Beban pikiran

   Aku memperhatikan Rais. selain tampan, kaya, dia juga dikelilingi oleh orang orang yang menyayanginya, lengkap sudah.

 “khm, kak Riya memperhatikanku sampai segitunya”

  Aku tersenyum saat Rais menggaruk tengkuknya, ternyata dia bisa salah tingkah juga, Aku bersilang tangan didada dan berniat menggodanya.

“Habisnya kamu gagah sih”

Rais terkekeh, dan lagi lagi aku merasakan desiran aneh disudut hatiku, Rais kembali menatapku dan tersenyum tipis.

  “kak Riya juga cantik, tipeku banget lagi, sayang sekali aku keduluan.”

  Aku sedikit terkejut atas apa yang Rais katakan. Yah seandainya aku lebih dulu bertemu dengan Rais, mungkin aku jauh lebih bahagia, dan anakku pun kelak akan terjamin masa depannya.

   Rais meletakkan tangannya dibawah dada, kemudian tangan kanannya mengelus dagunya yang ditumbuhi oleh rambut halus, dia begitu serius menatapku namun aku menghindari tatapannya, entah kenapa aku merasa malu ditatap seperti itu.

   “hmm... kak, apa tidak ada niat untuk tambah suami gitu, Aku tidak keberatan menjadi suami kedua” ujar Rais dengan entengnya.

  Aku menilik Rais tak percaya lalu mendengus ketika dia berlalu sambil tertawa, kan dia hanya bercanda. Aku menggeleng dan mengikutinya ke dapur.

   Aku mendengus kesal, Rais membuka lemari pendingin dan mengeluarkan susu kotak kemudian menuangkannya kedalam gelas dan menyodorkannya padaku.

 “Minum kak.!”

 Kebetulan sekali aku haus setelah berjalan kaki tadi.

  “Aku sangat menyukai susu kak, apalagi itu susu....”

  Aku yang masih meneguk susu melirik Rais yang menggigit bibir bawahnya kemudian mengikuti arah tatapannya.

  “uhuk uhuk..”

Aku menyapu bibirku dengan kasar dan melotot pada Rais sambil meletakkan gelas lalu memeluk dadaku..

   “Susu yang ini maksudnya” Rais meraih gelas bekasku dan kembali menuangkan lalu meneguknya.

  Jakun Rais naik turun terlihat seksi, aku sendiri tersipu oleh pikiran tak masuk akal ku. Dan oh tidak!! gelas bekasku.

    Rais bersandar di lemari pendingin dengan posisi miring, alisnya terangkat satu.

    “Sedang memikirkan apa kak?”

“Tid--dak ada” tentu saja aku tidak akan mengatakan apa yang ada di pikiranku saat ini.

  “kak, mau ikut denganku?” ajak Rais.

“kemana?”

“belanja!”

 Aku menatap pakaian Rais yang rapi tidak seperti diriku yang hanya mengenakan daster selutut yang sudah lusuh. jika aku ikut dengannya tentu aku hanya akan mempermalukannya.

  “Tidak ah, kamu saja” Tolak ku meski sebenarnya sangat ingin.

 “Kenapa?”

 Aku merasakan Rais sedang menatapku. tanganku yang memilin baju dengan kepala tertunduk, sepertinya Rais menyadari maksudku dia berdecak dan meraih kunci mobil diatas meja dan menarik tanganku lalu berjalan keluar.

Aku melirik tangan yang menggenggam jemariku, aku diam diam tersenyum sambil mengikuti langkahnya, kami baru saja berkenalan beberapa hari yang lalu namun sudah seakrab ini.

°°°°

   Rais membukakan pintu mobil untukku, ini adalah pertama kalinya aku naik mobil mewah dan diperlakukan begini, aku merasa senang dan dihargai.

    “kak, jangan berpikir seperti itu lagi yah, aku sangat menghargai kak Riya.

   “oh iya, anak kakak pulang jam berapa?” ujar Rais.

 “biasanya sih jam sepuluh”

 Perihal yang tadi, aku tidak mengatakan apa apa, tapi kenapa Rais seakan mampu membaca isi kepalaku. seakan seakan dia sudah lama mengenalku.

Perasaan apa ini ya Tuhan...!

Aku dilema.

   “umm berarti masih ada waktu”

  Tiba tiba saja Rais mendekati ku dan membantuku memakai sabuk pengaman, setelah itu Rais mengemudi dan meninggalkan halaman. mobilnya melaju di jalan raya setelah melewati kompleks.

°°°°

 Hari sudah siang, aku keluar dari mobil Rais bersama ifan, setelah pulang tadi sekalian menjemput ifan disekolah.

  Aku menatap putraku yang diam diam menatap Rais sejak bertemu tadi. sepertinya dia kurang suka pada Rais, itu yang aku lihat dari cara dia menatapnya. Atau ini hanya perkiraanku saja.

 “mah, Ifan pulang duluan yah”

    Ifan pamit lebih dulu dan aku berniat menyusulnya namun Rais memanggilku, lalu memberikan beberapa belanjaannya.

   “ini untuk kak Riya, dipakai yah..!!” ujarnya tersenyum, lagi lagi aku terpesona oleh senyum tulusnya. Dia sangat tampan saat seperti ini.

Aku teringat tujuan awalku yaitu menyusul Ifan.

  “hmm, makasih yah!! aku akan menyusul Ifan dulu.” aku berlalu melangkah cepat sambil menenteng tas yang berbahan kertas karton.

   Begitu sampai didepan rumah. Stiker berwana merah dengan tulisan berwarna kuning menyilaukan mata.

 Debitur menunggak harap segera melakukan pelunasan.

   Aku terduduk di kursi teras sesekali melirik sticker tersebut. Tiba tiba saja kepalaku sakit. Aku menekan pelipis ku setelah meletakkan belanjaanku dimeja.

   “Mah, yang menempel didinding itu maksudnya apa?” tanya Ifan. Aku mengajak Ifan masuk dan mengalihkan pembicaraan, aku tidak ingin membebani pikirannya tentu saja dia tidak boleh tahu, dia hanya boleh fokus sekolah.

   “Ganti pakaian dulu yuk.!! Habis itu bantu mama mengupas bawang nya” aku menghela napas berat tak kala Ifan melangkah ke kamar dan kembali setelah beberapa menit, ifan mengambil pisau dapur dan mulai membantuku. Namun lagi lagi dia mengungkitnya.

   “Mah, seberapa banyak hutang yang harus kita bayar?”

Aku lupa, putraku cerdas, meski aku tidak memberitahunya sekalipun dia akan tahu.

   “Nak, ini urusan mama dan papa, Ifan fokus sekolah ajah yah. Belajar yang benar dan jadi kebanggaan kedua orang tua” Ifan mengangguk patuh aku tersenyum dan mengelus pucuk kepalanya.

  Aku teringat saat bertemu kepala sekolah tadi. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk membicarakannya pada Ifan.

  “boleh mama tanya sesuatu?”

Ifan mengangguk dan menatapku sebentar dan kembali melanjutkan aktivitasnya.

  “Tadi mama bertemu kepala sekolah” gerakan tangannya terjeda dan bibirnya seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi.

 “boleh mama tahu, alasan Ifan memukul temannya?” ku elus bahunya saat aku melihat mata Ifan berkaca kaca.

    “mah, Dandi tidak sopan!! Aku memukulnya karena berkata kasar. Dia mengatakan orang tuaku buruk, tidak bisa memberiku uang jajan tidak bisa membelikan ku sepatu yang layak. setiap hari mereka mengejekku tapi aku tidak peduli mah, aku hanya marah saat dia melibatkan mama dan papa. Aku benci dia mah”

Kupeluk erat tubuhnya, air mataku ikut jatuh saat mendengar setiap kata yang dia ucapkan.

    Ifan menangis dengan tangan mengepal, aku tidak tahu kalau hati putraku sehancur ini. Jadi dia tidak diterima oleh teman temannya karena ia miskin, jadi Ifan ku selalu sendiri disekolah.

°°°°

   Jam sepuluh malam, mataku masih belum tertutup, aku menatap langit langit kamar degan pandangan kosong.

Lagi lagi tentang putraku.

Bagaimana aku tidak kepikiran. Sepertinya kepalaku sudah penuh oleh beban pikiran. Lalu aku harus bagaimana..?

Getaran hp diatas meja menghentikan konflik batinku.

Aku bangun dan duduk diatas ranjang dengan punggung tegak.

“Rais?”

“Malam kak!” Sebuah senyum tulus nampak didalam layar. Aku terpaku oleh pria tampan dan dewasa ini. Yah! Rais adalah pria dewasa tapi kenapa dia malah memanggilku kakak. Padahal jika berpikir tentang usia, dia terlihat jauh diatas ku. Kenapa aku berkata begini karena dibalik rambut hitamnya itu ada juga rambut putihnya tapi ada jarang sih.

“Malam... Sedang dimana?”

Tanyaku, setelah melihat dia sedang tidak berada dirumah.

Rais memutar kamera belakang dan memperlihatkan suasana disekitarnya, disana terlihat meja dan juga kursi tersusun rapi.

“Di warkop kak, heheh”

“Belum tidur?” ujar Rais.

“Kelihatannya bagaimana?”

Aku menjawabnya terkesan malas. Maklumlah pikiranku lagi kacau.

“Khm.. Sepertinya sedang ada masalah, terlihat dari raut wajahnya yang agak gimana yah.” Ujar Rais sambil mengelus dagunya.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!