Bab 3 Bertemu Cowok Aneh

Beberapa menit berlalu, akhirnya aku sampai di kedai tempat janji temu. Seperti biasa, aku memarkir motorku di tempat yang tersedia.

"Ampun dah, demi sesuap nasi, gue harus nyempil di tempat seramai ini," batinku. Ah, elah, drama banget sih ngebatinnya. Karena nggak mau capek dengan hal konyol, sebelum masuk ke dalam, aku mencari nomor si pembuat janji.

"Halo, kamu di mana?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi.

"Loe udah sampai? Masuk aja, cari meja nomor 17. Gue udah di dalem," jawabnya.

"Oke—" Tut, tut, tut. Belum selesai aku jawab, teleponnya sudah dimatikan tanpa aba-aba.

"Sableng tuh orang, belum juga selesai ngomong 'oke' udah dimatiin aja," ucapku lirih, lebih ke bergumam sendiri. Dengan perasaan yang entah kenapa terasa mati. Lah, kalimat apaan tuh barusan? Mati rasa kali, ah.

Aku masuk, menoleh ke kanan dan kiri seperti mau menyeberang, mencari sesosok makhluk yang katanya menunggu di meja nomor 17. Cuma butuh beberapa detik sampai akhirnya aku melihat batang hidungnya yang mancung.

Anugrah.

Iya, benar. Yang aku temui seorang cowok. Kalian nggak salah tebak.

Anugrah Pangurip. Cowok dengan tinggi hampir 170 cm, kulit sawo matang, hidung mancung, bulu mata tebal, alis lebat, badan ideal—dan, pastinya, ganteng. Dulu, dia satu-satunya anggota OSIS sekaligus kakak kelas yang banyak digandrungi cewek-cewek. Waktu aku masih kelas X, dia menjabat sebagai Ketua OSIS. Iya, kami cuma beda dua tahun. Yang artinya, sekarang dia sudah jadi alumni SMKN Panji Gemilang. Oke, cukup sampai sini kenalannya. Nanti akan ada cerita lebih lanjut di bab selanjutnya. Harap sabar dan berlapang dada, ya, penonton. Hihi.

"On time amat, biasanya ngaret," sapaku tanpa sopan santun.

"Enak aja. Loe kali yang gitu. Duduk," jawabnya dengan gaya khas seorang pemimpin.

"Jadi, ada apa yang mulia memintaku meluangkan waktu untuk menemui Anda?" tanyaku dramatis sambil menarik kursi.

"Sabar napa, udah setahun berlalu, dan loe masih sama aja, nggak ada yang berubah. Oh ya, loe mau bakso apa? Sekalian minumnya juga?"

"Bayarin nggak nih? Ntar udah habis semangkok malah suruh bayar sendiri."

"Heh, gue nggak sepelit itu ya, apalagi sama cewek. Loe aja yang emang sewot dan anti banget sama cowok ganteng kayak gue." Ucapnya dengan percaya diri tingkat dewa.

Belum sempat aku jawab, dia sudah ngeloyor pergi ke kasir untuk memesan.

"Lah, aneh. Emang tau gue mau makan apa? Dasar nggak ada akhlak. Mirip siapa, ya? Kok kayak kenal? Lah, akhlaknya mirip si Mahest, adik laknat ku," batinku jengah.

Baru saja aku menikmati momen tenang beberapa detik, suara khasnya kembali terdengar.

"Tunggu bentar, lagi diproses."

"Oke," jawabku singkat.

"To the point aja, gue ngajak loe ketemu buat bahas yang dua hari lalu. Gimana, loe bisa kan dandanin kakak sama Ibu gue buat acara wisuda kakak?" jelasnya.

Oh iya, dua hari lalu dia memang telepon buat booking jasaku. Guys, inget ya, bukan jasa open BO loh. Katanya buat si kakak, tapi aku nggak begitu nanggepin karena takut cuma dikerjain—seperti yang pernah kejadian setahun lalu.

"Emang acaranya beneran bulan depan?" tanyaku.

"Nggak jadi, katanya dimajukan dua minggu lagi. Makanya gue gerak cepat ngabarin loe, siapa tahu loe beneran jadi orang yang sok sibuk."

"Gue beneran kadang sibuk, ya. Bukan sok sibuk. Lagian, aneh. Kenapa nggak kakak loe sendiri yang ngomong langsung? Kenapa harus lewat loe?" jawabku, mulai curiga. Nomorku kan udah banyak yang tahu, masa iya kakaknya nggak punya waktu sebentar buat ngomong sendiri?

"Kenapa emang? Nggak haram, kan? Kalau bukan karena kasihan dan males ribut, gue juga ogah. Lagian, gue juga ngerasa aneh sih kalau gue yang omong. Tapi ya udahlah, udah kecebur sekalian renang." Dia diam sebentar sebelum lanjut. "Kakak gue lagi nggak sehat dan harus istirahat total. Ibu nemenin kakak, Ayah sibuk kerja biar bisa ambil cuti pas hari H. Nah, yang ada waktu luang cuma gue. Kebetulan tinggal cari MUA, gue langsung keinget loe. Mengingat kerjaan loe yang demen main dempul, akhirnya gue telepon loe. Gue kira nomornya udah nggak aktif, ternyata masih."

Dari caranya ngomong, kayaknya dia nggak bohong. Berarti bukan modus, kan?

"Oh, begitu. Bisa sih, insyaAllah. Tapi masalahnya, hari apa? Kalau pas hari sekolah kan susah. Tau sendiri, semakin hari makin sibuk aja menjelang ujian akhir sama magang."

"Nah, itu dia masalahnya. Makanya gue agak ragu mau ngomong ke loe. Jujur aja, dua mingguan lagi itu pas hari Rabu," ucapnya, membuatku menarik napas dalam.

"Hmmm, gini deh. Coba kamu pastiin dulu, beneran di hari Rabu atau nggak. Kalau iya, nanti aku pikirin lagi gimana keputusannya," putus ku, masih bimbang.

Hadeh, udah mirip lirik lagu nggak sih?

Tiba-tiba aku sadar sesuatu. "Eh, bentar. Kayaknya ada yang kelewat, deh."

"Apaan?" tanya Nuga dengan ekspresi nahan kesel. Sumpah, malah bikin aku pengen ketawa.

"Ini beneran mereka yang lambat atau kamu yang pesen bakso di urutan terakhir? Kok belum datang-datang?"

"Lah, iya. Baru sadar gue. Bentar, gue susul deh. Keburu loe kabur lagi."

"Enak aja kalau ngomong," jawabku sewot.

"Kan bener. Itu tabiat loe, yang apa-apa nggak sabaran," balas Nuga sambil berlalu menuju kasir.

Nggak lama kemudian, dia datang dengan nampan di tangannya.

"Nih, makan," ucapnya.

Aku terkejut melihat apa yang ada di depan mataku. Semangkuk bakso mercon dengan topping pangsit, lengkap dengan segelas teh manis hangat.

"Hah, beneran nih? Kenapa tau kesukaanku? Dari mana bocorannya?" batinku, syok.

"Kenapa cuma diliatin? Udah nggak suka bakso mercon sama teh manis?" tanyanya, membuatku sedikit kaget.

"Hah? Ng—nggak kok. Masih suka," jawabku tergagap.

Tanpa banyak bicara lagi, kami segera menyantap bakso yang seakan melambai-lambai, minta dicaplok.

Heh, Marga. Mulutmu memang minta ditabok. Weh.

****

Setelah kurang lebih tiga jam pertemuan yang bikin otakku ngang-ngong dan badanku makin lelah, akhirnya aku tiba di rumah pukul 18.30. Ini sih bukan telat lagi namanya—udah masuk kategori kebangetan. Semua gara-gara biang kerok bernama Nuga.

Awalnya, setelah makan, aku berencana langsung pulang kalau memang tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Tapi entah kesambet apa, dia malah menahan ku dengan seribu alasan. Eh, enggak seribu juga sih, cuma beberapa alasan receh yang menurutku nggak penting.

"Kenapa buru-buru? Ini juga masih sore."

"Udah deh, tenang aja. Nanti gue anterin kalau takut pulang sendirian."

"Udah lama kan nggak ketemu? Sekali-kali lah kita ngobrol santai."

Hah, ini orang kesambet apaan sore-sore begini? Karena mulai muak dengan ocehannya, otakku pun mendadak iseng.

"Oke, aku pulang nanti. Tapi kamu sendiri yang harus minta izin ke Bapak. Berani nggak?"

Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung menekan nomor Bapak. Nggak butuh waktu lama, panggilan tersambung.

"Assalamualaikum, Ga. Kenapa telepon?"

"Waalaikumsalam. Oh, nggak ada apa-apa, Pak. Cuma ini, temenku mau ngomong sesuatu sama Bapak."

"Oh ya? Siapa? Mau ngomong apa?"

Aku melirik Nuga yang langsung panik. Dengan menahan tawa, aku menyodorkan ponsel ke tangannya.

"Eh, gila loe! Awas aja beneran gue culik kalau gue berani ngomong sama Bapak loe," gerutunya pelan, hanya dengan gerakan mulut. Aku cuma mengedikkan bahu.

"Halo, Ga? Kok diam? Masih nyambung nggak ini?" suara Bapak terdengar lagi.

Mau tak mau, akhirnya Nuga bersuara, "Assalamualaikum, Pak. Ini Nuga, temennya Marga, yang ada janji sore ini buat ketemu. Sebenarnya udah selesai, tapi karena udah lama nggak ketemu, apa boleh saya ajak Marga main sebentar?"

"Waalaikumsalam. Oh, Nuga yang dulu pernah ke rumah? Boleh, asal jangan kemalaman, ya. Tolong ingat batasan."

"Iya, Pak. Baik. InsyaAllah aman," jawab Nuga dengan penuh kemenangan.

Telepon berakhir. Kalian pasti tahu apa yang terjadi setelahnya. Dan please, penulis mohon, jangan mikir yang aneh-aneh. Ini murni seperti kencan, titik.

Saat masuk rumah, Mahest,adik laknat ku langsung menyambut dengan komentar julid nya.

"Baru jam segini kok udah pulang? Katanya kencan?" ucapnya santai, duduk di ruang tengah, TV menyala, ponsel di tangannya.

"Kencan palamu. Yang ada, dijebak," sahutku sebal, langsung menuju kamar.

Begitu sampai di kasur, aku berencana rebahan sebentar sebelum adzan Isya. "Huh, lega! Untung tuh orang rada peka. Kalau nggak, udah matang nih badan," gumamku sambil merebahkan diri. Mungkin karena terlalu lelah, aku malah ketiduran.

Oh iya, sebelum ‘acara main’ yang lebih mirip kencan itu, aku sempat minta pulang sebentar karena gerah dan lengket. Aku masih pakai seragam sekolah sejak pagi. Bukan takut diomongin orang, tapi benar-benar nggak nyaman.

Tapi bukannya mengantarku pulang, Nuga malah membawa motornya ke SPBU. Kami berhenti di depan musholla, dan dengan santainya dia menyuruhku masuk ke toilet.

"Ngapain nyuruh ke toilet? Orang aku nggak kebelet juga," tanyaku bingung.

"Mandi, lah. Mau ngapain lagi? Katanya loe gerah. Nih, pakai ini, biar nggak dikira calon ani-ani," ucapnya sambil membuka jok motor dan menyerahkan plastik hitam padaku.

Aku meliriknya curiga. Belum sempat bertanya, dia sudah menambahkan, "Ini gamis kakak gue yang ketinggalan lama di jok motor. Gue lupa terus mau balikin ke dia. Udah jarang dipakai sih. Di dalam juga ada hijabnya, kalau nggak salah. Tapi… sorry…"

"Nggak ada dalamannya?" sahutku cepat.

Mata Nuga langsung melotot, mungkin shock aku ngomong gitu tanpa malu-malu.

"Gila loe! Sama sekali nggak ada rasa segan. Di depan gue loe ngomong gitu santai banget. Gue cowok, bego!"

Aku cuek. Masa bodoh dengan reaksi berlebihan dia. Tanpa bicara lagi, aku langsung berbalik dan masuk ke toilet di samping musholla.

****

Tok tok tok.

Suara ketukan terdengar di pintu kamarku.

"Ga, kamu tidur ya?" suara Mamak membangunkan ku dari luar.

"Iya, Mak. Bentar lagi aku keluar," jawabku dengan suara serak.

Setelah itu, tak ada suara lagi. Mungkin Mamak sudah pergi dari depan kamar. Aku bangun dengan muka bantal, masih menahan kantuk. Refleks, aku meraih ponsel di samping bantal dan melihat jam—sudah pukul 20.20. Astaga, solat Isya sudah telat! Dengan setengah sadar, aku segera keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Saat aku baru saja menaruh mukena di dekat pintu musholla kecil di rumah, Mamak tiba-tiba menghampiriku.

"Ga, kamu udah makan?" tanyanya lembut.

"Udah, tadi makan bakso, Mak," jawabku santai. "Oh ya, Mahest sama Bapak mana?"

"Tadi masih sibuk di depan sama perkakasnya. Sekarang kayaknya udah nonton TV, deh."

Benar saja, saat aku melangkah ke ruang tengah, di sana sudah ada Bapak dan Mahest yang duduk santai menonton TV.

"Hest, geseran dikit," pintaku sambil berdiri di sampingnya.

"Kebiasaan loe! Nggak pernah ngebiarin gue hidup tenang," gerutunya dengan malas.

"Hih, apaan sih?" sahutku sambil nyengir.

Meski terdengar jengkel, Mahest tetap bergeser sedikit, memberi ruang untukku. Dengan sumringah, aku langsung duduk selonjoran di atas karpet bulu yang lembut di sampingnya.

Beginilah keluargaku saat malam tiba—berkumpul di ruang tengah, berbincang tentang banyak hal. Kadang obrolannya serius, tapi lebih sering berisi topik random yang bikin ngakak. Aku selalu salut dengan kedua orang tuaku. Meskipun mereka sibuk dengan tanggung jawab sebagai orang tua, mereka juga punya karier masing-masing.

Bapak memang pernah bekerja sebagai kuli, tapi sebenarnya itu sudah lama jadi pekerjaan sampingan. Justru usaha yang beliau jalankan sekarang sudah berdiri sejak aku mau masuk SMP, berbarengan dengan usaha yang Mamak rintis. Alhamdulillah, semua berjalan lancar sampai sekarang.

Kami bukan keluarga kaya. Masih ada banyak orang di atas kami, seperti Aghis dan Ayu,dua sahabatku sejak SMP.

Terpopuler

Comments

ᴍᴏᴛʜᴇʀ ᴍᴏᴛʜᴇʀ🖤

ᴍᴏᴛʜᴇʀ ᴍᴏᴛʜᴇʀ🖤

Benar-benar merinding dan merasa terobsesi dengan cerita ini, thor! ❤️

2024-11-11

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 Perkenalan
2 Bab 2 Rutinitas
3 Bab 3 Bertemu Cowok Aneh
4 Bab 4 Setelah Jam Kosong Terbitlah Kerja
5 Bab 5 Ulah Nuga
6 Bab 6 1 Tahun Lalu
7 Bab 7 Nuga dan perasaannya
8 Bab 8 Agak Lain
9 Bab 9 Pagi Di Hari Rabu
10 Bab 10 Kok Sakit Ya
11 Bab 11 Gabutku yang setara anak TK
12 Bab 12 Kerja Sama
13 13 Kedatangan Kutu Rambut
14 Bab 14 Foto Bersama
15 Bab 15 Back To School
16 Bab 16 Pernikahan Anak Tetangga
17 Bab 17 Setelah Hajatan Di Rumah Tentangga
18 Bab 18 Perlombaan
19 Bab 19 Pengumuman Lomba Dan Bazar
20 Bab 20 Aneka Rasa
21 Bab 21 Siapa Dan Kenapa Riana ?
22 Bab 22 Riana Mba-Mba
23 Bab 23 Minggu Kedatangan Kak Jenar
24 Bab 24 Ujian Pertama Dan Sekotak paket
25 Bab 25 Isi Paket
26 Bab 26 Sharing Pendapat
27 Bab 27 Sedikit Konslet Ngga Ngaruh
28 Bab 28 Sakit Tak Berdarah
29 Bab 29 Keputusan
30 Bab 30 Jatuh Yang Bukan Cinta.
31 Bab 31 Ke Rumah Sakit
32 Bab 32 Mas Senopati Ramdan
33 Bab 33 Pesan,Nasehat Dan Saran.
34 Bab 34 Selo Dan Keluarga Bertamu
35 Bab 35 Masalah Story
36 Bab 36 Magang
37 Bab 37 Magang 2 ( Masuk Liburan Semester )
38 Bab 38 Magang 3 ( Liburan Semester )
39 Bab 39 Wejangan Dari Pak Salim ( Mulai Masuk Sekolah )
40 Bab 40 Seno Dengan Bujuk Rayunya
41 Bab 41 Masih Magang
42 Bab 42 Bertemu Untuk Kembali Berpisah
43 Bab 43 Double Job ( Masih Magang )
44 Bab 44 Masih Seputar Magang
45 Bab 45 Ranger Pink tepar ( Menginap Di Toko )
46 Bab 46 Masih Di Toko
47 Bab 47 Pulang
48 Bab 48 Kembali Nguli
49 Bab 49 Cerita Malam
50 Bab 50 Hari Berakhirnya Magang
51 Bab 51 Ngga Ada Judul
52 Bab 52 Di Sekolah
53 Bab 53 Sibukku Hanya Menutup Rindu
54 Bab 54 Tante Julid
55 Bab 55 Sampai Di Kota Tujuan.
56 Bab 56 Liburan ( Agenda Yang Sempat Tertunda )
57 Bab 57 Perjalanan Pulang
58 Bab 58 Bumbu Kehidupan Adalah Masalah
59 Bab 59 Pada Intinya.
60 Bab 60
61 Bab 61 Perjalanan
62 Bab 62 Tour 1
63 Bab 63 Tour 2
64 Bab 64 Tour 3 ( pulang )
65 Bab 65
66 Bab 66 Di Rumah Saja
67 Bab 67 Masih Di Rumah
68 Bab 68 Ada Yang Berbeda
69 Bab 69 Kerja Nyata Banyak Drama.
70 Bab 70 Tiba-tiba
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73 Andi dan Jani
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
Episodes

Updated 78 Episodes

1
Bab 1 Perkenalan
2
Bab 2 Rutinitas
3
Bab 3 Bertemu Cowok Aneh
4
Bab 4 Setelah Jam Kosong Terbitlah Kerja
5
Bab 5 Ulah Nuga
6
Bab 6 1 Tahun Lalu
7
Bab 7 Nuga dan perasaannya
8
Bab 8 Agak Lain
9
Bab 9 Pagi Di Hari Rabu
10
Bab 10 Kok Sakit Ya
11
Bab 11 Gabutku yang setara anak TK
12
Bab 12 Kerja Sama
13
13 Kedatangan Kutu Rambut
14
Bab 14 Foto Bersama
15
Bab 15 Back To School
16
Bab 16 Pernikahan Anak Tetangga
17
Bab 17 Setelah Hajatan Di Rumah Tentangga
18
Bab 18 Perlombaan
19
Bab 19 Pengumuman Lomba Dan Bazar
20
Bab 20 Aneka Rasa
21
Bab 21 Siapa Dan Kenapa Riana ?
22
Bab 22 Riana Mba-Mba
23
Bab 23 Minggu Kedatangan Kak Jenar
24
Bab 24 Ujian Pertama Dan Sekotak paket
25
Bab 25 Isi Paket
26
Bab 26 Sharing Pendapat
27
Bab 27 Sedikit Konslet Ngga Ngaruh
28
Bab 28 Sakit Tak Berdarah
29
Bab 29 Keputusan
30
Bab 30 Jatuh Yang Bukan Cinta.
31
Bab 31 Ke Rumah Sakit
32
Bab 32 Mas Senopati Ramdan
33
Bab 33 Pesan,Nasehat Dan Saran.
34
Bab 34 Selo Dan Keluarga Bertamu
35
Bab 35 Masalah Story
36
Bab 36 Magang
37
Bab 37 Magang 2 ( Masuk Liburan Semester )
38
Bab 38 Magang 3 ( Liburan Semester )
39
Bab 39 Wejangan Dari Pak Salim ( Mulai Masuk Sekolah )
40
Bab 40 Seno Dengan Bujuk Rayunya
41
Bab 41 Masih Magang
42
Bab 42 Bertemu Untuk Kembali Berpisah
43
Bab 43 Double Job ( Masih Magang )
44
Bab 44 Masih Seputar Magang
45
Bab 45 Ranger Pink tepar ( Menginap Di Toko )
46
Bab 46 Masih Di Toko
47
Bab 47 Pulang
48
Bab 48 Kembali Nguli
49
Bab 49 Cerita Malam
50
Bab 50 Hari Berakhirnya Magang
51
Bab 51 Ngga Ada Judul
52
Bab 52 Di Sekolah
53
Bab 53 Sibukku Hanya Menutup Rindu
54
Bab 54 Tante Julid
55
Bab 55 Sampai Di Kota Tujuan.
56
Bab 56 Liburan ( Agenda Yang Sempat Tertunda )
57
Bab 57 Perjalanan Pulang
58
Bab 58 Bumbu Kehidupan Adalah Masalah
59
Bab 59 Pada Intinya.
60
Bab 60
61
Bab 61 Perjalanan
62
Bab 62 Tour 1
63
Bab 63 Tour 2
64
Bab 64 Tour 3 ( pulang )
65
Bab 65
66
Bab 66 Di Rumah Saja
67
Bab 67 Masih Di Rumah
68
Bab 68 Ada Yang Berbeda
69
Bab 69 Kerja Nyata Banyak Drama.
70
Bab 70 Tiba-tiba
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73 Andi dan Jani
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!