Setelah kejadian yang begitu menegangkan itu terjadi, keluarga Lee kini berkumpul di depan ruang operasi, menanti dengan cemas dokter yang akan membawa kabar baik. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti menyimpan seluruh beban ketakutan yang mereka rasakan. Jungsoo dan Taehwan tak henti-hentinya menangis, air mata terus mengalir di pipi mereka, begitu pula dengan anggota keluarga lainnya yang tenggelam dalam kesedihan mendalam.
"Ji-hyung akan baik-baik saja, kan, Yongki Hyung?" isak Jungsoo, suaranya terdengar serak dan rapuh, matanya memerah saat dia memeluk erat sang kakak. Yongki merasakan tubuh adiknya bergetar di pelukannya, namun dia berusaha kuat.
"Dia pasti baik-baik saja, kita harus percaya pada Tuhan," jawabnya dengan suara lembut, meskipun di dalam hatinya ada kekhawatiran yang sama kuatnya. Matanya menatap kosong ke arah pintu ruang operasi, berharap ada tanda-tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Seonho, yang duduk di sebelah mereka dengan wajah dipenuhi rasa frustasi, mencengkram rambutnya dengan kedua tangan.
"Ini semua salahku... Seharusnya aku lebih waspada... Bagaimana bisa kita lengah saat kita yang mengantarnya?" gumamnya, suaranya parau, penuh dengan rasa bersalah yang menyesakkan.
Namjin, meskipun dirinya juga dilanda ketakutan, meletakkan tangan di bahu Seonho, mencoba menenangkan sang kakak.
"Hyung, ini bukan salahmu. Ini kecelakaan... Jangan menyalahkan dirimu terus-menerus, kita akan cari siapa pelakunya jika semuanya sudah membaik " katanya pelan, mencoba menahan air matanya sendiri.
Waktu terasa lambat, seolah setiap menit yang berlalu menjadi beban yang semakin berat. Detik demi detik berjalan tanpa henti, membawa serta harapan dan rasa takut yang bercampur aduk di hati mereka. Suara monitor dari dalam ruang operasi terasa seperti detak jam yang menghitung kepastian yang tak kunjung datang.
Jungsoo memandang Taehwan yang ada di pelukan Namjin wajahnya pucat, dan matanya masih dipenuhi air mata.
"Tae-hyung, kau baik-baik saja?" tanya Jungsoo, meskipun dirinya juga merasa sangat hancur.
Taehwan hanya mengangguk lemah, suaranya tak sanggup keluar. Semua kata terasa sia-sia saat menunggu sesuatu yang mungkin bisa mengubah hidup mereka selamanya. Yongki memejamkan matanya sejenak, mengambil napas dalam-dalam.
"Kita harus kuat, untuk Jihwan. Dia pasti berjuang di dalam sana," ucapnya dengan nada yang lebih tegas, meskipun dalam hati, dia juga berjuang untuk menenangkan dirinya sendiri.
Seketika, suara langkah-langkah cepat terdengar di lorong. Mereka semua menoleh serentak, berharap bahwa itulah dokter yang akan membawa kabar yang selama ini mereka tunggu. Tapi yang muncul adalah Haesung, yang datang terburu-buru setelah menerima kabar bahwa adiknya mengalami tragedi mengerikan ini. Raut wajahnya menunjukkan kepanikan, matanya terlihat kosong, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi.
"Hyung..." lirih Haesung, suaranya bergetar saat dia mendekati Seonho. Tak ada yang perlu diucapkan, hanya dengan tatapan dan gelengan kepala Seonho, Haesung sudah mengerti bahwa situasi ini jauh dari baik.
Mereka semua terdiam, hati mereka dipenuhi ketakutan yang sama. Doa-doa terus terucap dalam hati, berharap Jihwan masih bisa diselamatkan, meskipun mereka tak tahu apa yang akan terjadi.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan, seolah waktu memperlambat segalanya hanya untuk memperpanjang penderitaan mereka. Jungsoo dan Taehwan, yang sedari tadi tak berhenti menangis, kini hanya bisa terdiam. Air mata mereka telah kering, dan yang tersisa hanyalah tatapan kosong, penuh dengan harap-harap cemas.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya lampu di ruang operasi mati. Suara bunyi pintu operasi yang terbuka mengisi keheningan, dan seluruh keluarga Lee langsung bangkit dari duduknya. Mata mereka terpaku pada dokter yang keluar, membawa serta kabar yang mungkin bisa mengubah segalanya.
Jungsoo menggenggam tangan Taehwan erat, tubuh mereka sama-sama bergetar. Mereka memandang ke arah dokter dengan tatapan yang penuh harapan, namun di sisi lain, ketakutan yang begitu besar juga menghantui mereka. Semua terdiam dalam keheningan, menunggu kata-kata yang akan segera diucapkan.
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan operasi, diikuti oleh seorang perawat. Raut wajah lesu dokter tersebut membuat jantung setiap anggota keluarga Lee berdegup kencang, kecemasan mereka semakin memuncak.
"Bagaimana keadaan adik saya, dok?" tanya Seonho, mencoba memberanikan diri untuk bertanya meskipun hatinya berdegup keras.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi...” Dokter itu menghela napas panjang, seolah kata-kata yang akan ia ucapkan terasa begitu berat.
Kalimatnya terhenti, membuat Yongki yang sudah kalut hanya bisa menatap Jungsoo yang masih dalam pelukannya dengan tatapan sendu.
"Tapi apa, Dok?" Haesung menyela dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
“Tapi kami tidak bisa menyelamatkan adik Anda sepenuhnya.” ucap Dokter itu sembari menundukkan kepalanya sedikit sebelum melanjutkan, ucapan tersebut. Seonho, yang awalnya berusaha tenang, kini tak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.
"Apa maksud Anda?" tanyanya dengan suara nyaris patah.
“Salah satu ginjal adik Anda mengalami kerusakan parah akibat tusukan pisau. Kami terpaksa mengangkat ginjal tersebut karena kondisinya tidak bisa diselamatkan,” jelas dokter itu.
"Jadi adik saya hanya akan hidup dengan satu ginjal?" tanya Haesung yang langsung merosot ke lantai. Dia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Jihwan nanti saat sadar.
"Saya bersyukur adik Anda segera dibawa ke rumah sakit. Jika terlambat sedikit saja, nyawanya mungkin tidak tertolong." Dokter itu mengangguk, ekspresinya tetap serius namun penuh empati.
"Apakah tidak ada cara lain untuk menyelamatkan ginjalnya? Atau setidaknya agar adik saya tidak perlu hidup dengan satu ginjalnya? " tanya Yongki, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa adiknya harus menjalani sisa hidupnya dengan satu ginjal.
“Bisa, tapi itu membutuhkan transplantasi ginjal. Anda harus menemukan pendonor yang cocok, dan prosedur itu tidak selalu berjalan mudah. Namun, hidup dengan satu ginjal yang sehat bukanlah masalah besar. Banyak orang di luar sana yang hidup normal dengan satu ginjal,” ujar dokter dengan suara tenang.
"Tidak ada cara lain? Anda pasti bisa melakukan sesuatu, Dok!" desak Seonho, suaranya dipenuhi rasa frustasi. Dokter itu menggeleng pelan, terlihat sang dokter pun tidak memiliki cara untuk menyelamatkan ginjal pasien nya .
"Tuan, sebaiknya Anda tidak perlu memaksakan hal ini. Ginjal adik Anda yang tersisa dalam kondisi baik dan berfungsi normal. Kami tidak merekomendasikan transplantasi, karena risikonya cukup besar. Operasi transplantasi bisa berbahaya jika tidak berhasil.” Tutur sang dokter yang menjelaskan segala konsekwensi yang harus di tanggung.
"Saya tidak ingin adik saya hidup dengan satu ginjal. Tolong usahakan sesuatu, Dokter. Berapa pun biayanya, kami siap membayar," kata Seonho dengan suara tegas namun terdengar berat oleh rasa putus asa yang dirasakannya.
Dokter itu terdiam sejenak, menimbang-nimbang permintaan yang berat itu. Ia menghela napas panjang, memandang satu per satu wajah anggota Lee family yang menunggu penuh harap, sebelum akhirnya kembali berbicara.
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Namun, saya tidak bisa berjanji lebih. Untuk sementara, yang bisa kita lakukan adalah berdoa agar Tuan Jihwan segera sadar. Soal transplantasi ginjal, saya akan mencoba mencari solusinya, tapi saya tegaskan sekali lagi , hidup dengan satu ginjal bukanlah akhir dari segalanya. Banyak pasien yang menjalani hidup sehat dan normal dengan satu ginjal. Namun, tentu saja dia mungkin tidak akan sekuat seperti dulu lagi. Jadi, tolong pertimbangkan dengan matang sebelum mengambil keputusan tentang transplantasi. Keputusan ini sangat besar, dan risikonya juga tidak sedikit," ujar dokter dengan suara yang tegas namun penuh perhatian.
"Saya ingin yang terbaik untuk adik saya," tambah Yongki, suaranya serak karena emosi yang ditahannya.
"Tolong lakukan yang terbaik, Dokter," Tutur haesung sambil membungkuk sebagai tanda hormat.
"Saya akan melakukan yang terbaik, Tuan," jawab dokter sambil mengangguk kecil.
"Apakah kami bisa melihat kondisinya?" tanya Haesung, suara lemah dan matanya yang memerah akibat tangis yang terus tertahan.
"Kami akan segera memindahkan Tuan Jihwan ke ruang inap. Setelah itu, kalian boleh melihatnya, tapi tidak sekaligus. Mohon bergantian agar kondisinya tidak terganggu," jawab dokter dengan tenang, mencoba menenangkan perasaan keluarga yang masih terguncang.
"Terima kasih, Dokter," ucap Seonho dengan suara yang nyaris berbisik, merasa sedikit lega mendengar kabar tersebut, meskipun kekhawatiran masih menggantung di udara.
"Sama-sama. Saya akan kembali jika ada perkembangan," jawab sang dokter sebelum akhirnya berlalu, meninggalkan Lee family di sana, di lorong yang kini terasa sedikit lebih sunyi, meskipun perasaan cemas mereka belum sepenuhnya terangkat.
....
"Kenapa Yoora? Kau terlihat gelisah sejak tadi," tanya Rea, melirik Yoora yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.
"Entahlah... Aku punya firasat buruk tentang Jihwan oppa," ujar Yoora pelan, pandangannya menerawang ke luar jendela.
"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?" Rea bertanya lagi, mencoba memahami kecemasan sahabatnya.
"Ntah, hanya perasaan tidak enak... Seolah ada sesuatu yang akan terjadi," kata Yoora sambil meremas jemarinya, cemas.
"Mungkin itu cuma perasaanmu saja. Kamu selalu seperti ini, kan, sebelum-sebelumnya juga?" Rea mencoba menenangkan, meski suara Yoora terdengar lebih serius dari biasanya.
"Tapi kali ini berbeda, Rea," Yoora menjawab sambil menggeleng pelan, matanya masih tertuju ke jalanan yang gelap. Setiap suara dari deru mobil dan suasana kota malam membuatnya semakin gelisah.
"Mungkin kamu hanya terlalu khawatir karena terlambat pulang. Harusnya tadi kamu izin pulang duluan saja. Bagaimana kalau semua oppa-mu marah lagi?" Ucap Rea mencoba mengalihkan perhatian sahabatnya.
"Mungkin kamu benar... Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mereka semua." Ucap Yoora sembari tersenyum kecil, tapi wajahnya tetap penuh dengan kecemasan.
Rea mengangguk, meski dia tahu ada sesuatu yang tak biasa. Hari ini memang tidak seperti biasanya. Yoora terlambat pulang karena tempat kerja mereka penuh dengan pelanggan. Meski bukan pekerja tetap, Yoora selalu merasa tak enak untuk meninggalkan lebih awal. Yoora menyandarkan kepalanya ke kursi, tetapi perasaannya semakin berat seiring mobil yang terus melaju.
“Sebentar lagi kita sampai,” ujar Rea sambil melihat keluar jendela, menatap jalanan yang mulai lengang di malam hari. Yoora mengangguk pelan, meskipun pikirannya masih dipenuhi kegelisahan. Dia mencoba mengalihkan suasana hatinya dengan percakapan.
“Re, sebentar lagi kamu ulang tahun. Apa yang kamu inginkan?” tanya yoora serius.
“Aku... tetaplah jadi sahabatku, kita harus bahagia bersama, selamanya aku cuma minta satu hal, Yoora. Jaga dirimu baik-baik, terutama saat aku tidak bisa selalu ada di sampingmu.” jawabnya lembut. Yoora terdiam, hatinya terenyuh mendengar ketulusan dalam suara Rea.
“Aku ingin kita sukses, bahagia, tidak peduli apapun yang terjadi. Kamu itu orang pertama yang mau menjadi temanku waktu aku tidak memiliki siapa-siapa. Sekarang, kamu sudah seperti keluarga bagiku . Jadi, janji ya, bahagia untukku. Jangan buat aku khawatir,” lanjut Rea sambil menatap Yoora penuh arti.
“Barang? Kira - kira barang apa yang kamu mau ? ” tanya Yoora, suaranya hampir berbisik. Ada haru yang terpendam dalam hatinya, teringat bagaimana sahabatnya selalu ada.
“Aku hanya ingin kamu bahagia, itu lebih dari cukup.” ucap Rea sembari menggeleng sambil tersenyum.
Tanpa berpikir panjang, Yoora memeluk Rea erat. Air matanya tumpah tanpa bisa dia tahan lagi. Isakan kecil terdengar di antara bahunya yang bergetar, tapi Rea tetap diam, membiarkan sahabatnya meluapkan segala emosi yang selama ini terpendam. Rea hanya mengusap punggung Yoora pelan, memberikan rasa tenang yang ia butuhkan di saat-saat seperti ini.
“Aku bersyukur memiliki teman seperti dirimu...” lirih Yoora, suaranya bergetar.
Rea tak berkata apa-apa, hanya mengangguk sambil terus menenangkan sahabatnya. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara pelan dari jalanan yang menemani mereka sepanjang perjalanan. Keduanya tenggelam dalam haru, hingga akhirnya taksi berhenti di depan mansion mewah keluarga Lee.
“Kita sudah sampai,” ujar sang sopir taksi, menghentikan mobil dengan halus.
( FYI: di Korea, memang ada taksi, dan disebut "택시" (tak-si) hanya Berbeda cara penyebutan dan penulisan saja )
“Terima kasih banyak, hati-hati di jalan ya kabari aku jika sudah sampai,” ucapnya sambil menatap Rea dengan pandangan penuh makna.
Setelah melangkah keluar, Yoora langsung berjalan menuju mansion mewah tersebut. Malam ini terasa begitu sunyi, meskipun jam baru menunjukkan pukul sembilan malam. Dia memasukkan beberapa angka untuk membuka smart door di mansion, menunggu suara klik yang menandakan pintu terbuka.
Pintu terbuka dan suasana hening langsung menyergapnya. Ruangan di sekelilingnya tampak kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Pandangan Yoora mengedar ke seluruh ruangan, berharap menemukan salah satu anggota keluarganya, tetapi semuanya tampak sepi.
"Tidak mungkin semua orang sudah tidur di jam segini," pikirnya.
Dengan perasaan yang campur aduk, Yoora memilih untuk masuk ke kamarnya. Dia segera membersihkan badannya, berharap bisa merasa lebih baik setelahnya. Selesai dengan rutinitasnya, dia menyadari perutnya mulai keroncongan.
Untungnya, dia selalu menyimpan stok ramen instan di dapur. Dengan cekatan, dia memasak ramen tersebut. Lima menit berlalu dengan cepat, dan akhirnya ramen yang dimasaknya sudah siap.
Dia duduk sendirian di meja pantry dapur, yang terletak di sudut ruangan. Biasanya, dia tidak pernah makan atau sekadar duduk di meja makan utama. Seluruh penjuru mansion ini dilengkapi dengan CCTV, sehingga semua pergerakannya bisa dipantau. Hal itu membuat Yoora merasa tidak bebas untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya sepele, seperti makan di meja makan.
Lagipula, dia tidak pernah mempermasalahkan di mana harus makan atau apa yang harus dimakannya. Baginya, yang terpenting adalah bisa mengisi perut agar tidak kelaparan. Dia menatap ramen di depannya dengan rasa syukur, mengambil satu suap besar dan mengingat betapa dia menikmati momen sederhana ini meskipun dalam kesendirian.
Namun, pikiran tentang keluarganya terus menghantui. Ke mana mereka semua? Mengapa malam ini terasa begitu sepi? Dengan perasaan gelisah, dia mengaduk ramen dalam mangkuknya, berharap bisa mengalihkan pikirannya dari kecemasan yang membelenggunya.
Dia membuka ponselnya dan baru sadar melihat pesan dari Seonho tadi sore.
"... Di mana kau?
... Cepat kembali ke rumah, tidak ada siapapun..
... Kelayapan saja bisanya
... Keterlaluan...”
Itulah isi pesan dari Seonho. Namun, tidak ada pesan lain setelah itu. Yoora mengira jika semua keluarganya sedang berpergian atau mungkin juga mereka pergi untuk mengantarkan Jihwan ke bandara. Begitulah tebakan Yoora, dia sama sekali tidak berpikir jika sang kakak masuk rumah sakit karena diserang orang tak dikenal. Hal seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Sejak dulu, Yoora memang tidak pernah diperkenalkan kepada siapapun sebagai anggota keluarga Lee. Ketika ada acara keluarga, urusan bisnis, atau perjalanan yang ditujukan untuk berlibur, Yoora tidak pernah ikut serta. Tugasnya hanyalah menjaga mansion tersebut hingga semua keluarganya kembali lagi.
Pikirannya melayang ke masa lalu, saat dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, waktu liburan musim panas. Semua anggota keluarganya pergi ke salah satu negara Eropa yang sangat ingin Yoora kunjungi sebelumnya. Kebetulan, kakak terakhir, Jungsoo, meminta Seonho untuk mengajaknya berlibur ke negara yang memiliki julukan "Benua Biru," yaitu Prancis. Seonho pun menyanggupinya.
Saat itu, Yoora meminta sang kakak untuk mengajaknya juga. Namun, permintaannya disambut dengan kemarahan semua saudara, termasuk Namjin, yang saat itu juga membencinya. Rasa iri Yoora terhadap kakak-kakaknya masih begitu tinggi. Dia merasa rapuh dan selalu meratapi apapun yang terjadi dalam hidupnya. Hingga akhirnya, Yoora jatuh sakit, namun semua saudara tetap pergi ke Prancis, meninggalkan Yoora yang sedang sakit sendirian di mansion tersebut.
Seiring bertambahnya usia, Yoora semakin paham bahwa dia harus menjaga jarak dari semua saudara itu. Dia berusaha menerima segala kenyataan bahwa keluarganya membencinya. Hal itu membuat Yoora sedikit lebih tenang dan tidak terlalu terpuruk seperti dahulu lagi. Siklus seperti itu terus berulang sampai saat ini.
“Pasti senang sekali jika bisa ikut berlibur bersama kalian. Tuhan, bisakah Engkau memberikanku mimpi seperti itu? Mungkin itu akan indah,” ujar Yoora sembari tersenyum tipis, membayangkan betapa menyenangkannya jika dia bisa menghabiskan waktu bersama semua saudara itu.
Keterasingan yang dia rasakan semakin menumpuk. Meski dia menyimpan harapan untuk suatu hari bisa diterima dalam keluarga, kenyataan pahit yang selalu menghantuinya membuatnya merasa seolah tak memiliki tempat di dunia ini. Dengan perasaan yang campur aduk, dia menatap ramen yang sudah dingin di hadapannya, merindukan momen-momen sederhana yang seharusnya bisa dia nikmati bersama keluarganya.
“Drttttt.... Drttttt.... Drttttt...”
Dering telepon menandakan adanya panggilan masuk ke ponsel yang ada di samping Yoora. Dia melihat nama yang tertera di sana dan ternyata itu adalah panggilan dari Seonho. Dengan cepat, dia langsung mengangkatnya.
“Di mana kau?!” bentak Seonho dari seberang telepon, membuat Yoora sedikit menjauhkan telepon tersebut dari telinganya.
“Aku di rumah, oppa,” jawab Yoora pelan.
“Kelayapan saja bisanya! Apa kau tidak mau sedikit berguna jadi manusia, huh?” nada bicara Seonho terdengar begitu kesal.
“Aku ada tugas sekolah, oppa. Aku minta maaf karena terlambat pulang,” ujar Yoora, berusaha menjelaskan.
“Alasanmu saja! Sekarang cepat datang ke rumah sakit dan bawakan beberapa pakaian milik Jihwan!” perintah Seonho dengan nada mendesak.
“Siapa yang sakit, oppa?” tanya Yoora, jantungnya berdegup kencang saat mendengar nama Jihwan disebut.
“Itu lah yang membuatku semakin membencimu! Kau tidak pernah tahu apapun yang terjadi pada keluargamu sendiri. Jihwan terluka pun kau tidak tahu!” ujar Seonho dengan nada yang semakin meninggi.
Yoora hanya diam tanpa mengatakan apapun. Dia tahu jika dirinya tidak bisa membela diri di hadapan Seonho. Sebab itu, dia memilih diam dan menerima apapun yang sang kakak ucapkan.
“Cepat datang, aku tunggu seongguk hospital” perintah Seonho lagi.
“Hanya itu, oppa?” tanya Yoora memastikan permintaan Seonho hanya itu.
“Ya,” jawabnya, dan telepon pun terputus dari sebelah pihak.
Setelah mendengar perintah sang kakak, Yoora langsung membereskan sisa makanan yang tidak tersentuh, bergegas mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih rapi.
Setelah itu, dia berlari ke lantai atas untuk masuk ke kamar Jihwan. Pintu kamar yang biasanya tertutup rapat itu kini sedikit terbuka, dan Yoora dengan cepat mengambil beberapa pakaian yang terasa tepat untuk Jihwan sebuah kaos dan celana pendek favoritnya. Tanpa menghabiskan banyak waktu, Yoora langsung pergi ke rumah sakit yang telah disebutkan oleh Seonho.
••••
Saat berjalan keluar dari mansion, pikiran Yoora dipenuhi dengan kekhawatiran. Jihwan, kakaknya yang selama ini selalu dia hindari, terluka? Kecemasan yang menyelimuti hatinya tidak bisa diabaikan. Dalam perjalanan ke rumah sakit, dia berusaha menenangkan pikirannya, berharap Jihwan tidak terluka parah.
Di dalam mobil, pikirannya terus melayang ke Jihwan. “Apa yang terjadi padanya? Semoga dia baik-baik saja,” batinnya. Rasa khawatir semakin mendesak saat pikirannya membayangkan wajah kakaknya yang penuh luka. Dia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada jihwan.
Setibanya di Seongguk Hospital, dia segera turun dari mobil sebelum berlari ke pintu masuk. Begitu melangkah masuk, suasana rumah sakit yang steril dan dingin menyambutnya. Dia bergegas ke meja resepsionis dan menanyakan keberadaan Jihwan.
"Permisi, saya mencari Tuan Jihwan Lee. Di mana saya bisa menemukannya?" tanya Yoora, suara sedikit bergetar karena cemas.
" Sebentar saya cek dulu " ujar sang resepsionis.
“Silakan ke lantai dua, ruang rawat inap VIP 201,” lanjut nya resepsionis sambil menunjuk arah.
Dengan semangat dan rasa khawatir yang meluap, Yoora berlari menuju lift. Di dalam perjalanan, dia teringat betapa selama ini Jihwan selalu melindunginya, meski dia jarang berinteraksi dengan saudara-saudaranya.
“Semoga aku tidak terlambat,” harapnya dalam hati.
.....
"Hyung..." lirih Jihwan yang sudah terbangun dari pengaruh obat biusnya. Semua orang yang sedari tadi menunggu dengan khawatir di dalam ruangan tersebut akhirnya menoleh serentak ke arah sumber suara.
"Jangan banyak bergerak," ujar Seonho, melihat sang adik berusaha bangun.
"Aku kenapa?" lirih Jihwan, sebelum kembali terlelap.
"Kamu tidak apa-apa, hanya mengalami kecelakaan kecil," jawab Seonho, memutuskan untuk tidak memberikan rincian apapun pada Jihwan.
"Ji-hyung..." lirih Jungsoo, langsung memeluk sang kakak yang sedari tadi dia tangisi.
"Kenapa menangis? Aku tidak apa-apa, So-ah," tutur Jihwan sambil tersenyum tipis, berusaha menenangkan adiknya.
"Jangan tinggalkan aku lagi. Aku janji akan menurut padamu setelah ini," tutur Jungsoo dengan nada yang masih lirih, matanya berbinar penuh harap.
"Serius?" tanya Jihwan, mengoda sang adik dengan senyuman lebar.
Jungsoo mengangguk mengiyakan ucapan sang kakak, sementara Taehwan yang sedari tadi masih menangis akhirnya berjalan mendekati sang kakak yang usianya tidak begitu jauh dari dirinya.
"Hyung..." tutur Taehwan ragu-ragu, suaranya hampir tak terdengar.
"Nee," jawab Jihwan sambil melirik ke arah adik pertamanya itu.
"Aku minta maaf. Jangan seperti itu lagi," ujarnya, akhirnya mengeluarkan isi hatinya.
Jihwan terkekeh mendengar penuturan kedua adiknya, merasa heran mengapa adik-adiknya bisa berubah seperti ini. Pikiran Jihwan berusaha mengingat kejadian di bandara, namun ia hampir tidak ingat banyak hanya sepotong memori saat ada seseorang yang menusuknya, dan kemudian semuanya gelap.
"Hyung... siapa orang yang melakukan itu padaku?" tanya Jihwan penasaran, wajahnya dipenuhi keraguan.
"Hyung belum tahu. Kamu tidak perlu pikirkan hal itu, semuanya sudah diurus oleh polisi," tutur Seonho, berusaha menenangkan adiknya.
"Baiklah... Hae Hyung, Namjin Hyung, kenapa diam di situ? Tidak ingin memelukku juga?" tanya Jihwan, kembali mengoda dua kakaknya.
Keduanya tersenyum dan memeluk Jihwan sekilas, suasana di ruangan tersebut terasa lebih hangat. Semua orang akhirnya bisa bernapas sedikit lega saat melihat Jihwan terlihat baik-baik saja, meski sebenarnya Jihwan belum tahu bahwa dirinya kini hanya memiliki satu ginjal. Semua itu terpaksa disembunyikan dari Jihwan, karena mereka takut adiknya akan syok dan tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Mereka akan berusaha mencari orang yang mau mendonorkan ginjalnya untuk Jihwan, agar ia bisa kembali hidup dengan dua ginjal.
Saat semua orang asyik bercanda gurau bersama Jihwan, terdengar pintu ruangan tersebut diketuk, yang membuat semua orang mengarahkan atensinya pada suara itu.
"Siapa yang mengetuk? Tidak mungkin dokter, kan?" tanya Yongki, terlihat kebingungan dan sedikit gelisah.
"Masuk," jawab Seonho, suaranya terdengar tegas seakan sudah tahu siapa yang akan muncul.
Pintu terbuka, memperlihatkan wajah Yoora yang langsung melangkah masuk dengan langkah ragu-ragu. Kecanggungan jelas tergambar di wajahnya, dia merasa asing di antara tujuh pria yang sebenernya adalah keluarga nya sendiri.
"Oppa, ini barang yang kamu minta," ujar Yoora sambil menyerahkan sebuah paper bag kepada Seonho, suaranya pelan seakan takut tak berani menatap siapa pun yang ada di sana .
"Ikut aku," kata Seonho, menarik tangan Yoora dengan kasar , meninggalkan semua orang di ruangan itu dengan rasa penasaran nya masing-masing.
Semua orang saling memandang. Jihwan, Taehwan, dan Jungsoo mengerutkan kening, tidak bisa menyembunyikan rasa tidak suka mereka. Haesung dan Yongki saling berpandangan, memberikan tatapan aneh, sementara Namjin terlihat khawatir, hatinya bergejolak melihat adiknya yang tertekan.
"Siapa yang menyuruhnya ke sini?" tanya Haesung, suaranya mengandung skeptisisme.
"Bukan aku, pokoknya," jawab Yongki, nada suaranya terdengar dingin.
"Apalagi kami," sambut Jihwan, Taehwan, dan Jungsoo dengan serempak, mengekspresikan kebencian mereka.
Semua mata beralih ke Namjin, yang sedari tadi hanya diam, menahan amarah dan frustrasi. Kecurigaan menggelayuti ruangan tampaknya hanya Namjin yang masih peduli pada Yoora.
"Bukan aku, Hyung..." Ujar Namjin, menanggapi tatapan tajam dari kedua kakaknya dengan nada tenang, tetapi hatinya terasa berat.
"Lalu siapa yang memberitahunya, Seon Hyung?" tanya Haesung, semakin mendesak.
Namjin menggelengkan kepala, merasakan ketegangan di antara mereka. Dia kecewa melihat sikap semua saudaranya yang begitu membenci kehadiran Yoora.
"Ayolah... Dia hanya datang untuk mengantarkan barang, kan? Kenapa kalian harus bersikap seperti ini padanya? Dia tidak melakukan apa-apa. Reaksi kalian sangat berlebihan," ujar Namjin, suaranya lembut namun penuh ketegasan, berharap bisa membela Yoora.
"Aku tidak suka melihatnya," ujar Jihwan, suara dinginnya membuat Namjin melirik ke arah sang adik dengan rasa prihatin.
"Aku lebih tidak suka," sambut Jungsoo, menatap Namjin dengan tatapan kesal, seolah pernyataannya adalah sebuah pelanggaran.
"Aku minta maaf," ujar Namjin akhirnya, merasa tak berdaya. Dia melangkah keluar, meninggalkan semua saudaranya yang masih terjebak dalam kebencian mereka.
....
Di tempat lain, di taman belakang rumah sakit, Seonho mengajak Yoora ke lokasi yang sepi. Pria itu duduk dengan sikap arogan di kursi taman, sementara Yoora berdiri di depannya, menunduk, berusaha menghindari tatapan tajamnya. Banyak pertanyaan berputar dalam benaknya, menciptakan ketegangan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Aku akan bicara pada intinya," ujar Seonho dengan nada tegas, membuat Yoora merasa semakin cemas.
"Iya," jawabnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Dia menunggu penjelasan dari Seonho, hatinya berdebar-debar. Kali ini, apa lagi yang akan membuat sang kakak marah padanya?
Yoora sudah bersiap-siap menghadapi amukan Seonho, merasakan ketidakpastian menggelayuti pikirannya. Rasa takut dan bersalah bercampur aduk, membuatnya merasa seolah terjebak dalam suasana yang tak nyaman. Dia menahan napas, menanti setiap kata yang akan diucapkan oleh Seonho, berharap kali ini dia bisa mendengar sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Nunu Izshmahary ula
pengen punya sahabat macam rea , wah ... senengnya kalau punya temen kaya gitu ya , di saat dunia membenci kita habis - habisan ada satu tempat yang bisa kita jadikan tempat pulang untuk bersandar, susah banget nyari temen yang kaya gini di dunia nyata . kebanyakan orang cuma bermuka dua dan datang kalau lagi ada butuh nya aja🥺
2025-01-30
1