Setibanya di dalam perguruan, Prangesti, yang didampingi oleh Warang Seta dan Cawisada, langsung menceritakan semua peristiwa yang terjadi di kediaman Padma Sari. Ia juga menjelaskan tentang darah yang berceceran di atas rumput, yang berakhir di sumur tua di hutan dekat perguruan.
Semua kejadian yang diceritakan Prangesti itu membuat Jumantara, ketua perguruan, sangat terkejut. Ia tampak khawatir dengan keselamatan Padma Sari, guru muda yang hilang.
"Apa sebenarnya yang terjadi pada Padma Sari? Apakah gadis itu benar-benar mengambil kitab itu?" batin Jumantara sambil membelai jenggot panjangnya yang telah memutih.
"Kau harus menyelidiki masalah ini sampai tuntas, Prangesti. Pastikan gadis itu baik-baik saja. Kita tidak boleh menuduh Padma Sari sebagai pelaku sebelum ada bukti yang jelas," ucap Jumantara tegas.
"Aku mengerti, Guru. Aku yakin Padma Sari bukan pelakunya. Semua orang tahu dia adalah orang yang baik," jawab Prangesti, yang diam-diam menaruh hati pada gadis itu.
"Sekarang juga, kau harus mengusut tuntas masalah ini dan bentuk tim untuk menyelidikinya!" perintah Jumantara.
"Baik, Guru. Aku akan segera melakukannya," jawab Prangesti sebelum bergegas meninggalkan ruangan.
"Aku sependapat dengan Prangesti, Kakang. Aku tidak percaya Padma Sari mencuri kitab itu," ucap Warang Seta kepada Jumantara.
"Kau benar, Warang Seta. Aku juga tidak percaya dia yang melakukannya," jawab Jumantara.
"Maaf, Guru. Dengan menghilangnya Padma Sari secara tiba-tiba, apakah kita tidak seharusnya curiga?" tanya Cawisada.
"Tidak ada salahnya kau berpikir begitu, Cawisada. Namun, seperti yang sudah kukatakan, kita tidak boleh menuduhnya tanpa bukti yang jelas," tegas Jumantara.
"Untuk kalian berdua, aku ingin kalian membantu mencari Padma Sari sampai ketemu," perintah Jumantara.
"Tentu, Guru. Kami akan membantu mencari gadis itu," jawab Warang Seta dan Cawisada serentak.
"Guru, bagaimana jika hilangnya kitab itu terdengar oleh perguruan lain? Bukankah itu akan sangat berbahaya? Bisa menarik perhatian para pendekar dan perguruan lain," ucap Cawisada.
"Tentu saja itu akan menarik perhatian banyak orang, terutama para pendekar lepas dan ketua perguruan lain. Aku minta kalian berdua mengumumkan kepada para murid untuk menutup mulut mereka rapat-rapat. Jangan sampai masalah ini tersebar keluar," perintah Jumantara.
"Baik, Guru. Kami akan segera memberitahukan hal ini kepada semua murid," jawab Warang Seta dan Cawisada.
"Silakan," ucap Jumantara.
Tanpa menunda waktu, Warang Seta dan Cawisada langsung mengumumkan kepada seluruh murid untuk menjaga kerahasiaan hilangnya kitab itu. Perguruan Kemuning pun segera mengerahkan semua guru dan murid pilihan untuk mencari Padma Sari. Pencarian dilakukan hingga jauh ke luar perguruan, bahkan sampai ke sumur tua di hutan. Namun, pencarian di sumur tua tidak tuntas karena di dalamnya terdapat binatang beracun dan gas berbahaya, sehingga mustahil ada kehidupan di sana.
Setelah berbulan-bulan pencarian tanpa hasil, Jumantara akhirnya memerintahkan para muridnya untuk menghentikan pencarian. Banyak yang mulai beranggapan bahwa Padma Sari telah meninggal atau melarikan diri ke daerah yang jauh.
Waktu terus berlalu, dan perlahan-lahan perguruan Kemuning mulai melupakan kejadian itu. Kitab Tapak Dewa pun mulai terlupakan.
---
**Dua Puluh Tahun Kemudian**
Siang itu di Desa Parang Sari, tempat tinggal Nyai Damah dan Ki Supa, Antasena, bayi yang ditemukan Ki Supa dua puluh tahun lalu, telah tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah. Sorot matanya tajam, badannya berotot, dan penuh semangat membantu Ki Supa di ladang.
Dalam usia dua puluh tahun itu, Antasena telah mewarisi sebagian keahlian Ki Supa dan Nyai Damah. Selain diajari bertani, ia juga dibekali ilmu kanuragan oleh kedua orang tuanya.
Siang itu, Antasena baru saja tiba di rumah dengan membawa dua keranjang besar jagung yang baru dipetik dari ladang. Dengan hati-hati, ia meletakkan keranjang itu di dalam rumah.
"Ibu, apakah jagung ini akan dijemur sekarang?" tanya Antasena.
"Iya, mumpung masih ada matahari. Lebih baik kau jemur sekarang supaya tidak membusuk dan bisa tahan lebih lama. Setelah selesai, siapkan peralatan berburu," ucap Nyai Damah.
"Baik, Ibu," jawab Antasena sambil segera mengeluarkan jagung dari keranjang dan menjemurnya di bawah terik matahari.
Setelah selesai menjemur jagung, Antasena menyiapkan busur dan anak panahnya untuk berburu.
"Antasena!" panggil Nyai Damah dari dapur.
"Ya, Ibu," sahut Antasena.
"Nanti kita berburu kelinci di hutan untuk lauk makan malam. Apakah semua peralatan sudah kau siapkan?" tanya Nyai Damah.
"Sudah, Ibu. Anak panah dan busurnya sudah siap," jawab Antasena dari halaman depan rumah.
"Sebentar lagi kita berangkat. Supaya ayahmu pulang nanti, kelincinya sudah matang," ucap Nyai Damah.
Tidak lama kemudian, Nyai Damah keluar dari rumah dengan membawa pisau kecil di tangan kanannya.
"Antasena, ayo kita berangkat! Ibu ingin tahu seberapa hebat ilmu meringankan tubuhmu yang diajarkan ayahmu," ucap Nyai Damah, berniat menguji kemampuan anaknya.
"Jadi Ibu ingin adu kecepatan denganku menuju hutan?" tanya Antasena.
"Kalau sudah tahu, kenapa bertanya? Ayo!" ucap Nyai Damah sambil melesat dengan kecepatan tinggi ke dalam hutan.
Antasena terkejut melihat ibunya pergi begitu saja. "Ibu curang! Tidak memberi aba-aba dulu!" teriaknya sambil mengejar.
"Ibu, tunggu aku!" teriak Antasena sambil mempercepat langkahnya.
Nyai Damah hanya terkekeh mendengar teriakan Antasena. "Cepatlah, Antasena! Tunjukkan padaku ilmu yang diajarkan ayahmu!" teriaknya.
Antasena terus melompat dari satu dahan ke dahan lain, berusaha mengejar ibunya yang sudah jauh di depan. Ia tidak ingin mempermalukan ayahnya di hadapan ibunya.
Usaha Antasena mulai membuahkan hasil ketika jaraknya dengan Nyai Damah semakin dekat. Namun, tiba-tiba Nyai Damah memberi peringatan, "Hati-hati, Antasena! Ada badai daun ke arahmu!"
Nyai Damah mengibaskan tangannya ke arah pohon berdaun lebat, menyebabkan daun-daun rontok dan bergulung-gulung menuju Antasena.
"Ibu curang!" teriak Antasena sambil menggunakan kekuatannya untuk menyingkirkan daun-daun itu.
Setelah berhasil menyingkirkan daun-daun, Antasena melihat Nyai Damah berdiri terpaku di depan semak yang bergoyang-goyang.
Melihat Antasena sudah mendekat, Nyai Damah menempelkan jarinya ke bibirnya, memberi isyarat agar Antasena diam. Antasena mengangguk, mengerti maksud ibunya.
Nyai Damah kemudian melemparkan pisau kecilnya ke arah semak. Pisau itu melesat cepat dan mengenai seekor kelinci besar yang bersembunyi di semak.
"Lemparan Ibu selalu tepat sasaran," ucap Antasena sambil berlari mengambil kelinci itu.
"Cukup besar, Ibu," ucap Antasena sambil mengangkat kelinci itu tinggi-tinggi.
"Apakah kau ingin bisa melemparkan pisau seperti Ibu, Antasena?" tanya Nyai Damah.
"Tentu, Ibu. Tapi biasanya kalau Ibu mengajari aku sesuatu, Ibu selalu marah-marah," jawab Antasena sambil tersenyum.
"Ibu marah karena kau sering membuat kesalahan. Sekarang, keluarkan pisaumu. Aku akan mengajarimu cara melempar pisau yang benar," ucap Nyai Damah.
Antasena pun segera mencabut pisau kecil yang diselipkan di pinggangnya.
"Sekarang, bagaimana, Ibu?" tanya Antasena.
"Bidiklah pucuk tumbuhan di sana," ucap Nyai Damah sambil menunjuk ke arah tumbuhan yang jaraknya cukup jauh.
"Tidak salah, Ibu? Bukankah tumbuhan itu jauh sekali?" tanya Antasena dengan ragu.
"Kamu ini, belum apa-apa sudah merasa tidak mampu. Ingat, Antasena, gunakan perasaanmu dan salurkan sedikit tenaga dalam. Bayangkan tumbuhan itu dekat denganmu," ucap Nyai Damah memberikan petunjuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Aku Adalah
lanjutkan mantap
2025-03-29
0
anggita
Antasena... 👍👌👏💪☝.
2025-02-23
0
Judo Judo
mantap,belajar dengan giat
2025-02-09
0