Redamancy

Redamancy

1. Sendiri

Tidak ada yang lebih menenangkan selain kesendirian. Sudah 2 tahun berlalu sejak gadis itu lulus sekolah, kesendirian selalu berteman baik dengannya. Membawa damai, menenangkan hati, selalu memberi ruang berlebih untuk Spica merenungi hidupnya.

Entah harus bahagia atau sedih. Sebab masa depan, salah satu yang di pikirkannya terlihat seperti bintang yang tertutup mendung tipis, semu.

Entah bahagia atau sedih, perjuangan menyekolahkan adiknya tercinta, berhasil. Berhasil mengubur dalam mimpinya sebagai tenaga kesehatan.

Lelah dengan rutinitas dan tanggungjawabnya, Spica menarik selimut menutupi sekujur tubuh. Memilih memejamkan netranya yang kian perih.

Tidak ada drama susah tidur dan gelisah, malam ini, tidurnya nyenyak walau beban hidupnya tidak berkurang sedikitpun. Sampai waktu menunjukkan pukul 3, yang mana Alarm berbunyi cukup nyaring, Spica langsung terbangun dan bergegas mematikan alarm tersebut.

Spica beranjak dari single bed, mengambil roti sobek juga buah apel dan pisang untuk dibawa menuju luar. Suara pintu terbuka terdengar nyaring pada dini hari. Pandangan Spica langsung disambut dengan kesunyian dan cahaya remang dari lampu teras. Spica duduk bersila, bersandar di kusen pintu sembari menikmati sarapannya di sepertiga malam.

Hari ini jadwal Spica membayar hutang puasanya, gadis itu hanya memakan stok makanan yang ada untuk sahurnya. Sebenarnya tidak sahur pun Spica bisa menyelesaikan puasanya, hanya saja sayang sekali jika tidak menghabiskan roti sobek yang sudah expired tepat hari ini.

Spica tidak suka membuang-buang makanan, apalagi hidup di perantauan mengharuskan dirinya untuk tetap hemat. Ekstra hemat dari saat dirinya ngekost waktu sekolah.

Merasa sudah kenyang, Spica lantas membersihkan diri, bersiap-siap untuk pergi bekerja.

Jam 6 lebih 15 menit Spica sudah selesai berkemas, gadis itu mengunci kontrakannya, berjalan menyusuri gang untuk sampai di jalan utama. Spica berdiri menunggu bis karyawan, ada banyak orang yang mengenakan seragam yang sama dengannya. Beberapa dari pabrik lain juga ada.

Entah di tempat ramai atau sepi, gadis itu selalu sendiri. Bukannya tidak punya teman, ada beberapa teman yang berinteraksi dengannya, hanya basa-basi. Entahlah, gadis itu lebih nyaman seorang diri. Tidak perlu mengikuti kemauan ataupun mengurus dirinya sendiri demi menjaga perasaan orang lain.

Tidak perlu jika dirinya seorang diri.

Bekerja sebagai buruh pabrik di kota industri tidak semengerikan dan seribet yang orang katakan. Spica hanya perlu bekerja sesuai jobdesk dan segera pulang lalu beristirahat. Tidak perlu membuang-buang waktu untuk berinteraksi dengan orang-orang yang hanya akan membuang energi dan uang. Berteman seakan sudah dekat, saling menukar kado atau bahkan makan bersama yang mana hanya formalitas belaka.

"Hai, kamu Spica anak line 4 ya?"

Sebuah suara perempuan menyambut Spica begitu memasuki loker, gadis itu menoleh dengan wajah penuh tanda tanya. "Kenapa?"

"Kamu kenal Ardiansyah?" gadis yang Spica tidak ketahui namanya itu bertanya tanpa basa-basi. Nadanya begitu tegas seperti seorang polisi yang sedang mengintrogasi tersangka pecurian.

Spica menggeleng.

"Masa sih?" Gadis itu memicingkan mata, tidak yakin dengan jawaban yang diterima. Kentara sekali jika dirinya curiga Spica berkata bohong.

"Dia anak Line 5, sering liatin kamu pas lagi kerja." Gadis itu menjelaskan tanpa diminta.

"Terus?" Kali ini Spica terheran. Wajar jika ada cowok yang melihatnya saat sedang kerja, apalagi dengan Line yang saling berdekatan. Cowok itu juga punya mata yang gunanya, untuk apa lagi jika bukan melihat?

Bukannya sok polos, Spica hanya bersikap bodoamat. Tidak ingin kepedean pula. Manusia melihat manusia lainnya itu tindakan yang wajar selama tidak ada maksud tertentu yang dapat merugikan salah satunya.

"Aku kira kalian saling kenal." Gadis itu bergumam sembari merapikan barang bawaannya.

Spica menggeleng. "Tidak."

"Ya udah, makasih ya..." ucapnya kemudian pergi.

Tanpa mengatakan apapun, Spica membuang pandangannya. Gadis itu kembali menyelesaikan aktivitasnya di loker, kemudian bergegas menuju tempat absen dan ruang produksi. Tidak ketinggalan memakai masker andalannya.

Suasana di dalam ruang produksi masih sunyi dan temaram, hanya ada lampu emergency yang menyala. Spica berinisiatif mengambil sapu karena tempat kerjanya kotor, hari ini lawan shiftnya pasti sangat sibuk karena tidak sempat membersihkan sisa-sisa kerja. Spica memaklumi itu, karena dirinya dan anak-anak pun kadang melakukan hal yang sama.

Selesai menyapu, gadis itu duduk sembari menekan tombol power pada CPU. Sedetik kemudian layar monitor yang gelap berubah menjadi putih, kemudian memunculkan gambar segerombolan kuda berlari di padang pasir. Wallpaper bawaan komputer yang terlalu pasaran itu terlihat membosankan di netra Spica. Di atasnya, berjejer icon yang merupakan sekumpulan program yang dimiliki komputer tersebut. Ada beberapa program tambahan yang memang dibuat oleh perusahaan untuk mempermudah dalam pekerjaan. Spica meng klik salah satunya kemudian login dengan memasukkan ID.

"Pagi banget neng?"

Spica menoleh begitu mendengar suara bariton di sampingnya, terasa dekat. Dan benar saja, gadis itu reflek menjauh saat mendapati cowok sedang berdiri tepat di belakangnya. Jika tangannya mengungkung pasti akan sangat romantis. Atau mungkin terlihat seperti pasangan mesum karena begitu dekatnya.

Batin Spica merutuk, baru saja beberapa jam merapalkan niat puasa, cobaan pertama dengan semangat menyapanya.

"Kaget ya?" cowok itu bertanya tanpa rasa bersalah. Wajahnya terlihat senang, terhibur dengan respon Spica yang seperti orang terkejut.

Karena tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Spica, Cowok itu kembali membuka topik. "Rajin sekali sudah siap, padahal masih ada 30 menit lagi."

"Ya, sudah terbiasa." Spica menggeser kursi agar bisa kembali duduk. Sedangkan si cowok kini bersandar pada conveyor dengan kedua tangan melipat ke depan.

Cowok dengan perawakan tinggi putih itu terlihat manis. Tapi tidak tahu jika maskernya dibuka apakah masih sama atau tidak. Spica tidak peduli itu karena intinya, sekarang dirinya begitu risih di dekati cowok yang entah darimana asalnya. Spica merasa tidak pernah melihat ataupun berbincang dengan si cowok sebelumnya. Dan entah apa yang membuat cowok itu tiba-tiba mendekat, mungkin saja karena kesepian atau memang sedang mencari teman saja.

"Kamu enggak ingin balik bertanya? Tidak merasa penasaran?" tanya si cowok.

"Tidak kepikiran." Spica menjawab dengan jujur.

Tiba-tiba suara tawa menggema, mengisi ruangan yang kini mulai terisi oleh beberapa pekerja. Si cowok ternyata begitu renyahnya. Sedangkan Spica hanya melihat dengan datar, sesaat netranya melirik Id card cowok itu dan mendapati nama Diky Ardiansyah.

"Apa dia yang di maksud?" batinnya.

"Kamu pasti enggak punya teman karena bicaramu begitu irit dan tidak ada inisiatif?" Cowok bernama Diky itu menghakimi. "Tapi tidak apa, aku mau menjadi temanmu." lanjutnya sembari mengerlingkan sebelah matanya.

Spica berdecak. "Tidak minat."

"Jutek sekali manusia satu ini... Ya sudah, aku pergi dulu ms. lonely." Diky pergi tanpa menunggu respon Spica.

Gadis itu pun tidak peduli. Sepeninggal si pengganggu, Spica memilih tidur sembari bersandar di conveyor.

"Cewek kesepian? ck, yang benar saja!" batinnya sebelum akhirnya memejamkan mata.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!