Beberapa menit berlalu, akhirnya aku sampai di kedai tempat janji temu. Seperti biasa, aku memarkir motorku di tempat yang tersedia.
"Ampun dah, demi sesuap nasi, gue harus nyempil di tempat seramai ini," batinku. Ah, elah, drama banget sih ngebatinnya. Karena nggak mau capek dengan hal konyol, sebelum masuk ke dalam, aku mencari nomor si pembuat janji.
"Halo, kamu di mana?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi.
"Loe udah sampai? Masuk aja, cari meja nomor 17. Gue udah di dalem," jawabnya.
"Oke—" Tut, tut, tut. Belum selesai aku jawab, teleponnya sudah dimatikan tanpa aba-aba.
"Sableng tuh orang, belum juga selesai ngomong 'oke' udah dimatiin aja," ucapku lirih, lebih ke bergumam sendiri. Dengan perasaan yang entah kenapa terasa mati. Lah, kalimat apaan tuh barusan? Mati rasa kali, ah.
Aku masuk, menoleh ke kanan dan kiri seperti mau menyeberang, mencari sesosok makhluk yang katanya menunggu di meja nomor 17. Cuma butuh beberapa detik sampai akhirnya aku melihat batang hidungnya yang mancung.
Anugrah.
Iya, benar. Yang aku temui seorang cowok. Kalian nggak salah tebak.
Anugrah Pangurip. Cowok dengan tinggi hampir 170 cm, kulit sawo matang, hidung mancung, bulu mata tebal, alis lebat, badan ideal—dan, pastinya, ganteng. Dulu, dia satu-satunya anggota OSIS sekaligus kakak kelas yang banyak digandrungi cewek-cewek. Waktu aku masih kelas X, dia menjabat sebagai Ketua OSIS. Iya, kami cuma beda dua tahun. Yang artinya, sekarang dia sudah jadi alumni SMKN Panji Gemilang. Oke, cukup sampai sini kenalannya. Nanti akan ada cerita lebih lanjut di bab selanjutnya. Harap sabar dan berlapang dada, ya, penonton. Hihi.
"On time amat, biasanya ngaret," sapaku tanpa sopan santun.
"Enak aja. Loe kali yang gitu. Duduk," jawabnya dengan gaya khas seorang pemimpin.
"Jadi, ada apa yang mulia memintaku meluangkan waktu untuk menemui Anda?" tanyaku dramatis sambil menarik kursi.
"Sabar napa, udah setahun berlalu, dan loe masih sama aja, nggak ada yang berubah. Oh ya, loe mau bakso apa? Sekalian minumnya juga?"
"Bayarin nggak nih? Ntar udah habis semangkok malah suruh bayar sendiri."
"Heh, gue nggak sepelit itu ya, apalagi sama cewek. Loe aja yang emang sewot dan anti banget sama cowok ganteng kayak gue." Ucapnya dengan percaya diri tingkat dewa.
Belum sempat aku jawab, dia sudah ngeloyor pergi ke kasir untuk memesan.
"Lah, aneh. Emang tau gue mau makan apa? Dasar nggak ada akhlak. Mirip siapa, ya? Kok kayak kenal? Lah, akhlaknya mirip si Mahest, adik laknat ku," batinku jengah.
Baru saja aku menikmati momen tenang beberapa detik, suara khasnya kembali terdengar.
"Tunggu bentar, lagi diproses."
"Oke," jawabku singkat.
"To the point aja, gue ngajak loe ketemu buat bahas yang dua hari lalu. Gimana, loe bisa kan dandanin kakak sama Ibu gue buat acara wisuda kakak?" jelasnya.
Oh iya, dua hari lalu dia memang telepon buat booking jasaku. Guys, inget ya, bukan jasa open BO loh. Katanya buat si kakak, tapi aku nggak begitu nanggepin karena takut cuma dikerjain—seperti yang pernah kejadian setahun lalu.
"Emang acaranya beneran bulan depan?" tanyaku.
"Nggak jadi, katanya dimajukan dua minggu lagi. Makanya gue gerak cepat ngabarin loe, siapa tahu loe beneran jadi orang yang sok sibuk."
"Gue beneran kadang sibuk, ya. Bukan sok sibuk. Lagian, aneh. Kenapa nggak kakak loe sendiri yang ngomong langsung? Kenapa harus lewat loe?" jawabku, mulai curiga. Nomorku kan udah banyak yang tahu, masa iya kakaknya nggak punya waktu sebentar buat ngomong sendiri?
"Kenapa emang? Nggak haram, kan? Kalau bukan karena kasihan dan males ribut, gue juga ogah. Lagian, gue juga ngerasa aneh sih kalau gue yang omong. Tapi ya udahlah, udah kecebur sekalian renang." Dia diam sebentar sebelum lanjut. "Kakak gue lagi nggak sehat dan harus istirahat total. Ibu nemenin kakak, Ayah sibuk kerja biar bisa ambil cuti pas hari H. Nah, yang ada waktu luang cuma gue. Kebetulan tinggal cari MUA, gue langsung keinget loe. Mengingat kerjaan loe yang demen main dempul, akhirnya gue telepon loe. Gue kira nomornya udah nggak aktif, ternyata masih."
Dari caranya ngomong, kayaknya dia nggak bohong. Berarti bukan modus, kan?
"Oh, begitu. Bisa sih, insyaAllah. Tapi masalahnya, hari apa? Kalau pas hari sekolah kan susah. Tau sendiri, semakin hari makin sibuk aja menjelang ujian akhir sama magang."
"Nah, itu dia masalahnya. Makanya gue agak ragu mau ngomong ke loe. Jujur aja, dua mingguan lagi itu pas hari Rabu," ucapnya, membuatku menarik napas dalam.
"Hmmm, gini deh. Coba kamu pastiin dulu, beneran di hari Rabu atau nggak. Kalau iya, nanti aku pikirin lagi gimana keputusannya," putus ku, masih bimbang.
Hadeh, udah mirip lirik lagu nggak sih?
Tiba-tiba aku sadar sesuatu. "Eh, bentar. Kayaknya ada yang kelewat, deh."
"Apaan?" tanya Nuga dengan ekspresi nahan kesel. Sumpah, malah bikin aku pengen ketawa.
"Ini beneran mereka yang lambat atau kamu yang pesen bakso di urutan terakhir? Kok belum datang-datang?"
"Lah, iya. Baru sadar gue. Bentar, gue susul deh. Keburu loe kabur lagi."
"Enak aja kalau ngomong," jawabku sewot.
"Kan bener. Itu tabiat loe, yang apa-apa nggak sabaran," balas Nuga sambil berlalu menuju kasir.
Nggak lama kemudian, dia datang dengan nampan di tangannya.
"Nih, makan," ucapnya.
Aku terkejut melihat apa yang ada di depan mataku. Semangkuk bakso mercon dengan topping pangsit, lengkap dengan segelas teh manis hangat.
"Hah, beneran nih? Kenapa tau kesukaanku? Dari mana bocorannya?" batinku, syok.
"Kenapa cuma diliatin? Udah nggak suka bakso mercon sama teh manis?" tanyanya, membuatku sedikit kaget.
"Hah? Ng—nggak kok. Masih suka," jawabku tergagap.
Tanpa banyak bicara lagi, kami segera menyantap bakso yang seakan melambai-lambai, minta dicaplok.
Heh, Marga. Mulutmu memang minta ditabok. Weh.
****
Setelah kurang lebih tiga jam pertemuan yang bikin otakku ngang-ngong dan badanku makin lelah, akhirnya aku tiba di rumah pukul 18.30. Ini sih bukan telat lagi namanya—udah masuk kategori kebangetan. Semua gara-gara biang kerok bernama Nuga.
Awalnya, setelah makan, aku berencana langsung pulang kalau memang tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Tapi entah kesambet apa, dia malah menahan ku dengan seribu alasan. Eh, enggak seribu juga sih, cuma beberapa alasan receh yang menurutku nggak penting.
"Kenapa buru-buru? Ini juga masih sore."
"Udah deh, tenang aja. Nanti gue anterin kalau takut pulang sendirian."
"Udah lama kan nggak ketemu? Sekali-kali lah kita ngobrol santai."
Hah, ini orang kesambet apaan sore-sore begini? Karena mulai muak dengan ocehannya, otakku pun mendadak iseng.
"Oke, aku pulang nanti. Tapi kamu sendiri yang harus minta izin ke Bapak. Berani nggak?"
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung menekan nomor Bapak. Nggak butuh waktu lama, panggilan tersambung.
"Assalamualaikum, Ga. Kenapa telepon?"
"Waalaikumsalam. Oh, nggak ada apa-apa, Pak. Cuma ini, temenku mau ngomong sesuatu sama Bapak."
"Oh ya? Siapa? Mau ngomong apa?"
Aku melirik Nuga yang langsung panik. Dengan menahan tawa, aku menyodorkan ponsel ke tangannya.
"Eh, gila loe! Awas aja beneran gue culik kalau gue berani ngomong sama Bapak loe," gerutunya pelan, hanya dengan gerakan mulut. Aku cuma mengedikkan bahu.
"Halo, Ga? Kok diam? Masih nyambung nggak ini?" suara Bapak terdengar lagi.
Mau tak mau, akhirnya Nuga bersuara, "Assalamualaikum, Pak. Ini Nuga, temennya Marga, yang ada janji sore ini buat ketemu. Sebenarnya udah selesai, tapi karena udah lama nggak ketemu, apa boleh saya ajak Marga main sebentar?"
"Waalaikumsalam. Oh, Nuga yang dulu pernah ke rumah? Boleh, asal jangan kemalaman, ya. Tolong ingat batasan."
"Iya, Pak. Baik. InsyaAllah aman," jawab Nuga dengan penuh kemenangan.
Telepon berakhir. Kalian pasti tahu apa yang terjadi setelahnya. Dan please, penulis mohon, jangan mikir yang aneh-aneh. Ini murni seperti kencan, titik.
Saat masuk rumah, Mahest,adik laknat ku langsung menyambut dengan komentar julid nya.
"Baru jam segini kok udah pulang? Katanya kencan?" ucapnya santai, duduk di ruang tengah, TV menyala, ponsel di tangannya.
"Kencan palamu. Yang ada, dijebak," sahutku sebal, langsung menuju kamar.
Begitu sampai di kasur, aku berencana rebahan sebentar sebelum adzan Isya. "Huh, lega! Untung tuh orang rada peka. Kalau nggak, udah matang nih badan," gumamku sambil merebahkan diri. Mungkin karena terlalu lelah, aku malah ketiduran.
Oh iya, sebelum ‘acara main’ yang lebih mirip kencan itu, aku sempat minta pulang sebentar karena gerah dan lengket. Aku masih pakai seragam sekolah sejak pagi. Bukan takut diomongin orang, tapi benar-benar nggak nyaman.
Tapi bukannya mengantarku pulang, Nuga malah membawa motornya ke SPBU. Kami berhenti di depan musholla, dan dengan santainya dia menyuruhku masuk ke toilet.
"Ngapain nyuruh ke toilet? Orang aku nggak kebelet juga," tanyaku bingung.
"Mandi, lah. Mau ngapain lagi? Katanya loe gerah. Nih, pakai ini, biar nggak dikira calon ani-ani," ucapnya sambil membuka jok motor dan menyerahkan plastik hitam padaku.
Aku meliriknya curiga. Belum sempat bertanya, dia sudah menambahkan, "Ini gamis kakak gue yang ketinggalan lama di jok motor. Gue lupa terus mau balikin ke dia. Udah jarang dipakai sih. Di dalam juga ada hijabnya, kalau nggak salah. Tapi… sorry…"
"Nggak ada dalamannya?" sahutku cepat.
Mata Nuga langsung melotot, mungkin shock aku ngomong gitu tanpa malu-malu.
"Gila loe! Sama sekali nggak ada rasa segan. Di depan gue loe ngomong gitu santai banget. Gue cowok, bego!"
Aku cuek. Masa bodoh dengan reaksi berlebihan dia. Tanpa bicara lagi, aku langsung berbalik dan masuk ke toilet di samping musholla.
****
Tok tok tok.
Suara ketukan terdengar di pintu kamarku.
"Ga, kamu tidur ya?" suara Mamak membangunkan ku dari luar.
"Iya, Mak. Bentar lagi aku keluar," jawabku dengan suara serak.
Setelah itu, tak ada suara lagi. Mungkin Mamak sudah pergi dari depan kamar. Aku bangun dengan muka bantal, masih menahan kantuk. Refleks, aku meraih ponsel di samping bantal dan melihat jam—sudah pukul 20.20. Astaga, solat Isya sudah telat! Dengan setengah sadar, aku segera keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Saat aku baru saja menaruh mukena di dekat pintu musholla kecil di rumah, Mamak tiba-tiba menghampiriku.
"Ga, kamu udah makan?" tanyanya lembut.
"Udah, tadi makan bakso, Mak," jawabku santai. "Oh ya, Mahest sama Bapak mana?"
"Tadi masih sibuk di depan sama perkakasnya. Sekarang kayaknya udah nonton TV, deh."
Benar saja, saat aku melangkah ke ruang tengah, di sana sudah ada Bapak dan Mahest yang duduk santai menonton TV.
"Hest, geseran dikit," pintaku sambil berdiri di sampingnya.
"Kebiasaan loe! Nggak pernah ngebiarin gue hidup tenang," gerutunya dengan malas.
"Hih, apaan sih?" sahutku sambil nyengir.
Meski terdengar jengkel, Mahest tetap bergeser sedikit, memberi ruang untukku. Dengan sumringah, aku langsung duduk selonjoran di atas karpet bulu yang lembut di sampingnya.
Beginilah keluargaku saat malam tiba—berkumpul di ruang tengah, berbincang tentang banyak hal. Kadang obrolannya serius, tapi lebih sering berisi topik random yang bikin ngakak. Aku selalu salut dengan kedua orang tuaku. Meskipun mereka sibuk dengan tanggung jawab sebagai orang tua, mereka juga punya karier masing-masing.
Bapak memang pernah bekerja sebagai kuli, tapi sebenarnya itu sudah lama jadi pekerjaan sampingan. Justru usaha yang beliau jalankan sekarang sudah berdiri sejak aku mau masuk SMP, berbarengan dengan usaha yang Mamak rintis. Alhamdulillah, semua berjalan lancar sampai sekarang.
Kami bukan keluarga kaya. Masih ada banyak orang di atas kami, seperti Aghis dan Ayu,dua sahabatku sejak SMP.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
ᴍᴏᴛʜᴇʀ ᴍᴏᴛʜᴇʀ🖤
Benar-benar merinding dan merasa terobsesi dengan cerita ini, thor! ❤️
2024-11-11
1