bab 6

"Sudah waktunya makan siang. Kita tunda meeting dulu, ya," ujar Sean sambil melirik arlojinya.

"Baik, Pak Sean," jawab peserta meeting serempak.

Pertemuan berjalan cukup alot, tetapi tetap dalam suasana santai. Begitu Sean berdiri, peserta lain ikut bangkit dari kursinya.

"Kak, makan bareng?" tawar Arsen, salah satu vendor yang ikut dalam meeting.

"Boleh," sahut Sean.

Ia sudah cukup mengenal Arsen. Lelaki itu adalah teman sekolah April dan Nanda—baik saat Arsen berusaha mendekati April maupun ketika mereka bekerja sama dalam bisnis.

"Mau makan di mana?"

Arsen menoleh ke sekretarisnya. "Kamu mau makan di mana?"

"Terserah Pak Arsen saja."

"Kak Sean ada rekomendasi?"

"Di dekat sini ada Warung Deso. Makanannya enak, biasanya aku juga makan di sana," jawab Sean santai.

Arsen melirik peserta lain, bertanya, "Bagaimana kalau kita ke sana?"

"Kami makan di kantin saja, Pak. Bapak silakan lanjut makan di resto yang diinginkan," tolak beberapa peserta dengan sopan. Mereka tahu Warung Deso cukup mahal untuk ukuran kantong mereka.

Arsen tertawa kecil. "Kalau begitu, kita ke kantin saja, Kak. Sekali-sekali coba makan di sana, siapa tahu ada menu yang bikin jatuh cinta."

Sean ikut tertawa. "Hahaha, oke."

Sebenarnya, ia belum pernah makan di kantin. Namun, tidak ada salahnya mencoba. Mereka berjalan bersama menuju kantin yang berada di sisi bangunan gedung. Tiba-tiba, Arsen berhenti.

"Kak, aku ke toilet dulu."

"Oke, kami tunggu di kantin, ya."

Sean melanjutkan langkahnya bersama yang lain. Begitu sampai di kantin yang mulai ramai, mereka segera mengambil nampan dan mulai memilih makanan.

"Tambahan buahnya, mau semangka atau pisang?"

Sean yang sedang fokus mengambil lauk tiba-tiba tertegun. Suara itu… terlalu familiar di telinganya. Ia menoleh ke arah konter buah dan melihat Nanda berdiri di sana, mengenakan celemek, membagikan potongan buah ke para karyawan.

Namun, dengan cepat ia menguasai ekspresinya. Toh, ia tahu Nanda bekerja di kantornya. Hanya saja, kenapa wanita itu sekarang ada di kantin?

"Umm, semangka saja," ujar Sean datar.

Tanpa ekspresi, Nanda mengambil sepotong semangka dan meletakkannya di wadah Sean. Tak ada percakapan lebih lanjut, seolah mereka benar-benar orang asing.

Sean berlalu. Di balik konternya, Nanda menghela napas panjang. Aneh rasanya—mereka tinggal serumah, tetapi bersikap seperti tidak saling mengenal. Dan entah kenapa, itu sedikit mencubit hatinya.

"Pak Sean, kita duduk di sana saja. Ada bangku kosong yang cukup untuk kita semua," ujar salah satu rekannya sambil menunjuk bangku di dekat tembok.

"Oke," sahut Sean sambil menarik kursinya.

Tanpa sengaja, pandangannya kembali ke konter makanan. Di sana, Nanda terlihat sedang berbincang dengan Arsen.

"Nanda!? Kamu Nanda, kan?" seru Arsen tiba-tiba.

Mata Nanda membulat. "Arsen?"

"Iya, ini aku! Astaga, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini!"

Nanda tersenyum tipis.

"Kamu kerja di sini?"

Nanda mengangguk. Ia tahu betul, Arsen kini sudah menjadi orang sukses. Dari penampilannya saja sudah terlihat—rapi, elegan, dan penuh wibawa.

"Kenapa kita baru ketemu sekarang? Kamu tahu nggak kalau ini kantor Kak Sean? Kakaknya April," tanya Arsen bersemangat.

Sean? Tentu saja Nanda tahu.

"Tuh!" Arsen menunjuk ke arah meja Sean. "Kamu sudah ketemu April belum?"

"Sudah."

Menyadari antrean semakin panjang, Nanda buru-buru bertanya, "Kamu mau semangka atau pisang?"

"Dua-duanya boleh nggak?"

"Pilih satu, nanti yang lain nggak kebagian," jawab Nanda sambil menunjuk antrean di belakang Arsen.

"Oh, maaf, aku bikin antrean ya?" Arsen terkekeh. "Kalau gitu, aku pisang saja."

Nanda mengambilkan pisang.

"Eh, semangka saja deh, biar segar."

Nanda menukar pisang dengan semangka dan meletakkannya di wadah makan Arsen.

"Makasih, Nanda."

"Selamat makan."

Arsen berlalu menuju meja Sean.

"Kak, kenapa nggak bilang kalau Nanda kerja di sini?" tanyanya sambil duduk.

Sean hanya diam, tetap menikmati makanannya.

"Kak Sean kenal Nanda nggak, sih? Dia teman SMA kami dulu—aku, April, Gina, dan Nanda. Dulu kami sering bareng."

Tak ada jawaban.

Arsen menoleh lagi ke arah Nanda, yang kini kembali sibuk melayani pekerja lain. Senyum tipis terbit di bibirnya. Nanda memang tak banyak berubah—masih dengan hijabnya, kulit sawo matangnya, dan senyum ramah yang selalu tersungging.

Sementara itu, selepas Arsen pergi, Eni—rekan kerja Nanda—menyenggol lengannya.

"Gila, kamu kenal sama petinggi itu?" bisiknya penuh takjub.

"Petinggi siapa?"

"Pak Arsen! Masih muda, ganteng, dan udah jadi direktur."

"Yaah, dia kan memang keturunan Sultan. Wajar saja," sahut Nanda santai.

"Kok kamu bisa kenal?"

"Pas SMA, kami satu sekolah. Aku masuk karena beasiswa."

"Wih, pepet, Nanda!"

Nanda tergelak. "Selera mereka beda, orang kaya ya sama orang kaya juga."

"Ah, kamu ini! Nggak bisa diajak menghalu."

Nanda hanya tertawa. "Itu fakta, Eni."

 

Malam harinya, saat Nanda sedang memasak oseng jamur, suara Sean tiba-tiba terdengar dari belakangnya.

"Apa ini?"

Nanda tersentak. Ia berbalik dan melihat Sean menyomot tempe goreng dari meja.

"Itu tempe goreng."

"Iya, aku tahu," sahut Sean santai sambil mengunyah.

"Tumben pulang."

"Nggak ada teman," jawabnya terkekeh.

Nanda mengernyit. Teman apa? Tapi ia memilih tak bertanya lebih jauh.

"Enak juga. Kamu masak lebih banyak nggak?"

"Kak Sean mau makan?"

"Hmm," sahut Sean sambil menarik kursi dan duduk. Ia kembali menyomot tempe goreng yang kini hanya tersisa tiga potong.

"Eh, tempenya tinggal sedikit!" protes Nanda.

"Aku makan tadi," jawab Sean santai.

"Yah, padahal buat sarapan besok..." Nanda menghela napas.

Sean merogoh sakunya dan meletakkan uang lima puluh ribu di meja. "Nih, anggap saja aku bayar makan malam."

"Kenapa nggak makan di luar?"

"Lagi malas. Cepat ambilin makan."

Nanda mengambil uang itu, menahan senyum karena senang mendapat tambahan uang belanja.

"Setiap makan di rumah, Kakak harus bayar jasa masakku, ya," candanya.

"Hmm."

Dengan semangat, Nanda menyiapkan nasi, oseng jamur, dan tempe di piring Sean.

"Seneng banget sih?" goda Sean.

"Lumayan, sekali masak dapat lima puluh ribu."

Sean hanya menggeleng.

Di tengah makan malam mereka, ponsel Nanda tiba-tiba berdering. Ia buru-buru mengangkatnya.

"Halo, selamat malam… Iya, benar…"

Sean meliriknya penasaran. Wajah Nanda tampak berbinar.

"Baik, terima kasih, Pak."

Sambungan terputus.

"Ada apa? Kok senang banget?" tanya Sean.

"Aku dapat kerja part-time. Ada orang yang ingin anaknya dilatih renang."

"Kamu bisa renang?"

"Bisa dong."

Sean mengangkat alis. "Ngajar renang di mana?"

Terpopuler

Comments

Ummi Yatusholiha

Ummi Yatusholiha

gitu dong,ada interaksinya dirumah,walaupun cuma dikit

2025-03-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!