Nasib Darmi

"Kang, kamu tau kemana si Adjie pergi?" tanya Darmi dengan wajah gelisah.

Toni yang sedang meneguk kopi hitam melirik istriknya. Pertanyaan seperti itu membuatnya sangat kesal. "Mana akang tau, kok tanya akang!" jawabnya kesal, lalu meneguk habis kopinya dan bergegas meninggalkan meja makan yang terbuat dari tiga keping papan hasil karyanya sendiri.

Pria itu mengambil sabit untuk mencari rumput pakan ternaknya.

Sepeninggalan sang suami. Darmi yang sendirian merasa uring-uringan dan gelisah tak menentu.

"Kemana sih si Adjie pergi? Kenapa juga warga mengusirnya?" gumamnya lirih.

Ia menggigit ujung kukunya. Rasa rindu kian menyesak didadanya. Fikirannya hanya tertuju pada pria itu.

"Aku kenapa rindu banget dengan dia?" Darmi semakin merasakan relung hatinya terikat pada satu nama pria, yaitu Adjie.

Wanita itu seolah tak bersemangat untuk melakukan pekerjaan apapun. Pakaian yang menumpuk dan piring kotor yang sudah habis dari rak penyimpanannya tak membuat ia untuk membereskannya. Sungguh fikirannya sangat kalut.

"Bu, bu, lapar," rengek seorang bocah berusia tiga tahun yang sedari pagi tadi belum juga diberinya sarapan.

Darmi yang sedang memarkirkan Adjie tak menghiraukan panggilan puteranya yang sudah berwajah pucat karena menahan rasa lapar sejak pagi.

"Bu, bu, adik lapar," rengek bocah itu lagi dengan suara tangisan yang mulai membuat Darmi merasa jengkel.

"Makan, makan, makan saja taumu!" hardik Darmi dengan nada tinggi dan tatapan yang sangat tajam. Selama ini wanita itu adalah seorang ibu yang lemah lembut dan penuh cinta kasih.

Namun beberapa hari ini, sikapnya berubah seolah menjadi orang lain.

"Huuuuu.....huuuuuuuu....," tangis bocah itu pecah dan semakin membuat Darmi naik pitam.

"Diam! Diam tidak!" sergahnya untuk memberi rasa takut pada sang bocah.

Bocah itu semakin ketakutan dan tangisannya semakin pecah karena hardikan ibunya yang selama ini selalu menyayanginya dan bersikap lemah-lembut.

"Diam kamu! Diam!" kali ini Darmi mendaratkan cubitan dibeberapa pa-ha sang bocah yang tidak juga mau diam dan semakin menambah volume tangisannya.

Suara tangisan sang bocah terdengar hingga ke rumah tetangga yang mana merupakan iparnya sendiri.

Rika, sang ipar berlari menghampiri keponakannya yang tak pernah menangis seperti itu sebelumnya.

"Dedek, kamu kenapa? Ada apa, Mbak?" cecar Rika pada iparnya tersebut.

Darmi menoleh ke arah Rika, namun tidak menjawab. Pandangannya terlihat sangat nanar, hatinya dipenuhi kerinduan pada pria yang berada dikampung sebelah.

Melihat pandangan kakak iparnya yang tidak biasa, membuat Rika bergidik ngeri.

Ia meraih tubuh mungil ponakannya dan membawanya pergi keluar dari rumah kakaknya.

"Dedek kenapa menangis?" tanya Rika sembari mendekap sang keponakan dan membawa ke rumahnya. Namun reaksi Darmi tak begitu peduli bahkan terkesan tak acuh.

"Lapar, Bi," jawabnya dengan wajah pucat.

Seketika Rika tercengang, lalu membawanya ke dapur dan mengambil.sepiring nasi serta sebutir telur ceplok untuk ia berikan kepada keponakannya.

"Sudah, makanlah, jangan lagi menangis. Mungkin ibumu sedang banyak fikiran," wanita itu menenangkan sang bocah.

Dedek masih tersedu sembari menyuapkan nasi tersebut kedalam mulutnya.

"Ada apa, Rik?" tanya seorang wanita sepuh yang melihat cucunya terisak dengan pundaknya terguncang.

"Mbak Darmi. Entah apa yang sedang fikirkannya. Dia melamun terus dan tadi Dedek dicubit serta dibentaknya," Rika memberikan informasi secara akurat.

Wanita sepuh itu mengerutkan keningnya. Ia tahu benar watak sang menantu yang sangat lembut dan penuh kasih pada keluarganya, dan perubahan itu sungguh membuatnya sangat curiga.

"Apa mbak-mu sedang ribut dengan Kakangmu?" tanya wanita sepuh itu dengan menduga-duga.

"Gak tau, Mbok. Tapi tadi masalahnya hanya Dedek minta makan saja. Coba nanti Mbok tanya Kang Toni," jawab Rika yang saat ini baru saja selesai menamatkan sekolah menengah atasnya.

Wanita sepuh itu tampak manggut-manggut.

Tepat tengah hari, Toni pulang kerumah dengan membawa rumput sebagai pakan ternak miliknya dalam jumlah yang cukup banyak.

Setelah memberi makan ternaknya, ia masuk kedapur dan bersiap untuk malan siang, sebab sudah sangat lapar.

Akan tetapi, ia terkejut ketika melihat tudung saji yang ia singkap tidak ada makanan apapun. Ia sangat marah, sebab rasa lapar sudah membuat perutnya nyeri.

"Dar, Darmi, kamu tidak masak?!" tanyanya dengan nada sedikit tinggi, sebab kepalanya sudah sangat pusing akibat kurangnya asupan oksigen yang mana dihasilkan dari karbohidrat yang belum terpenuhi.

Darmi yang duduk melamun didepan pintu dengan tatapan nanar melihat jalanan diam tak bergeming. Ia merasakan seolah dunianya begitu sangat sepi. Ia sungguh merindukan Adjie dan rasanya ingin mencari dimana keberadaan pria itu, tetapi tidak ada petunjuk yang ia dapatkan.

Tarno yang sudah sangat lapar semakin kesal karena sang istri tidak menyahutinya, bahkan tidak menggubrisnya.

"Dar, Darmi! Kamu tuli atau bagaimana?" suara Tarno semakin meninggi.

Hal itu membuat wanita sepuh tersebut bergegas menuju dapur dan menarik puteranya keluar dari sana.

"Sudah, jangan ribut-ribut! Ayo kerumah ibu." tangan keriput itu membawa puteranya untuk ke rumahnya.

Tanpa pemolakan, Tarno mengikuti wanita tersebut dan mencoba menurut. Setibanya didapur. Ia melihat Dedek yang dalam dekapan adiknya pa-ha yang membiru bekas cubitan. Pria itu tersentak kaget melihat semua perubahan yang terjadi pada istrinya secara mendadak.

"Makanlah, nanti kita bicara," wanita sepuh menghidangkan makan siang untuk puteranya. Sedangkan Darmi tidak memakan apapun sejak pagi tadi. Ia sungguh tidak berselera untuk makan, ia hanya inginkan Adjie sat ini.

"Kalian ada bertengkar apa? Apakah kamu tidak memberi menantuku uang?" tanya wanita itu setelah puteranya menyelesaikan makan siangnya.

Tarno mengerutkan keningnya. Selama ini ia selalu memberikan uang pada istrinya, bahkan semua uang dipegang oleh sang istri.

"Aku baru saja memberikannya uang, bahkan malam tadi, hasil penjualan sapi aku serahkan semuanya pada Darmi," jawab pria itu dengan serius.

Wanita sepuh itu menghela nafasnya dengan berat. Ia melirik menantunya yang saat ini tampak duduk melamun didwpan pintu dengan pandangan.yang terus menatap jalanan.

Ia seolah sedang menantikan seseorang yang lain. Hatinya sedang tidak baik-baik saja.

"Apa yang sudah membuat menantuku berubah? Mungkin kamu tidak pernah mengajaknya keluar berjalan-jalan. Cobalah sesekali ajak ia berbelanja ke kota, biasanya wanita sangat suka berbelanja," saran wanita sepuh itu pada puteranya.

Tarno mengerutkan keningnya. Mungkin benar apa yang dikatakan ibunya. Sepertinya ia harus membawa sang istri berjalan-jalan untuk melepaskan rasa penat dan juga bosan karena terus tinggal didesa.

"Pergilah, bawa ia berbelanja, Dedek biar sama si Mbok dan Rika, kalian pergi berdua saja," saran wanita itu lagi. Ia tidak tega melihat tatapan nanar sang menantu yang terlihat begitu menderita.

Terpopuler

Comments

neng ade

neng ade

sebegitu hebat nya ya pelet. yg diberikan Adjie .. hanya karena sm suami yg selalu merendahkan Adjie malah istri nya yg jadi korban utk balas dendam nya

2024-12-17

6

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

untung rumah ibunya dekat kalau gak anaknya bisa habis disiksa sama Darmi yg lagi gila 😒😒

2024-12-17

4

🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈

🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈

ya allah klo gtu bisa hancur rumah tnga org yg adem ayem klo kena ajian gtu

2024-12-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!