bab 11

Sean duduk bersandar pada penyangga sudut pendopo, pandangannya terarah ke tengah, tempat anak-anak melanjutkan mengaji yang sempat tertunda. Ia melirik arlojinya—sudah lewat pukul delapan malam.

"Om itu siapa, Kak?"

Sean mengalihkan perhatian ke arah suara bocah yang tadi menyergapnya. Anak itu bertanya pada Nanda sebelum mulai mengaji Iqro.

"Dia pacar Kak Nanda, ya?"

"Bukan," jawab Nanda lirih, suaranya lembut. Namun, jawaban itu justru membuat Sean mendengus kecil, entah kenapa hatinya terasa tercubit.

"Jadi siapa?" Bocah laki-laki itu terus bertanya.

"Sudah, ayo mulai." Nanda menunjuk buku Iqro yang sudah terbuka dengan dagunya.

Bocah itu menoleh ke arah Sean yang duduk di belakang.

"Ayo, apa ini?"

Anak itu mulai membaca Iqro-nya. Sesekali ia salah melafalkan, dan Nanda dengan sabar membetulkan.

"Om..."

Sean tidak menyahuti bocah yang sedari tadi terus bertanya.

"Om pacarnya Kak Nanda, ya?"

"Kenapa nanya?"

"Om kenapa ke sini?"

"Lihat-lihat aja."

"Apa yang Om lihat?" Bocah itu terus mengejar, membuat Sean semakin jengkel.

Bocah itu menoleh ke arah Nanda yang masih mengajari santri lain, lalu kembali menatap Sean.

"Om lihat Kak Nanda."

"Enggak!"

"Kak Nanda!" seru bocah itu, duduk miring di depan Sean. Yang dipanggil langsung menoleh.

"Dilihatin Om ini!" sambungnya, membuat Sean langsung meradang.

"Dasar bocah! Main fitnah saja!" geram Sean, lalu merangkul leher bocah itu seolah mencekiknya dengan lengannya.

"Aaakkk! Tolong!"

Karena aksi itu, anak-anak lain malah menyerang Sean, entah bagaimana, suasana menjadi riuh, dan Sean pun akhirnya membaur bersama anak-anak panti.

"Anak-anak, sudah malam! Ayo tidur!"

Salah satu pengasuh membunyikan kentongan di sisi pendopo, memukulnya beberapa kali dengan tongkat.

"Ayo! Sudah mainnya, masuk kamar semua!"

Nanda, yang baru saja selesai membereskan perlengkapan mengaji, berdiri di samping pengasuh. Satu per satu, anak-anak yang tadi bermain dengan Sean mulai berbaris, menyalami dan mencium tangan para pengasuh sebelum berjalan ke kamar masing-masing.

"Ingat ya, langsung tidur! Besok harus bangun sebelum subuh."

"Siap, Bu Diah!"

"Rizki!"

Nanda memanggil bocah yang tadi paling banyak bertanya pada Sean. Bocah itu masih saja bermain dengan Sean.

"Rizki!" panggil Nanda lagi.

Bocah itu berlari cepat, menyalami para pengasuh, lalu menoleh ke Sean.

"Om, besok ajari lagi, ya?"

Sean hanya mengangkat jempolnya.

"Kenapa Kemari?"

"Aku lapar, belum makan."

Nanda tertegun. Sean bukan bocah yang harus disediakan makanan setiap saat. Ia bisa saja pergi ke warung atau memesan makanan secara online.

"Ehem. Kenapa nggak pulang? Di kantor juga nggak ada. Kamu nggak kerja?"

"Aku pulang. Aku juga kerja."

"Apa? Tapi aku tidak melihatmu tiga hari ini!"

Sean terdiam. Tatapan Nanda seolah tengah mencari sesuatu, membuatnya salah tingkah.

"Ee... maksudku, aku tidak melihatmu di gudang atau di lorong. Biasanya kau masih terlihat di area kerjamu."

Sean menggaruk belakang kepalanya. Hampir saja ketahuan bahwa ia sengaja melewati gudang dan area kerja Nanda hanya untuk memastikan gadis itu ada.

"Oh, itu... Aku dipindahkan sementara ke area lain."

Hening.

"Pulanglah."

Nanda menatap Sean.

"Bahan makanan di kulkas hampir membusuk."

"Di kulkas tak mungkin membusuk, ini juga baru tiga hari."

"Dapurnya juga berdebu."

Nanda terkekeh, menggeleng pelan.

"Apa yang lucu?"

"Rumah dan dapur tak mungkin berdebu. Bukankah kamu sudah menyewa orang?"

Sean menghela napas kesal.

"Pokoknya, dapur berdebu karena tak ada yang memasak di sana. Sayur di kulkas juga mulai layu."

Nanda hanya tersenyum. Sean membuang wajah ke samping, ada yang berdesir di dadanya melihat senyum gadis itu.

"Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba ke panti dan tinggal di sini?"

"Salah satu pengasuh di sini meninggal, jadi aku menggantikan sementara sampai ada yang baru."

"Jadi, kamu akan tinggal di sini sampai mereka dapat pengganti?"

Nanda mengangguk.

Sean menyipitkan mata. "Itu berarti kamu akan pulang setelah ada penggantinya?"

Nanda mengangguk lagi.

"Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu."

Sean memasang kacamata hitamnya.

"Apa kepala panti ada? Aku ingin bicara dengannya sebentar."

Ring! Ring! Ring!

Gawai Nanda berbunyi nyaring. Ia menghentikan aktivitas mengepelnya.

"Assalamualaikum," sapanya lembut.

"Wa'alaikumussalam, Nanda. Ini Bu Zara."

"Iya, Bu. Nanda sedang bekerja sekarang."

"Iya, Nak, Ibu cuma mau bilang, pengasuh baru sudah datang. Jadi, kamu nggak perlu datang ke panti lagi."

"Benarkah? Alhamdulillah kalau begitu. Nanda nanti pulang kerja ke panti untuk mengambil baju."

"Baiklah. Terima kasih sudah membantu Ibu selama ini."

"Sama-sama, Bu. Jangan sungkan begitu."

Setelah mengakhiri panggilan, Nanda merasa aneh. Kenapa tiba-tiba ada pengasuh baru? Tapi ia tak ambil pusing dan melanjutkan pekerjaannya.

Sementara itu, di ruangan Sean...

"Pastikan dia bekerja dengan baik dan tidak menyusahkan," perintah Sean lewat telepon. "Masalah bonus, aku yang akan membayarnya nanti. Terima kasih."

Sean meletakkan ponselnya dan kembali fokus pada tumpukan berkasnya.

Sore itu, ia pulang dengan hati ringan. Saat memasuki rumah, langkahnya otomatis menuju dapur.

Di sana, ia melihat Nanda tengah memasak. Gadis itu, dengan jilbab bergo coklat dan setelan kaus serta celana training, terlonjak kaget saat berbalik dan mendapati Sean sudah berdiri di ambang pintu.

"Kau membuatku kaget saja, Kak," omelnya.

Sean nyengir. "Kenapa kaget? Apa kamu pikir aku ini hantu?"

"Iya! Syaiton nirrojim!"

Sean mendelik. Nanda tersenyum kaku.

"Mandilah. Sebentar lagi matang."

Sean merasa gemas. Ia ingin menjitak Nanda, tapi menahan diri. Tanpa Nanda, rumah ini terasa sepi.

Setelah mandi, Sean duduk di meja makan. Rambutnya masih basah, dan...

"Astaghfirullah!"

Nanda terlonjak kaget.

Sean hanya mengenakan handuk.

"Kak Sean! Pakai baju dulu!"

"Kenapa?"

"Makan ya pakai baju! Telanjang begitu bikin nggak nyaman!"

Sean terkekeh. "Kenapa? Kau tergoda?"

Nanda malah bergidig, dan itu sukses membuat Sean tersinggung.

"Appa maksudnya itu?" Dengan mata yang sedikit mendelik.

"Tidak ada. Sudah makan saja," Sahut Nanda dengan cepat mengisi piring dengan nasi, oseng buncis jamur kancing dan ikan. Membaginya pada Sean. Lalu ia mengambil untuk dirinya sendiri.

Sean tersenyum, nafsu makannya meningkat hanya dengan menu sederhana itu. Rasa makanan olahan Nanda memang tak ada tandingannya. Sangat cocok dengan lidah dan perasaanya.

"Mau kemana?" tanyanya setengah memprotes melihat Nanda membawa piring serta gelasnya.

"Mau makan di kamar!" ucap Nanda lirih sambil bergidig melirik Sean.

Hal yang semakin membuat lelaki bertubuh kekar itu dongkol.

"Pulang-pulang malah bikin dongkol saja! Sebaiknya kau tak usah pulang!"

Terpopuler

Comments

Ummi Yatusholiha

Ummi Yatusholiha

lah siapa suruh cari masalah sama nanda,dongkol sendiri kan 🤭🤭

2025-03-24

0

Uthie

Uthie

sukurin 😂😂

2025-03-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!