Jumantara memperhatikan dengan seksama saat para muridnya menyentuh batu kristal hijau itu. Para murid perguruan itu tegang, takut batu kristal itu akan menyala. Jika itu terjadi, hukuman berat sudah menanti mereka.
Tak lama kemudian, semua murid telah selesai menyentuh batu kristal hijau itu, namun tidak ada yang berhasil membuatnya menyala. Hal ini menandakan bahwa para murid itu bersih dan tidak ada satupun dari mereka yang mencuri Kitab Tapak Dewa Terbalik.
"Semua murid bersih, Guru," kata Prangesti, yang juga memantau proses tersebut.
"Hmmm..." Jumantara mengeluarkan gumaman pelan.
"Sekarang, giliran para guru," ucap Jumantara tegas.
Mendengar perintah dari ketua perguruan itu, kelima guru maju ke depan satu per satu untuk menyentuh batu kristal hijau itu. Meskipun mereka tidak bersalah, wajah mereka tegang. Jika batu itu menyala, tidak ada lagi pertolongan bagi mereka yang terbukti mencuri kitab tersebut.
Setelah semua guru selesai menyentuh batu itu, tidak ada satupun yang berhasil membuatnya menyala. Artinya, semua guru juga terbukti tidak bersalah.
"Sepertinya mereka semua bersih dan tidak bersalah, Guru," ucap Prangesti.
"Kau benar, Prangesti. Ternyata kecurigaanku terhadap mereka terlalu berlebihan," jawab Jumantara sambil menggelengkan kepala, menyadari kekeliruannya.
"Karena kalian semua tidak bersalah, kalian boleh pergi dari sini," seru Jumantara.
Para murid dan kelima guru memberikan penghormatan kepada Jumantara sebelum membubarkan diri. Namun, Jumantara masih berdiri terpaku, memikirkan hilangnya Kitab Tapak Dewa Terbalik.
"Mungkinkah kitab itu dicuri orang lain? Siapa pelakunya? Setahuku, tidak pernah ada orang yang datang ke sini," gumam Jumantara.
"Maaf, Guru. Kira-kira kapan kitab itu hilang?" tanya Prangesti.
"Sepertinya sudah lama, Prangesti. Aku baru menyadarinya sekarang. Aku sungguh ceroboh tidak bisa menjaga benda berharga itu," ucap Jumantara dengan penuh penyesalan.
Jumantara kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam perguruan.
"Guru!" panggil Prangesti.
Jumantara berhenti dan menoleh ke arah muridnya. "Ada apa, Prangesti?"
"Maaf, Guru. Sepertinya tadi kita melewatkan seseorang," ucap Prangesti.
"Melewatkan seseorang? Apa maksudmu?" tanya Jumantara.
"Nona Padma Sari tidak terlihat di antara para guru tadi. Mungkinkah dia sengaja menghindari pemeriksaan ini?" tanya Prangesti.
"Padma Sari? Kau mencurigainya?" tanya Jumantara.
"Tidak berani, Guru. Tapi tidak ada salahnya kita memeriksanya juga. Ini demi menemukan kitab itu," ucap Prangesti.
Jumantara terdiam. Dalam hatinya, ia ragu apakah Padma Sari benar-benar terlibat. Ia mengenal betul sikap dan perangai wanita itu.
"Baiklah, panggil dia sekarang juga," perintah Jumantara.
"Baik, Guru," jawab Prangesti sebelum berlalu.
"Padma Sari, aku sungguh tidak yakin dia yang mengambil kitab itu," gumam Jumantara sebelum melanjutkan langkahnya.
Prangesti merasa tidak nyaman menghadapi Padma Sari sendirian, sehingga ia mengajak Warang Seta dan Cawisada, dua murid tertua di Perguruan Kemuning, untuk menemaninya.
Sesampainya di kediaman Padma Sari, Prangesti terkejut melihat pintu rumah itu terbuka lebar tanpa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Keadaan rumah yang berantakan membuat Prangesti semakin waspada.
"Paman, sebaiknya kita langsung masuk. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Padma Sari," ucap Prangesti.
"Baiklah, ayo kita bergegas," sahut Warang Seta.
Di dalam rumah, mereka menemukan keadaan yang kacau balau. Bekas tumpahan air masih basah, dan ada noda darah yang masih segar.
"Tidak salah lagi, pasti terjadi pertarungan di sini," ucap Warang Seta.
"Apakah ini berkaitan dengan hilangnya Kitab Tapak Dewa Terbalik?" tanya Prangesti.
"Sangat mungkin, Prangesti," jawab Warang Seta.
"Yang menjadi pertanyaan, di mana Padma Sari sekarang?" ucap Cawisada.
"Sebaiknya kita mencari di luar. Mungkin ada petunjuk," usul Warang Seta.
Mereka bertiga kemudian menelusuri hutan di belakang perguruan. Di sana, mereka menemukan tetesan darah yang berceceran di atas rerumputan. Tetesan darah itu membawa mereka ke sebuah sumur tua yang sudah tidak terpakai.
"Bagaimana ini, Paman? Haruskah kita turun ke dalam sumur?" tanya Prangesti.
"Jangan, terlalu berbahaya. Sebaiknya kita laporkan kejadian ini kepada ketua," saran Cawisada.
"Setuju. Ayo kita menghadap ketua," sahut Warang Seta.
Mereka bertiga meninggalkan sumur tua itu dengan pikiran penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Padma Sari? Dan apakah ini benar-benar terkait dengan hilangnya Kitab Tapak Dewa Terbalik?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Gak Tau
melebar ceritanya
2025-02-05
0
Gak Tau
Duarrr
2025-02-05
0
Roni Sakroni
bagus critanya awal nih
2025-01-30
0