BAB 8: Dipermalukan

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Yoora akhirnya diperbolehkan pulang dan kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, meski tubuhnya sudah kembali pulih, hatinya masih terasa berat. Sepulang dari rumah sakit, dia menyadari bahwa rumah tampak lebih sepi dari biasanya. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Namjin, kakak yang satu hari sebelumnya masih tampak di sekitar rumah. Yoora tidak ingin bertanya pada saudara-saudaranya yang lain, meskipun rasa penasaran itu menggantung di benaknya.

Gadis berparas cantik itu melangkah keluar rumah dengan langkah lesu. Rambut panjangnya yang hitam tergerai ditiup angin pagi, sementara pandangannya kosong menerawang ke depan. Matahari baru saja terbit, tetapi suasana hatinya tetap terasa kelam. Tanpa semangat, dia berjalan menuju tempat di mana dia akan menuntut ilmu, tetapi pikirannya masih dipenuhi bayangan Namjin yang berpamitan pada nya di rumah sakit tempo hari.

  Setelah beberapa waktu dihabiskan untuk menuju ke sekolah, Yoora akhirnya turun dari bis dengan langkah yang terasa berat. Meskipun kerumunan siswa dan siswi lain di sekitar mulai berdatangan, ia merasa terasing, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkannya dari mereka. Suara tawa dan percakapan ramai mengisi udara pagi, tetapi hatinya terasa hampa dan lesu.

Sebuah teriakan tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ra!" Sebuah teriakan akrab menggema di antara kerumunan siswa, membuat Yoora segera menoleh. Ia menghentikan langkah lesunya dan mencari asal suara.

"Ya?" Yoora menjawab dengan nada datar, matanya sedikit memicing karena sinar matahari pagi yang menyilaukan.

Rea, sahabatnya yang ceria, berlari kecil menghampirinya. Begitu sampai, tanpa basa-basi, Rea langsung merengkuh Yoora dalam pelukan hangat, erat sekali seolah sudah lama tak bertemu.

"Kamu baik-baik saja? Aku benar-benar khawatir, tahu!" ucap Rea dengan suara lembut tapi tegas, penuh perhatian. Yoora, meski merasa hangat oleh pelukan itu, hanya bisa tersenyum kecil dan menepuk punggung Rea.

“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja, Re.” ucap yoora dengan senyuman manis andalan nya.

Rea melepaskan pelukannya, tapi tidak bisa menahan diri untuk tidak mengamati Yoora dari ujung kepala hingga kaki. Wajah Yoora tampak lebih pucat dari biasanya, dengan lingkaran gelap di bawah matanya, dan kepala yang dibalut perban membuat Rea mengerutkan kening.

"Kamu tidak terlihat baik-baik saja. Wajahmu lesu sekali, { kata Rea sambil menyentuh perban di kepala Yoora dengan hati-hati } "Apa lagi yang kakakmu lakukan padamu? Kenapa kepalamu sampai diperban begitu? Apa mereka sudah keterlaluan kali ini?" Tanya nya penuh rasa khawatir.

Yoora menghela napas dan mencoba tersenyum, meski terlihat jelas bahwa senyumnya agak dipaksakan.

"Apalah kamu ini, Re. Aku cuma tidak sengaja terbentur dinding kemarin, makanya kepalaku diperban. Tidak ada yang serius, kok. Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” ujarnya, sambil terkekeh pelan untuk mencoba meredakan kekhawatiran sahabatnya.

Rea melipat tangan di depan dada, tidak sepenuhnya percaya dengan jawaban Yoora.

“Berhentilah tertawa seolah semuanya baik-baik saja. Kau kelihatan seperti badut yang memaksa tersenyum di tengah luka-lukanya. Kau pikir aku akan percaya dengan omong kosong mu itu ? Ouh , ayolah nona aku bukan anak kecil yang tidak bisa membedakan tanda kekerasan dan tanda kecelakaan ” Nada suaranya mengisyaratkan rasa kesal, bukan karena marah, tapi karena dia tahu Yoora tidak berkata jujur sepenuhnya. Yoora, tidak ingin membuat suasana menjadi lebih serius, menanggapinya dengan candaan.

"Mana ada badut secantik aku, Re? Lihat ini, perban ini malah membuatku terlihat seperti model fashion. " Dia menyentuh perbannya seolah-olah itu adalah aksesori mahal.

“Kau terlalu percaya diri, Yoora,” balas Rea dengan nada setengah mengejek, meski senyumnya mulai mengembang. Candaan Yoora mungkin sederhana, tapi setidaknya berhasil sedikit meredakan kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya.

“Aku bicara fakta, bukan percaya diri yang berlebihan. Kau saja yang tidak mau mengakui kecantikan sahabatmu ini.” ujar Yoora sembari mengangkat alis dan tersenyum lebih lebar. Rea mendesah pelan, meski tidak bisa menahan tawa kecilnya.

“Iya, iya, Tuan Putri. Ayo, kita ke kelas. Aku tidak mau telat gara-gara kamu pamer kecantikan,” ucap Rea sambil menyenggol lengan Yoora.

Yoora menggandeng tangan Rea, dan mereka berdua berjalan menuju kelas dengan langkah yang lebih ringan.

“Aku tidak pamer, Re. Aku hanya menyatakan kebenaran. Kau tahu, orang-orang seperti kita harus menghargai diri sendiri karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mencintai kita? Ada seorang penyanyi yang berkata seperti ini 'I am the one I should love in this world ( Aku adalah orang yang harus aku cintai di dunia ini. ) ” ujar Yoora dengan penuh keyakinan, matanya bersinar seolah sedang membagikan rahasia hidup yang sangat penting.

" Penyanyi siapa? " Tanya Rea penasaran.

" Ntah aku lupa, tapi dia artis terkenal aku pernah sekali melihat nya menyayikan sebuah lagu dan salah satu lirik nya adalah itu ," ujar yoora sembari terkekeh .

" Dasar kau ini, masih muda tapi pelupa " ujar rea lagi .

" Lupa itu sifat alamiah manusia Rea.. semua manusia itu pasti pernah lupa , lagian aku cuma pernah liat artis itu sekali di aplikasi menonton, mana aku tahu siapa namanya dan bagaimana asal usul nya " ujar yoora mejelaskan semuanya.

"Kata-kata mu layaknya seorang penulis saja, kau cocok jadi penulis," ujar Rea sambil menggoda, menggoyangkan jari telunjuknya seolah menekankan pernyataannya. Senyum lebar dan tawa kecil mengalir dari bibirnya, menambah keceriaan suasana.

"Wah, serius? Tapi aku tidak pernah berpikir untuk berkecimpung di dunia seni," jawab Yoora.

"Saudaramu masuk dunia seni, kan?" Tanya Rea, sedikit penasaran.

"Ya, hanya Namjin oppa, Yongki oppa, dan Haesung oppa," jawab Yoora, suaranya bergetar saat menyebut nama saudara-saudaranya, yang begitu luar biasa menurut nya .

"Bagus! Selanjutnya adalah dirimu," ujar Rea dengan semangat, berusaha mendorong sahabatnya untuk berpikir lebih jauh. Yoora hanya mengangkat bahu, matanya melirik ke arah lantai, menandakan ketidakpastian.

"Tapi aku tidak bisa," ujarnya, suara pelan yang hampir tak terdengar, seolah menginginkan dunia yang lebih sederhana, dibandingkan menjadi seorang penulis yang jelas pasti sangat tidak mudah , banyak hal mengerikan di balik indahnya seni sastra yang di lihat orang awam di luar sana itu .

" Belum juga mencoba nya sudah bilang tidak bisa, itu sama saja menyerah sebelum berperang " ujar Rea, sembari terkekeh.

" Aku takut gagal " jawab Yoora.

" Jangan hidup kalau begitu" ujar Rea dengan santainya.

" Mwo.... " Ujar yoora yang tidak paham dengan ucapan sahabatnya itu.

"Jika kau takut gagal lebih baik mati saja, bagaimana bisa kamu berkata takut gagal di saat kamu belum pernah mencoba sama sekali , dengarkan aku 'segala sesuatu di dunia ini harus kita usahakan, tidak ada suatu kebetulan yang datang tanpa kamu cari . Segala sesuatu memang di atur tuhan tapi kita lah yang harus mencari kemana tuhan mengatur kita' coba terapkan pikiran seperti ini lebih baik mencoba nya dari pada tidak sama sekali " ucap Rea yang berusaha menyakinkan yoora jika dia bisa melakukan itu.

" Sepertinya kau lebih cocok jadi penulis itu di bandingkan dengan ku " ujar yoora yang balik meledek sahabat nya itu .

"Lalu apa cita-citamu?" Tanya Rea lagi, ingin tahu apa yang ada di benak sahabatnya, berharap bisa menggali impian yang mungkin tersembunyi.

"Pengangguran yang banyak uang , Bayangkan, bisa tidur sepanjang hari tanpa khawatir! Iyakan? "Ujar Yoora sambil tertawa lebar, wajahnya bersinar seolah leluconnya adalah yang paling lucu di dunia.

"Apa itu bahkan mungkin?, Aku rasa banyak orang ingin tahu rahasia itu! " Dia membayangkan kehidupan tanpa beban seperti khayalan sahabat nya , sambil sedikit menggelengkan kepala, tertawa pada konyol nya ucapan sahabatnya itu.

"Ah, itu rahasia! Mungkin suatu hari aku akan menemukan cara," Yoora menjawab dengan nada bercanda.

"Kalau begitu, jangan lupakan aku ketika kau sudah jadi pengangguran kaya! " Ujar Rea yang menanggapi guyonan sahabat nya itu .

" Tapi aku rasa saat semua itu terjadi mungkin aku tidak butuh teman , kau tahu sulit mendapatkan tempat yang tulus saat kita punya segalanya , banyak orang yang datang hanya karena sebuah tujuan bukan sebuah keinginan " jawab Yoora.

“Kau dan kata-kata besar mu itu aku ini sahabat mu dari jaman kau masih jadi gembel, intinya jangan lupakan aku. Tapi, aku serius, Yoora. Kalau ada sesuatu yang benar-benar terjadi, kau harus cerita padaku. Aku nggak suka lihat kau terluka seperti ini, apalagi kalau itu gara-gara kakak-kakakmu.” ujar Rea sembari menggeleng sambil tertawa kecil, dia berusaha mengikuti alur pembicaraan sahabat nya itu .

Yoora hanya tersenyum tipis, tidak merespons lebih jauh. Dalam hatinya, dia tahu bahwa Rea benar. Namun, membahas masalah keluarganya bukanlah hal yang mudah. Untuk saat ini, dia lebih memilih menghindari pembicaraan itu.

Dua orang sahabat itu terus berjalan bergandengan menuju ruang kelas mereka, langkah mereka ringan meski koridor yang dilalui dipenuhi dengan tatapan tajam dan ekspresi tidak bersahabat dari siswa-siswa lain. Namun, bagi mereka berdua, semua itu sudah menjadi santapan sehari-hari. Mereka melangkah dengan percaya diri, seolah dunia di sekitar mereka tidak ada artinya.

"Kita seperti artis yang selalu dipandang orang lain, ya?" ujar Rea, sambil duduk di kursinya.

"Heyyy... Percaya diri sekali kau ini! Kau pasti ingin naik panggung, ya? " ujar Yoora sambil tergelak.

"Iya, kan? Lagipula, apa mereka tidak bosan melihat kita setiap hari seperti itu?" Rea menjawab dengan nada bercanda.

"Mereka itu tidak suka pada kita, jadi wajar saja kalau mereka menatap kita seperti itu," ujar Yoora, Dia menyadari betapa sering mereka diperlakukan seperti orang asing di sekolah, tetapi hal itu tidak membuatnya merasa lemah. Justru, dia merasa lebih kuat dengan Rea di sampingnya, walaupun begitu terkadang kedua nya lebih memilih diam agar tidak memancing keributan apapun di sana.

"Kau benar! Sejak kita masuk sekolah ini, kita memang sering dibully dan dijauhi. Tapi berkat kehadiran mu , aku bisa bertahan sampai sejauh ini , semoga kita terus bersama hingga tua nanti " ujarnya dengan tulus, menatap Yoora dengan penuh rasa syukur.

"Ah, itu kan tugas sahabat!, aku tidak akan biarkan kau menghadapi semua ini sendirian, jadi mari kita usahakan bersama selamanya " Matanya berbinar, seolah mengingat kembali bagaimana persahabatan mereka terjalin di tengah banyaknya kesulitan.

" Selamat pagi semuanya nya ".....

" Selamat pagi , songsaenim .. " sahut semua siswa.

( Catatan: Dalam bahasa Korea, "guru" disebut "선생님" (dibaca: songsaenim/saem untuk guru yang lebih informal). Kata ini digunakan untuk menyebut guru dengan rasa hormat, jika di terapkan ke culture Indonesia , kata ini bisa masuk ke kata \= pak ( tolong koreksi jika author keliru ).

Obrolan semua siswa termasuk yoora dan Rea terhenti saat tiba-tiba guru yang mengajar hari itu masuk ke kelas dengan membawa tumpukan buku dan catatan. Suasana langsung berubah, semua siswa menyimak dengan baik pelajaran yang dimulai. Suara guru yang tegas dan bertenaga mengisi ruangan, menarik perhatian mereka yang sebelumnya terhanyut dalam obrolan.

Pelajaran pun dimulai, dan meski situasi sekitar mereka mungkin tidak selalu bersahabat, ikatan yang mereka miliki membuat segalanya terasa lebih ringan. Mereka tahu bahwa selama mereka bersama, mereka bisa menghadapi apapun yang datang.

"Baiklah buka buku kalian masing- masing , mari kita kembali ke pelajaran kita sebelumnya , Seperti yang telah kita pelajari tentang persamaan kuadrat, ingatlah bahwa kita dapat mencari akar-akar persamaan dengan menggunakan rumus kuadrat. Siapa yang bisa memberi tahu saya rumusnya?" Ujar sang guru.

Seorang murid laki-laki di belakang, Rea, langsung mengangkat tangan dengan semangat.

"y \= ax² + bx + c Songsaenim " ujar nya dengan lantang.

"Bagus sekali, Min-ho Satu poin untukmu, { balas sang guru, tersenyum.} Sekarang, mari kita fokus pada bagaimana kita bisa menemukan nilai x dari persamaan ini. Untuk itu, kita harus menggunakan rumus diskriminan." Lanjut nya , Di kelas, beberapa siswa terlihat bingung.

"Apa itu diskriminan, saem?" tanya Rea , yang akhirnya mengajukan pertanyaan mewakili kebingungan siswa lainnya. Sang guru mengangguk, menghargai pertanyaannya yang di ajukan oleh Rea.

"Diskriminan adalah bagian penting dari persamaan kuadrat. Ini adalah nilai yang kita dapatkan dari rumus D \= b² - 4ac. Siapa yang bisa menjelaskan kepada saya apa artinya D yang positif atau negatif dalam konteks grafik?" Tanya sang guru yang mengedarkan pandangan nya pada semua siswa nya, Yoora yang sedari tadi ikut menyimak pun akhirnya ikut dalam diskusi kelas tersebut.

"Jika D positif, itu berarti kita akan mendapatkan dua akar real, kan Songsaenim ?" Ujar yoora yang sedikit ragu dengan jawaban nya.

"Betul sekali! Dan apa yang terjadi jika D sama dengan nol? Yoora? " tanya guru, menatap yoora agar mau melanjutkan jawaban nya .

"Kalau D nol, berarti ada satu akar real!" jawab yoora lagi, dengan percaya diri kini dia mulai yakin dengan jawaban nya .

"Bagus! Nah, bagaimana dengan D yang negatif?" sambung sang guru.

Beberapa siswa saling tatap, kebingungan. Semua mata terhubung satu sama lain berharap ada salah satu di antara mereka yang menjawab pertanyaan sang guru.

"Apa itu berarti tidak ada akar real Songsaenim ?" tanya Min-ho, ragu-ragu.

"Ya, tepat sekali, Min-ho! Jika D negatif, artinya grafiknya tidak akan memotong sumbu x, dan kita hanya akan memiliki akar kompleks," jawab sang guru dengan antusiasme .

"Tapi, Songsaenim, bagaimana kita bisa menggambarkan grafiknya jika tidak ada akar real?" tanya Rea lagi.

"Pertanyaan yang sangat baik, Rea! Mari kita bayangkan bersama, { sang guru menjelaskan sambil menggambar grafik di papan tulis lalu kembali berucap } Ketika D negatif, grafiknya akan berbentuk parabola yang tidak menyentuh sumbu x, seperti ini. " Ujar sang guru sembari menggambar grafik yang melengkung di atas sumbu x, menunjukkan bahwa tidak ada titik potong.

"Jadi, ini seperti ketika kita tidak bisa menemukan solusi untuk masalah yang kita hadapi?" sambung yoora, mencoba menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.

"Persis, yoora! Matematika sering kali bisa kita hubungkan dengan situasi kehidupan nyata. Kadang-kadang kita merasa terjebak dalam situasi tanpa solusi, tetapi jangan khawatir, kita selalu bisa mencari jalan keluar, sama seperti kita mencari akar dalam persamaan kuadrat," balas guru, memberikan semangat kepada siswa-siswanya.

Kelas terasa lebih hidup dengan diskusi tersebut. Beberapa siswa mulai mencatat, sementara yang lain terlihat lebih tertarik pada pelajaran.

"Baiklah, sekarang kita akan melakukan beberapa latihan soal. Siapa yang siap untuk menghitung nilai diskriminan dari persamaan ini? Yoora, Rea, Min-ho, Yuna? " tanya sang guru pada murid- murid pintar dikelas nya , sambil menulis sebuah persamaan kuadrat di papan tulis.

"Saya siap, Songsaenim" jawab sang ketua kelas yang sedari tadi diam sembari menyimak, mengangkat tangan dengan bersemangat.

"Bagus! Mari kita kerjakan bersama-sama dan lihat berapa nilai D yang kita dapatkan. Ini akan membantu kita memahami lebih dalam tentang grafik dan akar-akar persamaan kuadrat." Ujar sang guru lagi

Ditengah-tengah pelajaran yang serius itu, suasana kelas harus terhenti ketika ada seseorang yang datang mencari Yoora dengan raut wajah yang tidak menyenangkan. Suara guru yang menjelaskan materi matematika tentang persamaan kuadrat pun mereda seiring dengan masuknya pria tersebut ke dalam kelas.

"Permisi..." ujar seorang pria yang berdiri di balik pintu, suaranya tegas namun mengandung nada menakutkan.

"Iya..." sahut sang guru, mengangkat alis dan menatap pria itu dengan rasa ingin tahu.

"Maaf mengganggu waktu pelajaran sebentar, saya ada urusan dengan salah satu murid Anda " ujarnya sembari terus menatap ke arah Yoora.

"Siapa yang Anda maksud?" Tanya sang guru, dengan nada mulai curiga. Dia tidak suka adanya gangguan dalam jam pelajaran, apalagi dengan sikap yang menunjukkan masalah serius.

"Yoora... dia mencuri di kantin sekolah," jawab pria itu lagi, suaranya mengandung kesan menuduh yang langsung mengundang perhatian seluruh kelas.

Semua murid, termasuk guru yang ada di sana, langsung menatap lekat ke arah Yoora. Keringat dingin mulai mengalir di dahi Yoora, dan dia merasa matanya terbelalak tak percaya dengan tuduhan itu.

"Tunggu... tunggu dulu! Aku tidak mencuri apa-apa! " teriaknya, sambil berdiri dan memberikan pembelaan.

Suasana kelas yang semula tenang kini berubah menjadi hiruk-pikuk. Beberapa murid berbisik-bisik, memperdebatkan apa yang baru saja mereka dengar.

"Serius? Yoora? Dia terlihat baik-baik saja! Masa iya murid berprestasi seperti dia mencuri? " bisik Kyuhyun kepada teman di sebelahnya, yang hanya mengangguk bingung.

" Kau percaya? " Tanya Hana .

" Molla.. jika sampai iya bukankah itu keterlaluan? " Tanya Kyuhyun pada teman wanita di sebelah nya .

( Catatan: "Molla" (몰라) dalam bahasa Korea berarti "tidak tahu." Kata ini sering digunakan dalam percakapan sehari-hari ketika seseorang tidak memiliki informasi atau tidak yakin tentang sesuatu. Tolong koreksi jika author salah).

" Kau tahu dia dalam masalah besar jika sampai itu benar " ujar Hana .

" Itu benar " jawab Kyuhyun.

"Saya tidak pernah mencuri. Bagaimana bisa Anda menuduh tanpa bukti? Hari ini saya bahkan belum sempat datang ke kantin. Bagaimana mungkin Anda menuduh saya mencuri di sana?" ujar Yoora dengan nada marah, wajahnya memerah karena ketidakadilan.

"Berhentilah mengelak. Ini bukan kejadian pertama kalinya. Saya sudah sering merasa kehilangan uang, dan akhirnya saya tahu pelakunya," ujar pria yang ternyata adalah pemilik kantin di sana, mengangkat alisnya penuh keyakinan.

"Ini bukan kejadian pertama kalinya, bukan berarti saya yang mencuri!" balas Yoora, berusaha mempertahankan posisinya.

"Anda punya bukti? Kenapa tega sekali mengatakan hal seperti ini?" tanya Rea, yang akhirnya angkat bicara untuk membela sahabatnya.

Dia tahu betul bahwa Yoora tidak mungkin melakukan hal itu. Sesulit apapun masalah yang sedang dihadapi oleh Yoora, pantang baginya untuk merugikan orang lain, apalagi sampai harus mencuri seperti yang dituduhkan oleh pemilik kantin itu.

"Saya tidak bicara sembarang. Mereka adalah saksi jika Yoora selalu mengambil uang yang ada di kantin selama ini," ujar pemilik kantin itu dengan nada meyakinkan, menunjuk ke arah beberapa siswi yang baru datang.

Yoora menatap beberapa siswi yang dimaksud, mengenali mereka sebagai orang-orang yang selalu membully siswa-siswi lain di sekolah. Dia tahu betul berapa banyak siswa yang mengalami perundungan dari mereka.

"Benarkah kalian pernah melihat dia mencuri?!" tanya sang guru, suaranya menegaskan keseriusan situasi.

"Betul, Songsaenim. Kami sudah beberapa kali melihat dia mencuri uang di sana. Bahkan saat kami coba untuk menghentikannya, dia malah merundung kami bertiga. Irene pernah menjadi korban!" ujar salah satu wanita bernama Yoona, wajahnya terlihat sangat percaya diri.

"Itu benar, Songsaenim. Kami pernah menegurnya, tapi dia mengancam kami. Aku adalah korban kekerasannya. Anda bisa melihat bekas luka di belakang punggung saya jika tidak percaya!" tambah Irene, menatap Yoona dengan penuh rasa dendam. Mendengar tuduhan itu, Yoora merasa panas di dadanya. Dia tidak terima karena dia tahu dirinya tidak pernah melakukan hal tersebut.

"Tunggu, saem! Aku sama sekali tidak pernah melakukan hal itu. Aku tidak pernah mencuri apapun, apalagi sampai merundung mereka! Eoni, kenapa kalian menuduhku seperti itu?" tanyanya dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata.

"Sudahlah, Yoora. Jangan berpura-pura di hadapan saem. Kamu tidak bisa mengelak lagi," ujar Yoona dengan senyum sinis, seolah menikmati momen itu.

"Saem, tolong percaya padaku. Aku sama sekali tidak pernah melakukan apapun yang mereka tuduhkan barusan. Aku difitnah oleh mereka!" seru Yoora, matanya berkilau dengan harapan agar sang guru mau mendengarnya.

"Saem, sahabatku tidak mungkin melakukan hal tersebut. Aku tahu betul sikapnya bagaimana," ujar Rea, memberi pembelaan untuk sahabatnya. Dia berdiri di samping Yoora, menempatkan dirinya sebagai perisai di tengah badai tuduhan.

"Ini kasus yang cukup serius. Jika semua yang terjadi benar, kamu bisa dikeluarkan dari sekolah ini," ujar sang guru dengan nada tegas, membuat Yoora terdiam membisu. Rasa takut dan bingung menyelimuti pikirannya, dia tidak tahu bagaimana lagi membela diri dalam situasi yang semakin menekan ini.

"Saem... aku berani bersumpah atas nama Tuhan, aku tidak pernah melakukan apapun yang mereka tuduhkan padaku barusan! Tolong percaya padaku!" seru Yoora, suaranya dipenuhi keputusasaan saat dia memberikan pembelaannya untuk terakhir kalinya.

Sementara itu, pemilik kantin berdiri dengan wajah penuh kemarahan, karena tidak kunjung mendapatkan apa yang dia inginkan dari hal ini .

"Saya akan menuntut sekolah ini jika sampai dia tidak mendapatkan hukuman yang setimpal atas semua perbuatannya. Bagaimanapun, sekolah ini tidak bisa mendidik muridnya dengan benar hingga menjadi seorang pencuri dan perundung orang!" ancamnya, matanya menyala penuh penekanan.

Mendengar ancaman itu, guru tersebut menghela napas kasar, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam. Dia menatap Yoora dengan tatapan tidak suka, seolah mempertanyakan kejujurannya.

"Ikut saya ke ruang guru, dan kalian, { ia mengalihkan pandangannya ke Rea dan murid lain } lanjutkan pelajaran tadi. Sebentar lagi akan ada pergantian jam pelajaran," ujarnya, beranjak dari tempatnya tanpa menunggu jawaban dari semua orang. Suara langkahnya bergema di ruangan yang hening, menciptakan atmosfer tegang yang mengisi ruangan kelas.

Rea menatap Yoora dengan cemas, merasa bersalah karena tidak bisa membantu sahabatnya dalam situasi sulit ini. Dalam hati, dia bertekad untuk mencari cara membuktikan bahwa Yoora tidak bersalah.

"Yaampun... Gak nyangka banget, ya! Ternyata si cupu itu pencuri dan pembully juga. Pantas saja tidak ada yang mau berteman dengannya selama ini," ujar Jisso, salah satu teman sekelas Yoora, dengan nada mengejek. Senyumnya penuh kepuasan saat melihat situasi ini.

"Kamu benar. Aku tidak bisa membayangkan semalu apa keluarganya saat mengetahui hal ini," sahut salah seorang siswa lainnya, mengikuti arus pembicaraan yang merendahkan Yoora.

"Diam kalian! Sahabatku tidak mungkin melakukan hal itu. Dia difitnah oleh mereka! Aku tahu baik buruknya sikap sahabatku ini, dan aku yakin dia tidak mungkin melakukan hal sekotor itu hanya demi uang," ujar Rea dengan penuh semangat, suara tegasnya membelah kerumunan. Dia sangat yakin jika Yoora tidak akan berbuat demikian.

"Maling saja kau bela, Rea! Di mana otakmu? Apa kau juga sudah memakan hasilnya sampai membela dia seperti itu?" timpal salah satu siswa yang diikuti oleh tawa mengejek dari teman-teman sekelas mereka, menciptakan suasana semakin mencekam bagi Yoora.

"Aku tidak bersalah! Aku tahu kalian memfitnahku! Aku tidak tahu apa kesalahan yang aku lakukan padamu dan kalian { ucap yoora sembari menatap ketiga kakak kelas nya dan juga pemilik kantin tersebut} , Perlu kalian tahu, jika aku berani bersumpah atas nama Tuhan, ayah, dan ibuku, aku tidak melakukan hal yang kalian semua tuduhkan," ujar Yoora, suaranya bergetar namun mantap. Dengan tekad yang bulat, dia mulai melangkah pergi ke ruang guru seperti yang diperintahkan oleh wali kelasnya barusan.

Dia berusaha menahan air mata, namun hatinya sangat sakit mendengar tuduhan dan cemoohan yang diarahkan kepadanya. Dalam pikirannya, dia bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dengan tekad yang bulat, dia mulai melangkah pergi ke ruang guru seperti yang diperintahkan oleh wali kelasnya barusan.

"Yoora, tunggu!" teriak Rea, berusaha mengejar.

"Jangan buang-buang waktu, Rea. Dia sudah dihadapkan pada masalah yang lebih besar," sahut Jisso, sinis.

"Betul itu semoga kau tidak terlibat juga, atau bisa-bisa kalian berdua dikeluarkan dari sekolah ini." Sahut murid lainnya.

Yoora berusaha menahan air mata, namun hatinya sangat sakit mendengar tuduhan dan cemoohan yang diarahkan kepadanya. Dalam pikirannya, dia bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

Saat Yoora melewati tiga orang kakak kelasnya, tiba-tiba kakinya tersandung oleh kaki salah satu kakak kelas yang disengaja, membuatnya tersungkur ke lantai dingin. Kepalanya, yang masih belum pulih sepenuhnya akibat ulah Jungsoo, kembali terluka. Terlihat darah segar mengalir dari sela-sela pelipisnya.

Tidak ada yang memperdulikan hal tersebut, semua orang di sana hanya menertawakan dirinya, seolah dia adalah bahan lelucon bagi semua orang.

Setibanya di depan pintu ruang guru, dia berhenti sejenak, mengatur napasnya.

"Aku harus kuat. Aku tidak bisa menyerah," bisiknya pada dirinya sendiri. Dengan keberanian, dia mengetuk pintu.

"Masuk!" suara tegas dari dalam ruangan memecah keheningan.

Yoora membuka pintu dan melangkah masuk, Di dalam ruangan, sang guru terlihat serius, duduk di meja dengan ekspresi khawatir yang bercampur denga tatapan kesal. Di sebelahnya, pemilik kantin itu berdiri dengan sikap menuntut, seolah ingin segera memulai interogasi.

"Yoora, duduklah, Kita perlu membahas tuduhan ini." perintah guru, gesturnya menunjukkan ketidakpuasan.

"Saem, saya..." Yoora berusaha berbicara, tetapi pemilik kantin memotong.

"Saya tidak ingin mendengar alasan atau pembelaan. Ini bukan pertama kalinya saya mendengar tentang kejahatan yang melibatkan siswa di sekolah ini, Jika ini terus berlanjut, saya tidak ragu untuk mengambil tindakan lebih lanjut. " ucap pemilik kantin dengan nada tinggi.

"Saya bersumpah, saya tidak melakukan apa pun yang mereka tuduhkan! Dan semua yang mereka katakan tidak benar! Saya tidak pernah mencuri apalagi sampai membully " Yoora menegaskan, suaranya bergetar namun mantap. Sang guru menatap Yoora dengan serius.

"Yoora, saya mengerti kamu sangat emosional sekarang, tetapi kita perlu menindaklanjuti semua klaim ini. Kita tidak bisa mengabaikan apa yang telah dikatakan saksi." Ujar sang guru yang berusaha menjadi penengah di atara dua orang ini .

"Saksi? Mereka hanya ingin menjatuhkan saya saem ! Saya tidak pernah mencuri. Saya bahkan tidak punya alasan untuk melakukannya." sahut Yoora, jari-jarinya menggenggam erat di atas meja.

"Perilaku buruk apapun yang telah kamu lakukan, akan ada konsekuensi kami ingin mendidik siswa kami, bukan hanya menghukum mereka. Namun, kami tidak bisa membiarkan tindakan seperti ini tanpa sanksi.," lanjut guru, menundukkan kepalanya sejenak. "

"Saem, saya mohon! Tolong dengarkan penjelasan saya!" Yoora mulai merasakan air mata mengalir di pipinya.

" Saksi nya sudah ada yoora .. saya minta maaf , tapi saya akan menghubungi keluarga mu untuk membahas ini lebih lanjut lagi " ujar sang guru yang akhirnya menutup semua penjelasan Yoora.

Mendengar kata keluarga nyali yoora yang tadinya membara untuk membuktikan pada semua orang jika dirinya memang tidak bersalah akhirnya mulai menciut begitu saja . Bayangan buruk tiba-tiba terlintas di pikiran nya . Dia berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya, jika sampai saudara nya tahu tentang hal ini . Mereka tidak mungkin mempercayai ucapan ku sekalipun aku bersumpah atas nama tuhan.

"Yoora, kami akan memberi kamu kesempatan untuk juju. ingatlah bahwa reputasimu juga keluarga mu dipertaruhkan di sini." Ujar sang guru lagi.

Yoora hanya diam, dia benar-benar bingung harus menjelaskan dengan cara apalagi pada semua orang. Sedangkan segala penjelasan nya saja tidak di percaya oleh siapapun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!