Bab kemarin lumayan panjang, ya? Soalnya, masih ada beberapa bagian yang terasa abu-abu,kayak hubungan kita, hehehe.
Sebelum lanjut ke topik hari ini, aku tambahkan sedikit bumbu cinta biar lebih gurih.
Jadi, di bab kemarin, alasan aku keluar kamar untuk ke kamar mandi adalah karena di desa ini, hampir semua rumah tidak memiliki kamar mandi dalam kamar. Bahkan, banyak orang dengan ekonomi cukup atau bahkan berlebih yang tetap mengikuti pola ini. Kecuali, tentu saja, mereka yang benar-benar kaya tujuh turunan, tujuh tikungan, dan tujuh tanjakan—yang kekayaannya justru terus bertambah. Lah, apalah keluargaku yang ibarat upil. Ih, iyuh.
****
Baru hitungan menit sepertinya aku tertidur, tiba-tiba sudah pagi saja. Aku bangun untuk mengerjakan salat Subuh. Keluar dari musholla, aku menuju dapur. Di pintu dapur, aku berpapasan dengan Mahest yang akan keluar.
"Hest, mau dong... aaa…," ucapku sembari membuka mulut, melihat Mahest berjalan sambil membawa mendoan yang masih mengepulkan asap, menandakan gorengan itu masih hangat di tangannya.
"Ambil sendiri. Punya tangan kan lo? Tuh, masih banyak," jawabnya ketus. Tapi seperti biasa, walaupun judes, dia tetap mau menyuapiku. Haha. Maafkan Mbakmu yang nggak bisa buang sifat manja di rumah ya, Hest. Mungkin nanti ada saatnya aku nggak begini lagi. Satu gigitan kudapatkan, lalu Mahest lanjut berjalan entah ke mana.
"Mak, nanti sore aku kerja ya. Kayaknya bakal pulang malam, ada dua orang yang mau dirias," ucapku mendekati Mamak yang masih sibuk menggoreng mendoan.
"Iya, hati-hati. Jangan lupa jaga kesopanan di rumah orang," nasihatnya. Belum sempat aku menjawab, Mamak kembali berucap, "Kalau nggak berani pulang sendiri, kabari orang rumah."
"Iya, Mak. Tenang, nggak usah khawatir. Lagian kan udah biasa."
"Iya juga sih. Lagian memang dua Ndoro ayu Mamak agak lain semua, haha," jawab Mamak sambil cengengesan.
"Lah, nggak sadar diri si Mamak. Dirinya aja agak lain," sahutku, yang membuat kami ngakak bareng.
"Udah disiapin belum yang mau dibawa?" tanya Mamak lagi setelah tawa kami reda.
"Belum. Ini mau aku siapin. Doain ya, Mak, semoga nanti lancar," pintaku.
"Pasti, Ga. Itu nggak akan pernah Mamak lupa kalau soal doain anak-anak dan keluarga," jawabnya mantap.
Aku keluar dari dapur membawa piring berisi beberapa mendoan dan secangkir cokelat panas.
"Ga, sore nanti jadi nggak?" tanya Bapak yang berdiri di sampingku saat aku sedang menikmati mendoan.
"Jadi, Pak. Kenapa memang? Mau ajak healing?" tanyaku bercanda.
"Healing aja yang dipikirin. Kerja, kerja. Sekolah juga yang bener," jawab Bapak sambil berlalu ke arah dapur.
"Hiih... Bapak kebiasaan deh, dari dulu gitu terus!" jawabku sedikit berteriak. Bukannya apa-apa, tapi Bapak memang tipe yang malas keluar kalau nggak ada keperluan. Dulu, saat aku dan Mahest masih kecil, kalau kami bisa jalan-jalan itu pasti karena termakan bujuk rayu Mamak. Tau lah ya, kalau dasar manja, se-mandiri apa pun tetap aja begitu. Nah, makanya aku jadi begini. Haha.
Tak terasa sudah waktunya berangkat sekolah. Seperti biasa, hanya saja kali ini aku membawa banyak barang. Elah, macam truk aja bawa muatan. Iya, benar. Kalau ada kerja sore, aku biasanya langsung ke lokasi dari sekolah tanpa pulang terlebih dahulu. Tenang... Aku selalu ganti kostum di sekolah sebelum berangkat. Toh, anak-anak dan sebagian guru yang mengenalku sudah paham dengan kebiasaanku ini. Awalnya sih malu, tapi lama-lama ya biarin aja. Nanti juga terbiasa. Nah, terbukti kan? Ribet dan kadang melelahkan, tapi tetap asyik. Hehe.
Saat aku sedang fokus menata barang di bagasi motor, Mahest tiba-tiba datang menghampiri.
"Ga..." panggilnya.
"Hmm, apaan?"
"Bagi duit dong," katanya tanpa basa-basi.
"Hah? Nggak salah lo minta gue? Emang kurang duit yang dikasih Bapak?" tanyaku heran. Biasanya kalau Mahest minta uang, pasti ada maunya.
"Nggak kurang sih, tapi kalau buat beli sesuatu masih kurang."
"Beli apa dulu? Baru gue kasih," putus ku setelah mendengar alasannya.
"Beli gamis plus hijabnya, hehe. Aku udah pesan, soalnya bagus banget. Nanti barangnya sampai."
"Lah, tumben-tumbenan beli gamis tanpa disuruh. Udah sadar kalau lo cewek tulen, Hest? Mau buat acara? Kalau iya, sekalian yang bagus sekalian," ucapku sambil menyisipkan sedikit saran.
"Gue udah sadar dari dulu kali, Ga, kalau gue cewek tulen. Cuma, ya lo tahu sendiri, gue nggak hobi kayak lo. Lo paham kan? Nah, mumpung kata lo gue udah sadar, makanya bagi duit dong. Ini gamis beneran bagus, gue nggak bohong. Kalau lo lihat, pasti langsung suka!" jawabnya dengan antusias, seolah gamis itu benar-benar sebagus dan semewah princess dress.
"Beneran buat beli gamis, kan? Nggak buat jajan? Awas aja kalau bohong. Emang berapa harganya?"
"Enam ratus. Itu udah sama pashmina-nya," jawabnya mantap.
Mendengar angka itu, aku langsung melotot.
"Astaghfirullah, Hest! Gila lo ya? Bener-bener niat banget morotin gue! Itu gamis model apaan sampai harganya 600 ribu? Gue aja nggak pernah beli gamis harga segitu cuma dapat satu biji! Tuh, duit 600 ribu di gue bisa dapat dua setel gamis plus hijab! Itu aja udah mahal banget menurut gue yang kere ini. Ya Allah...," ucapku sambil mengelus dada, sementara Mahest hanya cengengesan nggak jelas.
"Makanya gue minta ke lo. Gue nggak berani ke Bapak atau Mamak. Yang ada malah dapet nasihat, bukan duit. Jadi, gimana? Ngasih nggak lo?" jawabnya santai banget, seolah itu hal sepele.
"Lagian udah tahu bakal gitu, kenapa masih nekat? Otak lo emang kadang nggak beres, asli. Gedeg gue sama lo, sumpah!" gerutuku, sambil tetap membuka dompet. Aku mengeluarkan tujuh lembar uang merah dan menyerahkannya ke Mahest. "Nih, ambil. Beneran gue bangkrut, Hest. Lihat tuh, dompet gue kosong melompong!" lanjut ku kesal.
Bukannya merasa bersalah, Mahest malah tiba-tiba mencium pipi kananku. Tentu saja aku kaget! Dasar bocah kampret, bikin gondok dulu baru mau bersikap manis.
"Makasih ya udah mau gue porotin, hehe," ucapnya riang sambil berjalan menuju motornya yang terparkir di depan motorku.
Yup, di rumah memang ada tiga motor. Aku dan Mahest punya motor masing-masing, sedangkan satu lagi biasa digunakan Bapak dan Mamak. Karena semalam aku pulang paling akhir, motorku terparkir paling belakang di garasi. Garasi di rumah berbentuk memanjang, jadi cara parkirnya pun berurutan ke belakang. Tapi, ya, nggak press banget. Masih ada sisa ruang buat satu orang lewat. Itu pun berlaku buat keluargaku, soalnya badan kita lempeng-lempeng. Kalau buat kalian yang gemoy, maaf, nggak akan bisa lewat. Seandainya bisa, mungkin nyangkut. Hihi. Bisa kebayang sendiri, kan?
Setelah semuanya siap, aku mengeluarkan motor dari garasi, disusul Mahest yang langsung melajukan motornya ke sekolah. Sementara itu, aku masuk ke rumah sebentar untuk mengganti sepatu.
For your information, aku dan Mahest satu sekolah, mengingat kami hanya terpaut dua tahun. Tapi meskipun begitu, bisa dibilang kami jarang bertemu. Selain karena kelas kami cukup berjauhan, Mahest juga lebih sering berkumpul dengan teman-teman cowok. Maklum, jurusan yang dia ambil memang lebih banyak cowoknya.
****
Sesampainya di sekolah, aku bertemu Kamboja.
"Wihh, sibuk nih pasti," ucap Kamboja.
"Biasa, biar cepet naik kelas gue, Ja," jawabku sekenanya.
"Loe emang udah kaya, Ga, cuma masih monyet belum beruang, haha."
"Kecut-kecut, yang lain udah berangkat belum, Ja?"
"Siapa? Ayu sama Aghis?" tanya Kamboja balik.
"Iyalah, siapa lagi."
"Gak tau gue, loe liat gue baru sampai. Emang dari kemarin grup hibring aja mereka nggak nongol, sibuk kali."
Bel masuk pun berbunyi, tapi hari ini semua jam pelajaran dikosongkan. Nggak tahu kenapa. Di tengah ramainya teman sekelas bermain, aku malah merasa gabut nggak jelas. Kamboja, Ayu, dan Aghis keluar entah ngapain. Lagi asik menikmati suasana yang astaghfirullah, Nuga mengirim pesan.
Nuga: "Oe."
Aku hanya membaca tanpa berniat membalas. Bertepatan dengan itu, Mahest meneleponku.
"Ga, main yok ke rooftop seberang kelas loe. Sumpah, gabut banget gue," ucapnya to the point.
"Sama, Hest. Gue juga. Lagian ada acara apa sih sampai nggak ada pelajaran blass? Mending kalau di pulangin lah, ini malah kayak dipenjara. Oke, gue tunggu di tangga seberang kelas."
"Oke, gue OTW ke sana," jawabnya yang langsung mengakhiri panggilan. OTW-nya si Mahest bener-bener sedang jalan ke lokasi ya, guys, bukan lagi duduk udah ngomong OTW, sesat-set itu memang dia. Selang beberapa menit, kita bertemu dan langsung naik tangga ke rooftop.
"Tumben loe ngajak ke sini, ngapain emang?" tanyaku.
"Gue penasaran sama pemandangan gunung dari sini. Katanya bener-bener kelihatan lebih indah, tapi emang bener sih, nyaman buat santai," ungkapnya yang berarti sama sekali belum pernah ke sini.
"Ngapain aja loe selama sekolah di sini, Hest? Tempat senyaman ini baru loe datengin?" Mahest diam tanpa ingin membalas ucapanku, lalu dia duduk selonjoran tanpa alas apapun. Aku menyusul duduk di sebelahnya.
"Hest...," panggilku.
"Apa?" jawabnya tanpa menoleh ke arahku karena asik menatap ponselnya. Ya, setelah kita duduk selonjoran, kita hanya saling diam dan bermain ponsel sendiri-sendiri. Karena bosan, akhirnya aku meletakkan ponselku ke lantai dan merebahkan kepala di paha Mahest, memulai cerita dan bercanda. Ya, walaupun kebanyakan yang keluar dari mulutku daripada dia. Hihi.
Ini yang bikin aku makin sayang tanpa aku ngomong ke dia. Kebiasaan yang mungkin menurut orang itu hal sederhana, tapi nggak semua bisa melakukan dan diperlakukan seperti dia ke aku. Jika ada apa-apa, dia mau diajak kompromi, dan nggak jarang dia yang sering ngajak aku buat jalan keluar walaupun itu dekat—kadang cuma muter-muter tanpa tujuan dan berakhir makan di pinggir jalan. Mahest memang pendiam dan bersifat cuek, tapi tidak ada yang tahu bahwa dia semanis itu sebenarnya.
Hal ini yang akan aku rindukan suatu saat nanti, itu pasti. Ketika aku dan dia sama-sama dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing, tidak saling menjauh, tapi pasti tidak akan sama lagi. Penonton pasti ngerasain juga, iya kan??
"Kenapa diem? Udahan ngocehnya?" ucap Mahest membuyarkan lamunanku.
"Udah, capek tau, Hest, ngoceh sendiri tanpa ditanggepin," ucapku ketus.
"Nggak gue tanggepi, tapi loe tau kalo gue pasti dengerin ocehan loe dari A-Z, Ga," jawabnya yang memang dari tadi diem tanpa ngomong apapun sambil tetap menatap ponselnya.
"Haha, iya juga sih. Eh, dengerin tuh ada pengumuman."
"Pengumuman, pengumuman. Untuk para siswa-siswi dimohon segera berkumpul di halaman sekolah. Terima kasih."
Aku dan Mahest segera turun ke halaman sekolah. Sesampainya di sana, sudah banyak yang berkumpul. Kita pun berpisah untuk menghampiri teman sekelas masing-masing. Acara pun dimulai.
"Saya selaku Kepala Sekolah meminta waktu dan perhatian kalian semua untuk menyampaikan hal penting. Bahwa pada bulan Desember yang akan datang, tepatnya tanggal 15 Desember, akan dilaksanakan lomba antar sekolah. Sekolah kita akan menjadi tuan rumah. Lomba tersebut diwakilkan oleh siswa maupun siswi dari jurusan masing-masing. Bagi yang terpilih, kami mohon kerja samanya."
Pengumuman pun ditutup oleh Kepala Sekolah dan satu per satu nama siswa maupun siswi dipanggil ke depan. Kini giliran kelasku.
"Marga Banyu Punggawa, mohon maju ke barisan depan."
Seperti tidak mendengar apapun, aku hanya diam saja tanpa pergerakan. Dari awal, aku kurang memperhatikan pengumuman di depan. Tiba-tiba, Kamboja mendorongku ke depan hingga hampir nyungsep, dan dengan bodohnya aku malah bertanya sambil ngedumel.
"Ngapain loe dorong gue, Ja? Mana hampir aja gue nyungsep. Untung gue sigap."
"Eh, Marga Air, loe budek apa gimana? Noh, dari tadi nama loe dipanggil sampai tiga kali! Udah kayak sunnah Rasul, loe nggak maju. Boro-boro maju, nyaut aja nggak, malah bengong nggak jelas. Udah buruan sana maju, kalau nggak bakalan diganti sama yang lain," ucap Kamboja menggebu-gebu.
Berikut revisi paragraf dengan huruf miring untuk dialog dan beberapa penyesuaian agar lebih nyaman dibaca:
"Yang bener loe, Ja. Kalo ngomong ngga usah ngawur, ngga mungkin gue yang kepilih."
"Udah jangan kebanyakan cincong loe, Ga. Buruan maju, ya elah," sahut yang lain seperti mengusirku. Di depan sini, aku berkumpul dengan yang lain. Ngga aku sangka jika ternyata dari mereka ada si Mahest juga. Di sini sedikit yang tahu bahwa aku dan Mahest bersaudara, karena memang kita beda dari yang lain. Maksudnya keanehan kita. Week. Selesai dengan itu, kami dibubarkan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Di parkiran, ponselku berdering. Mahest yang menelepon.
"Ga, masih jam segini loe pulang dulu apa gimana?" tanya Mahest di seberang.
"Cari angin dulu kayaknya. Loe mau ikut?"
"Ngga, mending turu jadi ngga resiko. Nanti malam gue sama Bapak mau lembur di tempat biasa." Tempat biasa yang dimaksud Mahest adalah gudang kecil agak jauh dari rumah, tempat usaha Bapak dan Mahest. Apa itu? Sound system dan antek-anteknya. Udah ngga bikin penasaran kan bisnis apa sih tuh anak kok sok sibuk? Hihi.
"Ohhh oke, kalo sampai rumah tolong bilangin ke orang rumah kalo gue main dulu," pintaku padanya.
"Siip," jawaban yang singkat dan langsung diakhiri, seperti biasa. Dengan tanpa tujuan, aku terus melajukan motorku sampai akhirnya aku berhenti di sebuah warung nasi pecel di pinggir jalan karena sudah terasa lapar. Aku masuk ke dalam dan memesan 1 porsi nasi pecel dan 1 botol air putih kemasan. Banyu juga butuh air ya, guys. Soalnya itu hanya nama, dan aku tetap manusia yang butuh air. Wkwk.
Setelahnya, aku duduk menunggu pesanan datang. Tak butuh lama, pesenan ku datang. Aku segera menyantap hidangan di depanku dan menikmati pemandangan yang kalian bisa tebak bahwa hal itu terkadang menyebabkan rasa iri. Ya, apalagi kalau manusia dengan pasangannya. Hih, bikes. Bikin kesel. Tak terasa waktu berlalu begitu saja, dan waktunya kembali untuk bekerja.
Mie: Aku di jalan, Mba. Bentar lagi sampai, tulis aku membalas pesan Mba kembar.
Segera aku masukkan ponsel ke ransel dan melajukan motorku ke rumah Mba kembar. Sesampainya di sana, sudah banyak orang berkumpul dan membantu mempersiapkan hidangan untuk nanti menyambut tamu dari pihak lelaki. Iya, di acara lamaran Mba kembar, aku dipercaya untuk mempercantik mereka berdua (Mba kembar yang artinya pasti 2 orang). Inilah yang sering aku kerjakan dalam 2 tahun terakhir, sebagai MUA. Tapi walaupun MUA, aku belum berani untuk merias pengantin. Bukan takut, tapi lebih ke membagi waktunya yang susah.
Sekarang aku sedang merias mereka satu per satu. Setelah selesai, kami berbincang terlebih dahulu sebelum mereka dipanggil untuk keluar kamar. Asik berbincang sampai pada waktunya Mba kembar keluar dari sarangnya. Eh, maksudnya kamar. Dikira burung kali, ah. Hehe. Karena sebelum mereka keluar, sudah terdengar ramai suara orang berbincang.
Satu jam berlalu, acara telah selesai. Tinggal beberapa orang yang masih di sini, mungkin mereka sanak saudara Mba kembar. Ketika aku mencari keberadaan Mba kembar, ternyata mereka sedang berbincang dengan seorang cowok yang dari belakang seperti aku kenal. Mba kembar yang sadar akan keberadaan ku yang tak jauh dari mereka duduk, Mba Rindi (salah satu dari Mba kembar) melambaikan tangan ke arahku, lalu si cowok yang tadi membelakangi ku menoleh ke belakang. Betapa shock-nya aku melihat cowok itu yang ternyata Nuga si sableng yang bukan Wira.
Aku berjalan maju menuju tempat duduk mereka bertiga dengan diselimuti oleh rasa kaget dan bertanya-tanya yang luar biasa.
"Duduk sini, Ga," ucap Mba Rindi dengan menggeser duduknya agar aku bisa duduk di sebelahnya.
"Iya, Mba. Oh ya, Mba, berhubung acara udah selesai dan udah larut malam juga, aku pamit pulang ya, Mba. Terima kasih atas kepercayaan yang Mba berikan padaku di acara yang spesial ini. Maaf kalo masih banyak yang kurang dan ngga sesuai harapan Mba Rindi dan keluarga," ucapku setelah duduk di sebelah Mba Rindi untuk meminta maaf sekaligus berpamitan.
"Sama-sama, Dek. Mba sekeluarga juga mengucapkan terima kasih dan maaf jika kita kurang dalam menyambut mu. Dan untuk hasil karya tanganmu, Mba sekeluarga sangat puas," jawab Mba Rindi dengan wajah berseri, menggambarkan bahwa dia begitu puas dengan hasil dempul ku. Asik. Haha. Aku hanya duduk diam sambil tersenyum ke arahnya sebagai jawaban.
"Oh ya, kenapa buru-buru pamit? Ngobrol dulu lah sama Nuga. Bukannya kalian saling kenal?" lanjutnya.
"Takut gue makan kali makanya buru-buru pamit," sahut Nuga seenak jidat. Dan itu membuat atensi kita bertiga langsung ke Nuga.
"Ngga gitu. Tapi ini udah malam, jadi lebih baik aku pulang. Ngobrol kan bisa di lain waktu, ya ngga, Mba?" jawabku meminta persetujuan Mba kembar.
"Bener juga sih apa katamu. Ya udah, kalo mau pulang hati-hati ya di jalan," jawab Mba kembar. "Nanti aku transfer sesuai kesepakatan ya, Dek."
"Siap, Mba. Udah ya, saya pamit pulang. Assalamualaikum," pamit ku segera berdiri untuk pergi.
"Waalaikumsalam. Hati-hati ya di jalan. Jangan ngebut bawa motornya," nasihat Mba Rindi. Sebagai jawaban, aku hanya tersenyum dan mengacungkan dua jempol tanganku. Akan beranjak dari sini, tiba-tiba terdengar suara Nuga.
"Ngga nanti aja, Ga. Nanti gue anterin pulang."
"Ngga," sahutku sambil berlalu untuk segera pulang, tidak mempedulikan ucapan Nuga yang lain.
Semenjak aku keluar dari rumah Mba kembar, aku merasa seperti ada yang mengikuti ku dari belakang. Aku tetap acuh dan diam saja. Tapi tepat di jalan yang penerangannya terang, aku melihat Nuga yang mengikuti ku meskipun berjarak agak lumayan, seperti tengah mengantarku pulang. Karena sangat lelah, aku hanya diam tanpa berniat berhenti untuk memastikan benar atau tidak. Dengan kecepatan standar, aku melajukan motorku sampai di pelataran rumah. Rumah sudah kelihatan sepi. Lah, memang tiap harinya bersuasana sepi sih kalau di sini. Tapi kalau keamanan, inshaallah bisa terjamin. Halah, prett. Kalo rejekinya kemalingan ya tetep, Ga. Otak loe memang kadang-kadang ngga fungsi, apalagi kalo lagi lelah letih. Bergegas aku memasukkan motorku ke garasi.
Dan benar saja, Nuga benar-benar mengantarku sampai rumah meskipun memang diberi jarak. Kalo sekarang, sekitar lima rumah dari rumahku. Aku pun mengambil ponsel di ransel lalu mendial nomor Nuga. Telepon tersambung.
"Loe mau mampir dulu ngga?" tanyaku langsung.
"Emang boleh?" jawabnya yang malah mengulur waktuku.
"Ngga usah basa-basi. Gue udah capek, Nu."
"Oke-oke. Ngga usah. Udah malam banget ini."
"Hmmm, makasih ya."
"Santai lah. Gue pulang ya."
"Hati-hati," ucapku mengakhiri obrolan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments