Sean terdiam, masih belum menyangka Nanda malah menangis. Tak terlintas sedikitpun bahwa reaksi Nanda akan seperti ini. Ia pikir, gadis itu akan membalasnya dengan ucapan atau tindakan seperti yang sudah-sudah. Lima puluh ribu misalnya. Tapi, gadis itu malah menatapnya tajam penuh amarah disertai lelehan air mata.
"Apa aku sudah terlalu keras padanya?" gumam pria itu dalam hati. "Nggak mungkin! Terus, kenapa dia nangis?"
Walau hatinya merasa aneh, tetapi Sean tetap bersikap semenyebalkan biasanya.
"Cengeng!" Sean mendorong jidat Nanda dengan telunjuknya."Gini doang nangis! Harusnya, aku yang nangis. Dari siang! Dari siang aku puasa nggak makan! Semua gara-gara kamu!"
Nanda memukul kasar tangan Sean yang mengarah padanya.
"Hari ini aku sangat sial sekali. Sial karena menunggu seseorang datang demi makan siangnya, aku sampai terlambat. Bekerja lebih berat sebagai kensequensinya." Nanda mengusap kasar pipi yang basah. "Masih juga mendapat makian dari orang lain. Kau tau, andai saja aku tidak terlambat, aku tak akan mendapat perlakukan seperti ini. Tidak akan menjadi tikus got yang bau!"
Nanda menarik napasnya dalam, meluapkan semua sesak di dadanya. "Dan semua ini karena mu!" teriaknya pada Sean penuh kebencian. "Aku benci padamu!"
Nanda berjalan dengan langkah lebar ke kamar, menutup pintu dengan kasar dan menguncinya.
Sementara Sean masih terdiam dengan segala kekagetan.
"Apa-apaan dia ini?" omel lelaki berkaus putih itu bertolak pinggang. Berjalan cepat menyusul dan menggedor pintu kamar Nanda
"Malika! Buka pintunya, aku belum selesai bicara! Buka!"
Pintu itu tak bergeming, bahkan tak ada sahutan sama sekali.
"Malika! Cepat keluar!"
"Malika!"
Sean mengacak rambutnya sendiri menahan rasa kesal di dada.
"Harusnya aku yang marah, kenapa malah dia yang marah?" Gerutunya melirik ke arah pintu kamar Nanda.
"Apa dia pikir dengan mengunci pintu aku tak bisa masuk? Aku punya kunci cadangannya!" gerutunya semakin kesal. Berlalu ke kamarnya, mengambil kunci cadangan kamar Nanda.
Tersenyum miring, memegang kunci dan mendekatkan ke lobang. Tertahan, bayangan wajah Nanda yang menangis dengan mata memerah penuh benci itu menyapa. Meruntuhkan egonya seketika.
"Sialan!" umpat Sean membuang kunci di tangan sembarang. Lalu berjalan dengan langkah lebar ke kamarnya.
Malam semakin larut, Sean sama sekali tak bisa tidur. Berguling kesana kemari, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Namun, mata itu setia terjaga.
"Haahh, sialan!" umpatnya duduk terbangun menyibak selimut dengan kesal.
Lagi-lagi tatapan penuh benci itu menyapanya, disertai bulir bening yang keluar dari sana.
"Bekerja lebih berat? Tikus got?"
Sean tersenyum kesal karena merasa terganggu dengan ucapan Nanda. Bangkit dan duduk di meja kerja yang memang ia simpan di kamarnya.
Diam. Hingga berjam-jam lamanya. Entah apa yang Sean pikirkan, tetapi itu sangat mengganggu tidurnya. Otaknya mulai bekerja, jari jemarinya menekan keyboard laptop dihadapan.
Hingga menjelang pagi, Sean menguap keluar dari kamarnya. Melihat ke arah kamar Nanda, pintu itu masih setia menutup tak bergeming. Berjalan ke dapur.
Kosong.
Mengambil gelas dan mengisi air di dispenser. Meminumnya hingga tandas. Langkahnya tertahan di depan pintu kamar, tangannya mengambang di atas handel. Menoleh lagi ke arah pintu kamar Nanda. Helaan nafas terdengar, lalu masuk tanpa tindakan apapun.
Pagi ini, Sean kembali mengunjungi dapur dengan pakaian yang sudah sangat rapi. Tempat itu masih kosong, tak ada tanda-tanda pernah dijamah sejak terakhir ia kunjungi semalam.
"Tak ada sarapan lagi pagi ini, baiklah." Lelaki itu bergumam dengan langkah keluar.
.
.
"Apa?"
Nanda terperangah begitu ia menginjakkan kaki di tempat kerjanya. Eni menginformasikan jika dua wanita yang kemarin menyiramnya dengan air pel mendapat surat peringatan.
"Mereka mendapat SP?"
Eni mengangguk puas.
"Kamu lapor?"
"Enggaklah," elak Eni dengan gelengan mantap.
"Terus? Kenapa mereka bisa dapat SP?"
"Pas kejadian, ada salah satu karyawan lagi berak di toilet. Dia tau seluruh kejadiannya. Lalu melapor ke HRD, jadilah dua wanita sundal itu di SP. Sebenarnya, mau di SP 3."
Nanda masih tak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Kenapa baru kemarin sudah ada tindakan, padahal ia ingin melupakan begitu saja dan menjaga jarak dari Irham.
"Nanti kamu pasti dipanggil HRD. Jadi, nasip mereka tergantung kamu. Kalau kamu mau SP 3, mereka langsung keluar. Tapi, kalau kamu berbaik hati, paling cuma SP 2. Itu yang aku dengar. Tadi geger banget loh," ucap Eni tampak senang sekali.
Nanda masih merasa aneh dan tak percaya. Ia sampai terduduk lemas di pantri. Pikirannya semrawut kenapa bisa ada kebetulan seperti itu. Tiba-tiba Irham muncul dengan wajah cemas.
"Nanda!"
Lelaki itu mendekat, memegang kedua lengan wanita berjilbab biru yang mendongak menatapnya.
"Aku wasap kamu tadi, kenapa nggak dibalas? Aku cemas banget. Aku dengar ada yang berbuat tidak menyenangkan padamu."
Nanda tersenyum kecut, walau bagaimanapun, kedua wanita itu bersikap seperti itu karena berpikir ia sudah menggoda Irham. Walau sebenarnya tidak. Mereka dekat karena Kanaya, keponakan Irham yang ikut les renang padanya.
"Nggak papa Mas," ucap Nanda melepaskan tangan Irham dari lengannya."Jangan seperti ini, nanti pada salah paham."
"Salah paham gimana? Aku mencemaskan mu, tau. Kenapa kamu nggak bilang sama Mas? Kalau Ismi dan Dian yang melakukan itu. Sudah pasti aku akan negur mereka!"
Nanda menggeleng, "Aku nggak ingin ribut."
"Nanda..." Irham membasahi bibirnya menahan rasa kesal tapi juga kasihan pada gadis dihadapannya ini.
"Sudah Mas, jangan diperpanjang lagi. Mereka juga udah dapat SP."
"Nanda!" Leader CS memanggil dari pintu pantri. "Ayo ikut ke HRD."
"Baik, pak," angguk Nanda berdiri. Lalu menatap Irham,"Duluan ya, Mas."
Nanda pergi, tinggallah Irham dengan menyimpan rasa bersalah di dada. Ismi dan Diah adalah teman yang cukup dekat dengannya. Tak pernah terpikirkan apa masalah mereka sampai hati berbuat sejahat itu pada Nanda. Hingga kini masih belum bertemu keduanya, yang ia cemaskan hanyalah Nanda.
Di HRD
"Jadi begini, mbak Nanda." Kepala bagian HRD membuka suara. Di dalam ruangan itu hanya ada dirinya, terduga pelaku, Nanda dan leadernya sebagai pendamping.
"Ada yang membuat laporan atas tindakan kurang menyenangkan mereka berdua padamu di toilet tempo hari."
Nanda mengangkat wajahnya menatap yang berbicara.
"Demi kenyamanan yang bersangkutan tak mau di publis siapa. Jadi, hanya saya dan beberapa tim HRD yang tau. Kebetulan dia sedang ada di toilet waktu kejadian, dan pagi ini membuat laporan. Kami buka CCTV yang menyorot lorong area wastafel."
Pak kepala bagian memberi penjelasan, Nanda mendengarkan.
"Dan mereka ini sudah mengakui kesalahannya," sambung lelaki berkepala prontos itu menunjuk Ismi dan Dian.
"Sebagai tindakan disiplin dan attitude. Kami akan memberi mereka sangksi."
"Nanda." Leader bagian CS menyela membuat Nanda mengarah padanya,"Untung saja kemarin kamu diam dan tak membalas, jadi hanya mereka yang diproses dan kamu lepas dari SP."
"Iya, benar. Karena itu, kalian berdua. Katakan pembelaan kalian, yang perlu kalian ingat. Pelapor mendengar dan melihat semua yang kalian lakukan." Pak kepala HRD memberi tekanan pada kedua pelaku hingga mereka menunduk sesal.
"Ma-maaf. Maafkan kami, kami sangat menyesal dan ini tak akan terjadi lagi. Kami juga tidak akan mengatakan hal-hal buruk diluar. Tolong maafkan kami," ucap wanita berambut panjang bernama ismi itu. Menciut seketika dihadapan HRD, sangat berbeda dengan sikapnya saat melakukan hal keji itu pada Nanda kemarin.
"Bagaimana Nanda?" Kali ini pak kepala HRD mengarah pada Nanda.
Gadis berjilbab biru itu meneguk ludahnya. Walau ia masih sangat tidak baik-baik saja, ia ingin melupakan semuanya.
"Saya terima permintaan maafnya."
"Jadi, mau SP dua atau tetap SP tiga?"
Nanda mengangkat kepalanya memandang pak kepala HRD.
"Ke-kenapa saya...?"
"Kamu korbannya, kamu yang tentukan. SP tiga atau SP dua?"
Nanda berganti memandang kedua wanita yang kini berwajah memelas itu. Lalu beralih pada leader yang duduk di sampingnya. Lelaki itu hanya mengangkat tangannya, isyarat memasrahkan semua pada Nanda.
"Apa yang paling ringan SP dua pak?" Nanda memastikan menatap ragu pada kepala HRD.
"Hanya dua pilihan itu, Nanda. Dua apa tiga?"
Nanda sangat tau, SP dua sama menakutkannya dengan di pecat karena satu lagi membuat kesalahan, maka langsung ditendang. Ia tak ingin menjadi penyebab orang lain kehilangan pekerjaannya dimasa sulit seperti ini. Tetapi, apa yang sudah dua orang itu lakukan padanya pun sudah keterlaluan. Namun, apakah setimpal dengan surat peringatan?
"SP dua, pak."
Pria berkepala prontos itu mengangguk. Menatap kedua tersangka.
"Bagaimana?"
"Kami terima, pak." Ismi dan Dian mengangguk cepat dengan wajah lega. Setidaknya ancaman mereka dikeluarkan pupus.
Pak kepala memberi isyarat untuk berterima kasih pada Nanda.
"Terima kasih Nanda, kami janji itu tak akan terjadi lagi."
Nanda mengangguk, "Jangan ulangi lagi, entah pada siapapun itu. Jadikan ini pelajaran."
Kedua wanita yang angkuh kemarin, kini mengangguk patuh pada gadis yang pernah direndahkan.
"Kami berjanji, terima kasih banyak."
Kejadian ini berakhir dengan damai, bersalaman dan tanda tangan. Untuk surat peringatan dan tidak akan mengulangi lagi tentunya. Walau masih menyimpan banyak tanya di hati Nanda.
*
Beberapa jam sebelumnya,
Sean duduk menunggu di dalam kendaraannya. Seorang wanita seusia Nanda tiba-tiba masuk dan duduk di sampingnya. Menunduk dengan sungkan. Wanita itu dibawa oleh orang suruhan Sean.
"Tugasmu hanyalah melaporkan apa yang kamu saksikan di toilet."
Wanita itu kaget, meneguk ludahnya melihat siapa yang kini berbicara dengannya. Seorang CEO perusahaan memberinya arahan langsung, bahkan duduk di satu mobil dengannya.
"Mak-maksud, pak Sean?"
Tanpa mengucapkan kata-kata, Sean menyodorinya setumpuk kertas dalam file. Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Matanya membelalak, tak hanya tumpukan kertas ada sebendel uang merah di sana.
"Apa kamu mengerti apa yang harus kamu lakukan sekarang?"
"Saya mengerti," angguknya.
Setelahnya, wanita itu membuat laporan ke HRD. Sean bahkan menemui kepala bagiannya langsung, untuk mastikan kedua wanita yang sudah mengintimidasi istrinya mendapatkan balasan setimpal. Bagaimana Sean bisa mendapatkan informasi itu? Tentu saja mudah bagi lelaki yang memiliki latar belakang IT untuk menelusurinya.
"Aku tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi."
"Ba-baik. Maaf, pak Sean. Bahkan berita memalukan ini sampai terdengar telinga pak Sean." Pak kepala bagian HRD membungkuk hormat padanya.
"Tentu saja, tidak ada yang luput dari ku secuil pun di perusahaan ini. Ingat itu. Jangan kau pikir lantas ini berlalu begitu saja!" ujar Sean melangkah keluar dari ruangan kepala bagian HRD.
"Baik, pak. Akan kami bereskan!"
Pak kepala bagian mengusap kepalanya yang botak itu dengan sapu tangan. Terlalu banyak keringat yang keluar menghadapi bosnya yang satu ini.
"Sepeprtinya, ini masalah serius, pak Sean sampai turun tangan sendiri."
Hingga hari ini berlalu, keputusan SP dua yang didapat oleh dua orang produksi itu sampai ke telinga Sean.
"Apa? Hanya SP dua?"
Tatapan tajam yang terarah membuat sekertaris Sean tersentak dan sedikit menudurkan langkah kakinya ketika menghadap di ruangan pria itu.
"I-iya, pak. Itu yang saya dengar."
Brak!
Sekertaris Sean tersentak kaget.
Tangan lelaki bertubuh kekar itu mengepal kuat diatas meja, tatapan matanya pun semakin tajam.
"Tenang Sean! Kenapa kamu jadi kesal begini? Jangan terlalu jauh ikut campur, nanti pada curiga," batinnya masih membuat sang sekertaris cemas akan nasipnya."Lagi pula, kenapa kamu harus berbuat sejauh ini untuk Malika? Memangnya siapa dia?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Ummi Yatusholiha
sebaiknya nanda suruh berhenti kerja aja,kan udah bnyk terima uang dari sean..
2025-03-24
1