di antara mereka.
“Kang Ji-won? Kalian masih bersama?” tanya Seonho, mengernyitkan dahi, menunggu jawaban yang lebih jelas.
“Tidak ada yang spesial. Kami bersama karena pekerjaan yang mengharuskan itu,” jawab Namjin lagi, mengalihkan pandangannya ke arah lain, seakan mencari sesuatu di luar sana.
“Tapi kau terlihat dekat dengannya,” ujar Yongki menimpali, menilai bahwa Namjin tampak lebih ceria saat menyebut nama Ji-won.
“Mungkin hanya perasaan Hyung saja,” balas Namjin, berusaha menjaga jarak dari topik yang sensitif. Suara Namjin semakin dingin, membuat suasana semakin tegang.
“Kalian bicara layaknya wartawan yang sedang mewawancarai artis,” ujar Jihwan, menyadari jika jawaban Namjin terkesan datar dan penuh kepura-puraan.
“Kurasa Namjin Hyung masih kecewa pada Seon Hyung,” ujar Taehwan, tanpa rasa takut. Ucapannya membuat semua mata tertuju padanya, kecuali Namjin yang tetap menunduk, menghindari tatapan tajam.
“Tae…” tegur Yongki, mencoba mengingatkan agar mereka tidak memperparah situasi yang sudah tegang.
“Benar begitu?” tanya Seonho dengan nada serius, menatap Namjin, berharap bisa membacanya lebih dalam.
“Aku hanya menjawab apa yang Hyung tanyakan padaku. Apa salahnya? Aku sudah meminta maaf dengan tulus atas semua ketidaksopanan ku waktu itu. Lalu, apa lagi?” ujar Namjin, suaranya mulai meninggi, menunjukkan rasa frustrasi yang terpendam.
“Hyung percaya padamu { ucap seonho sembari meletakkan sendok dan garpu nya sedikit kasar , hingga menyebabkan denting dari alat makan yang beradu} … Sebelum Hyung berangkat kerja, ada yang ingin Hyung katakan. Jadi, temui Hyung di kamar,” ujar Seonho, sembari berlalu meninggalkan meja makan tersebut dengan langkah yang tegas.
Suasana yang awalnya hanya dingin kini berakhir dengan ketegangan yang mencengkeram, membuat semua orang merasa tidak nyaman. Namjin hanya dapat menghelang nafas panjang dan ikut berlalu mengikuti langkah kakak pertama nya itu
“Kenapa harus bertanya hal seperti itu, Jihwan?” tanya Yongki, frustasi, berusaha mengembalikan suasana agar tidak semakin memburuk.
“Aku hanya memperjelas jika Namjin Hyung tidak nyaman dengan kita,” jawab Jihwan, yang kemudian ikut berlalu dari sana, meninggalkan ketegangan di udara yang semakin mencekam.
“Sudahlah, Hyung, biarkan saja. Lagipula, kita harus membuat Namjin sadar kalau yang dia lakukan itu salah. Tidak seharusnya dia membela anak yang tidak tahu diri itu,” ucap Haesung, sambil menepuk meja dengan ringan, saat Yoora menghampiri dirinya untuk mengembalikan kunci mobilnya.
“Ah, ini kuncinya mobilnya sudah selesai aku cuci, oppa. Permisi,” ujar Yoora, yang langsung pergi tanpa mengatakan apapun. Ia tampak terburu-buru, seolah menghindari konflik yang sedang berlangsung, seolah tak mendengar percakapan panas di antara saudara-saudaranya.
“Kenapa dia?” tanya Yongki lagi, kebingungan dengan sikap Yoora yang tiba-tiba dingin.
“Apa yang kenapa?” tanya Haesung, bingung dengan ucapan Yongki yang tampak tak relevan.
“Yoora… apa dia tidak mendengar ucapan kita?” tanya Yongki lagi .
“Kalaupun iya, apa hubungannya dengan kita? Aku tidak peduli,” ujar Haesung, sambil berlalu dari sana untuk kembali ke pekerjaannya, meninggalkan rasa tidak nyaman di antara mereka.
....
Kini Namjin sudah sampai di kamar kakak tertuanya, Seonho. Ia melangkah masuk, mengikuti langkah Seonho yang sudah ada di sana lebih dulu, duduk santai di atas tempat tidur, tetapi aura serius mengelilingi mereka.
“Ada apa?” tanya Seonho, suaranya tenang namun tegas, mengisyaratkan bahwa ia ingin berbicara tentang sesuatu yang penting.
“Apa maksud Hyung?” tanya Namjin, kini berdiri di samping Seonho, berusaha membaca ekspresi wajah kakaknya yang tidak menunjukkan tanda-tanda baik.
“Yang Jihwan katakan tadi… benar?” Ujar Seonho, sambil mengalihkan perhatian dari ponselnya. Ia menatap Namjin dengan serius, seolah menunggu jawaban yang diharapkan.
“Oh, ayolah, Hyung! Kenapa kamu membahas masalah tidak penting seperti ini? Kalian semua keluargaku, aku tidak perlu memperjelas apapun lagi,” ujar Namjin, berusaha mengalihkan perhatian dengan nada yang agak defensif.
“Diam!” { tutur Seonho, sambil bangkit dari posisinya, membuat Namjin terkejut. } “Kau sudah berjanji padaku untuk menjauhi anak itu, maka tepatilah janji mu itu. Hyung tidak ingin melihat suasana seperti itu lagi di kemudian hari. Kau dengar kan ini, Jin-ah , Dia itu yang membuat kita semua kehilangan banyak hal dalam hidup kita. Dan kau tidak boleh egois. Hyung tahu hatimu juga pernah kecewa padanya kan? Maka lanjutkan itu. Ingatlah, sekali lagi jika kau membelanya, Hyung tidak akan segan-segan mengusir anak sialan itu dari rumah.” ucap seonho dengan nada tenang namun menuntut.
Setiap kata Seonho terdengar seperti petikan lembut yang menembus ketidakpastian di hati Namjin, tetapi namanya tetap tersisih di antara perasaan bersalah dan loyalitas.
“Kau dan yang lain tahu kan alasan Hyung mempertahankan dia agar tetap tinggal di rumah ini apa?” Seonho menegaskan, suaranya meningkat sedikit, menunjukkan betapa seriusnya situasi ini.
Namjin hanya bisa mematung, meresapi kata-kata kakaknya yang bergetar dalam pikirannya. Ia merasa terjebak dalam dua dunia, satu yang mencintai dan satu yang penuh dengan kebencian dan pengkhianatan.
“Hyung-nim!” panggil Namjin, berusaha menghentikan langkah Seonho yang sudah melengos pergi dari kamarnya, tetapi tidak ada jawaban. Seonho terus melangkah, meninggalkan Namjin dengan pikirannya yang penuh kebingungan dan rasa sakit.
Namjin menatap pintu yang tertutup, rasa kesepian merayap masuk ke dalam jiwanya. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia harus mengikuti perintah kakaknya, tetapi di sisi lain, hatinya bertanya-tanya apakah semua ini benar-benar adil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments