NovelToon NovelToon

Redamancy

1. Sendiri

Tidak ada yang lebih menenangkan selain kesendirian. Sudah 2 tahun berlalu sejak gadis itu lulus sekolah, kesendirian selalu berteman baik dengannya. Membawa damai, menenangkan hati, selalu memberi ruang berlebih untuk Spica merenungi hidupnya.

Entah harus bahagia atau sedih. Sebab masa depan, salah satu yang di pikirkannya terlihat seperti bintang yang tertutup mendung tipis, semu.

Entah bahagia atau sedih, perjuangan menyekolahkan adiknya tercinta, berhasil. Berhasil mengubur dalam mimpinya sebagai tenaga kesehatan.

Lelah dengan rutinitas dan tanggungjawabnya, Spica menarik selimut menutupi sekujur tubuh. Memilih memejamkan netranya yang kian perih.

Tidak ada drama susah tidur dan gelisah, malam ini, tidurnya nyenyak walau beban hidupnya tidak berkurang sedikitpun. Sampai waktu menunjukkan pukul 3, yang mana Alarm berbunyi cukup nyaring, Spica langsung terbangun dan bergegas mematikan alarm tersebut.

Spica beranjak dari single bed, mengambil roti sobek juga buah apel dan pisang untuk dibawa menuju luar. Suara pintu terbuka terdengar nyaring pada dini hari. Pandangan Spica langsung disambut dengan kesunyian dan cahaya remang dari lampu teras. Spica duduk bersila, bersandar di kusen pintu sembari menikmati sarapannya di sepertiga malam.

Hari ini jadwal Spica membayar hutang puasanya, gadis itu hanya memakan stok makanan yang ada untuk sahurnya. Sebenarnya tidak sahur pun Spica bisa menyelesaikan puasanya, hanya saja sayang sekali jika tidak menghabiskan roti sobek yang sudah expired tepat hari ini.

Spica tidak suka membuang-buang makanan, apalagi hidup di perantauan mengharuskan dirinya untuk tetap hemat. Ekstra hemat dari saat dirinya ngekost waktu sekolah.

Merasa sudah kenyang, Spica lantas membersihkan diri, bersiap-siap untuk pergi bekerja.

Jam 6 lebih 15 menit Spica sudah selesai berkemas, gadis itu mengunci kontrakannya, berjalan menyusuri gang untuk sampai di jalan utama. Spica berdiri menunggu bis karyawan, ada banyak orang yang mengenakan seragam yang sama dengannya. Beberapa dari pabrik lain juga ada.

Entah di tempat ramai atau sepi, gadis itu selalu sendiri. Bukannya tidak punya teman, ada beberapa teman yang berinteraksi dengannya, hanya basa-basi. Entahlah, gadis itu lebih nyaman seorang diri. Tidak perlu mengikuti kemauan ataupun mengurus dirinya sendiri demi menjaga perasaan orang lain.

Tidak perlu jika dirinya seorang diri.

Bekerja sebagai buruh pabrik di kota industri tidak semengerikan dan seribet yang orang katakan. Spica hanya perlu bekerja sesuai jobdesk dan segera pulang lalu beristirahat. Tidak perlu membuang-buang waktu untuk berinteraksi dengan orang-orang yang hanya akan membuang energi dan uang. Berteman seakan sudah dekat, saling menukar kado atau bahkan makan bersama yang mana hanya formalitas belaka.

"Hai, kamu Spica anak line 4 ya?"

Sebuah suara perempuan menyambut Spica begitu memasuki loker, gadis itu menoleh dengan wajah penuh tanda tanya. "Kenapa?"

"Kamu kenal Ardiansyah?" gadis yang Spica tidak ketahui namanya itu bertanya tanpa basa-basi. Nadanya begitu tegas seperti seorang polisi yang sedang mengintrogasi tersangka pecurian.

Spica menggeleng.

"Masa sih?" Gadis itu memicingkan mata, tidak yakin dengan jawaban yang diterima. Kentara sekali jika dirinya curiga Spica berkata bohong.

"Dia anak Line 5, sering liatin kamu pas lagi kerja." Gadis itu menjelaskan tanpa diminta.

"Terus?" Kali ini Spica terheran. Wajar jika ada cowok yang melihatnya saat sedang kerja, apalagi dengan Line yang saling berdekatan. Cowok itu juga punya mata yang gunanya, untuk apa lagi jika bukan melihat?

Bukannya sok polos, Spica hanya bersikap bodoamat. Tidak ingin kepedean pula. Manusia melihat manusia lainnya itu tindakan yang wajar selama tidak ada maksud tertentu yang dapat merugikan salah satunya.

"Aku kira kalian saling kenal." Gadis itu bergumam sembari merapikan barang bawaannya.

Spica menggeleng. "Tidak."

"Ya udah, makasih ya..." ucapnya kemudian pergi.

Tanpa mengatakan apapun, Spica membuang pandangannya. Gadis itu kembali menyelesaikan aktivitasnya di loker, kemudian bergegas menuju tempat absen dan ruang produksi. Tidak ketinggalan memakai masker andalannya.

Suasana di dalam ruang produksi masih sunyi dan temaram, hanya ada lampu emergency yang menyala. Spica berinisiatif mengambil sapu karena tempat kerjanya kotor, hari ini lawan shiftnya pasti sangat sibuk karena tidak sempat membersihkan sisa-sisa kerja. Spica memaklumi itu, karena dirinya dan anak-anak pun kadang melakukan hal yang sama.

Selesai menyapu, gadis itu duduk sembari menekan tombol power pada CPU. Sedetik kemudian layar monitor yang gelap berubah menjadi putih, kemudian memunculkan gambar segerombolan kuda berlari di padang pasir. Wallpaper bawaan komputer yang terlalu pasaran itu terlihat membosankan di netra Spica. Di atasnya, berjejer icon yang merupakan sekumpulan program yang dimiliki komputer tersebut. Ada beberapa program tambahan yang memang dibuat oleh perusahaan untuk mempermudah dalam pekerjaan. Spica meng klik salah satunya kemudian login dengan memasukkan ID.

"Pagi banget neng?"

Spica menoleh begitu mendengar suara bariton di sampingnya, terasa dekat. Dan benar saja, gadis itu reflek menjauh saat mendapati cowok sedang berdiri tepat di belakangnya. Jika tangannya mengungkung pasti akan sangat romantis. Atau mungkin terlihat seperti pasangan mesum karena begitu dekatnya.

Batin Spica merutuk, baru saja beberapa jam merapalkan niat puasa, cobaan pertama dengan semangat menyapanya.

"Kaget ya?" cowok itu bertanya tanpa rasa bersalah. Wajahnya terlihat senang, terhibur dengan respon Spica yang seperti orang terkejut.

Karena tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Spica, Cowok itu kembali membuka topik. "Rajin sekali sudah siap, padahal masih ada 30 menit lagi."

"Ya, sudah terbiasa." Spica menggeser kursi agar bisa kembali duduk. Sedangkan si cowok kini bersandar pada conveyor dengan kedua tangan melipat ke depan.

Cowok dengan perawakan tinggi putih itu terlihat manis. Tapi tidak tahu jika maskernya dibuka apakah masih sama atau tidak. Spica tidak peduli itu karena intinya, sekarang dirinya begitu risih di dekati cowok yang entah darimana asalnya. Spica merasa tidak pernah melihat ataupun berbincang dengan si cowok sebelumnya. Dan entah apa yang membuat cowok itu tiba-tiba mendekat, mungkin saja karena kesepian atau memang sedang mencari teman saja.

"Kamu enggak ingin balik bertanya? Tidak merasa penasaran?" tanya si cowok.

"Tidak kepikiran." Spica menjawab dengan jujur.

Tiba-tiba suara tawa menggema, mengisi ruangan yang kini mulai terisi oleh beberapa pekerja. Si cowok ternyata begitu renyahnya. Sedangkan Spica hanya melihat dengan datar, sesaat netranya melirik Id card cowok itu dan mendapati nama Diky Ardiansyah.

"Apa dia yang di maksud?" batinnya.

"Kamu pasti enggak punya teman karena bicaramu begitu irit dan tidak ada inisiatif?" Cowok bernama Diky itu menghakimi. "Tapi tidak apa, aku mau menjadi temanmu." lanjutnya sembari mengerlingkan sebelah matanya.

Spica berdecak. "Tidak minat."

"Jutek sekali manusia satu ini... Ya sudah, aku pergi dulu ms. lonely." Diky pergi tanpa menunggu respon Spica.

Gadis itu pun tidak peduli. Sepeninggal si pengganggu, Spica memilih tidur sembari bersandar di conveyor.

"Cewek kesepian? ck, yang benar saja!" batinnya sebelum akhirnya memejamkan mata.

2. Tergoda

"Semuanya stop dulu!" Seru leader yang memegang area belakang line.

Spica langsung menatap monitor dan mendapati program tidak bisa dijalankan karena server menghentikan segala aktivitas produksi.

"Stop line guys."

"Kenapa sjh?"

"Ada apa Mba Han?"

"Ada part yang abis, kata delivery-nya di gudang kosong."

"Asik, duduk-duduk kita."

Mendengar percakapan dari teman kerjanya, diam-diam Spica ikut merasa senang.

"Jangan berisik, 6S dulu yaa." Leader kembali memberi instruksi.

Dengan semangat teman-teman Spica mengambil alat kebersihan dan mulai membersihkan area tempat kerja masing-masing. Tidak terkecuali Spica.

Beberapa lemparan kalimat berisi ujaran cemburu datang dari Line tetangga. Dan di tanggapi dengan gurauan. Stop Line adalah momen yang menyenangkan bagi setiap pekerja. Duduk sembari menyaksikan line-line lain jalan itu rasanya seperti bos yang sedang mengamati anak buahnya bekerja. Kita bersantai sedangkan mereka bertarung dengan waktu dan planning.

"Dua orang ke office ya, bantuin menginput data." Leader perempuan memperhatikan anak buahnya, mencari wajah-wajah yang sekiranya bisa bermain laptop. Tangan kanannya sibuk memegang ponsel, terlihat menampilkan roomchat grup. "Siapa yang bisa ms. Excel?" tanyanya.

"Ini ni bu, Spica sama Hani aja!" Seru Dina, rekan kerja Spica yang sedang memegang lobby duster. Sejenak gadis itu berhenti, tangannya menunjuk Spica. Menatap Spica dan Hani bergantian.

"Ya udah, Spica sama Hani ke office ya? sudah ditunggu pak Hamdan." Leader tersebut langsung memberi arahan.

Keduanya pergi tanpa banyak bicara. Sampai di office, seorang pria yang ternyata Pak Hamdan sudah menunggu di depan pintu masuk. Wajahnya terlihat ramah dan baik. Senyum tipis beliau menyambut kedatangan keduanya.

"Line 5 ya?"

Spica dan Hani mengangguk kompak, keduanya dj giring menuju meja kerja yang tidak berpenghuni. Di masing-masing meja terdapat laptop yang sedang menampilkan ms.excel, di sampingannya terdapat lembaran kertas cukup tebal.

"Kalian bantu saya menginput data anak-anak yang tidak naik bis jemputan ya, jika ada alasan bertele-tele tulis saja secara singkat. Saya tinggal dulu." Pak Hamdan memperhatikan dengan sekilas Spica dan Hani. Untuk yang kedua kalinya, pandangan itu terarah pada Spica yang saat ini tengah duduk dan berfokus pada lembaran kertas dan keyboard. Menatap dalam pada Spica sebelum akhirnya pergi entah kemana.

Di jam-jam berikutnya, mereka masih sibuk berkutat. Beberapa kali Hani merenggangkan ototnya, posisi duduk yang semula tegap kini terlihat loyo dan tak bertenaga. Suhu AC Sentral terasa lebih dingin daripada di area produksi, membuat kulit kering, pun beberapa kali Hani mengusap-usap tangannya karena kedinginan.

Di sampingnya, Spica terlihat lebih kalem. Gadis itu dengan tenang terus mengetik sampai ketika suara Hani membuyarkan fokusnya.

"Ka, aku kira bekerja di kantor lebih enak, AC dingin, kalem, bersih. Ternyata sangat membosankan, mana badan pegel-pegel." Hani mengeluh, suaranya lirih minta disemangati.

"Ya begitulah, kadang apa yang kita lihat menyenangkan belum tentu sama seperti kenyataan." Sahut Spica tanpa melihat Hani. Suaranya rendah seperti sedang berbisik.

Hani diam sesaat, memperhatikan bagaimana Spica mengerjakan bagiannya. Dirinya bahkan baru sampai 4 lembar sedangkan Spica sudah hampir selesai. Hani benar-benar takjub dengan Spica yang selalu tenang dan cekatan, berbeda dengan dirinya yang masih terlalu childish dalam berpikir dan tindakan.

"Di Line kerja bisa sambil becanda, di sini mana bisa woi!" Suara Hani terdengar lebih jelas. Saat tersadar, gadis itu dengan cepat memperbaiki cara duduk. Netranya menyapu ke sekeliling, memastikan ada yang terganggu dengan suaranya atau tidak.

Waktu terus berlalu. Sampai pada waktunya istirahat, Spica dan Hani berjalan beriringan ke kantin. Kondisi kantin yang lenggang membuat mereka lebih santai. Biasanya saat akan mengambil makan siang pasti selalu antri kemudian bingung memilih tempat duduk karena hampir semua tempat penuh.

Kali ini keduanya istirahat bersama pekerja kantor dengan kondisi yang lenggang. Makanan pun mendapat menu yang enak. Sungguh kebetulan yang membahagiakan. Hani yang tadinya terlihat lesu, pun sampai berubah. Hanya ada raut wajah bahagia apalagi saat di piringnya terdapat lauk yang begitu disuka.

Spica dan Hani duduk berdampingan, mereka sibuk menikmati makanan. Keheningan itu terus berlanjut sampai Pak Hamdan menyapa keduanya, beliau menggeser kursi. Ikut bergabung dengan duduk disebelah Spica.

"Habiskan, biar semangat terus." Pak Hamdan tersenyum melihat keduanya.

Hani mengangguk sungkan. "Siap Pak, bapak udan makan?" tanyanya basa-basi.

"Ohh saya sudah makan tadi, nambah malah."

Hani ber-oh ria, gadis itu bingung ingin merespon bagaimana. Apalagi sejak tadi Spica hanya diam dan sesekali melihat dirinya dan Hamdan dengan ekspresi datar. Seakan tidak minat dengan obrolan garing itu.

Akhirnya Hani memilih untuk melanjutkan makannya, mengabaikan Pak Hamdan yang sepertinya juga tengah sibuk dengan ponselnya. Keadaan itu terus berlangsung bahkan sampai Spica dan Hani hampir menyelesaikan makan siangnya.

Sedari tadi, yang tidak Hani dan Spica ketahui. Diam-diam Pak Hamdan terus memperhatikan Spica lewat ekor matanya. Pria parubaya itu terlihat menaruh minat pada Spica. Karakter Spica yang misterius, wajah polos dan cantiknya itu sukses membuat Pak Hamdan penasaran.

"Kalian sudah berapa tahun di sini?" Pak Hamdan memecah keheningan.

Beberapa detik berlalu, Hani masih berpikir. Membuat Spica akhirnya menjawab dengan singkat. "Hampir dua tahun."

"Wah sudah mau finish kontrak rupanya, gimana kerja di sini?" Pak Hamdan terlihat begitu antusias dengan Spica dan Hani.

"Seneng-seneng capek, Pak." Hani menjawab apa adanya.

"lah..." Pak Hamdan tertawa ringan, tawa khas bapak-bapak kantoran. "Yang pasti lemburan lancar kan?"

Hani menerawang. Di awal tahun mereka memulai kontrak, hanya bulan pertama keduanya mendapat banyak lemburan. Itu pun sebab produk yang perusahaan buat tidak sesuai standar, mengakibatkan produk dari customer tertentu harus dikerjakan ulang atau rework.

Di bulan seterusnya, karena ekonomi dunia yang sedang tidak stabil, juga faktor-faktor tertentu membuat order menurun. Sampai selesai kontrak pertama bahkan di kontrak kedua Spica dan Hani hanya beberapa kali mendapat jatah lembur. Dan kini, "Alhamdulillah akhir-akhir ini lancar, mungkin karena kita mau finish kontrak. Biar enggak miskin." Hani tertawa kikuk.

"Memangnya tidak menabung?" Pak Hamdan kembali bertanya.

"Biasa Pak, anak perantauan harus ngirim ke orang tua," jawab Hani jujur.

Pak Hamdan mengangguk paham, pria paribaya itu sekali lagi menatap Hani dan Spica bergantian. "Ya yang semangat, kalau buat orang tua harus ikhlas. Biar berkah," ucapnya memberi wejangan.

"Aamiin." Kali ini Spica membuka suaranya.

"Kalian memangnya dari mana?"

"Kota X."

"Kalau kamu?... Dari tadi diam saja." Pak Hamdan beralih pada Spica, mengharap jawaban gadis itu.

"Introvert dia Pak," sela Hani. Greget dengan Spica yang sukanya menjadi pendengar. Sedangkan tangan Hani menyenggol temannya itu agar segera menjawab pertanyaan Pak Hamdan. Tidak lupa tatapan mata yang terus saja tertuju pada Spica, seakan memberitahu bahwa Spica akan sangat keterlaluan dan tidak tahu sopan santun jika tidak menjawab.

Mengerti dengan kode yang diberikan Hani, Spica akhirnya dengan singkat menjawab, "Kota Y."

"Jauh juga yaa."

"Ya begitulah Pak.... Kami permisi dulu Pak, mau ke mushola."

"Iya silahkan."

Hani membungkuk sopan sebelum beranjak dari tempatnya, di ikuti oleh Spica. Mereka kembali beriringan menuju tempat piring kotor. Sepeninggal keduanya, Pandangan Pak Hamdan tidak pernah beralih dari Spica. Pria itu terus memperhatikan bagaimana gadis itu berjalan, lekuk tubuhnya. Bahkan sampai membayangkan apa yang ada dibaliknya.

Di lain Sisi, di sepanjang jalan Hani mendumel habis-hanisan karena sikap pasif Spica. Gadis itu merasa tidak enak dengan Pak Hamdan karena bagaimanapun jabatan beliau lebih tinggi.

3. Tawaran

Hari-hari berikutnya, Pak Hamdan kian gencar mengamati Spica dari kejauhan. Posisi Kantor yang satu area dengan ruang produksi, hanya di batasi oleh tirai plastik transparan yang tebal membuat Hamdan lebih mudah menjalankan aksinya.

Semakin hari, semakin Pak Hamdan meng-damba sosok Spica. Gadis muda yang dirinya yakini masih sangat fresh. Tidak seperti yang sudah-sudah. Otak liciknya mulai menyusun rencana untuk menjerat Spica. Dirinya yakin gadis lugu itu akan mudah untuk di kendalikan. Jam terbang yang tinggi membuat Pak Hamdan percaya diri dengan kepiawaiannya menjerat wanita. Kebanyakan gadis yang terlihat kalem dan lugu justru dialah yang paling liar. Bagaimana tidak? Sudah banyak korbannya yang memiliki karakter seperti Spica.

Senyum menjijikan itu pudar saat Pak Hamdan sadar jika dirinya masih di area kerja. Untung saja tidak ada yang menyadari kegiatannya itu.

"Tunggu saja, sebentar lagi gadis itu akan mendes*h dibawah kungkunganku." Batinnya penuh naps*.

Di sisi lain, suasana sunyi di line 5 tidak seperti biasanya. Hampir 5 jam Mereka tidak mengobrol. Hanya ada suara mesin dan suara-suara khas yang timbul akibat kegiatan merakit alat elektronik. Mereka hanya tetap fokus karena planning hari ini yang tidak sedikit.

Mengesankan, bahkan ke dua pimpinan di Line 5 sampai terheran dengan anak buahnya yang terus tutup mulut itu. Sedikit rasa bangga menyentil hati keduanya, kondisi seperti inilah yang di inginkan perusahaan. Tenang dan tetap bekerja, alhasil menjadikan semuanya lebih lancar. Namun sayangnya kegiatan itu harus berhenti karena waktu sudah mendekati detik-detik istirahat.

"Persiapan break!" Seru leader belakang dan depan bergantian.

Beberapa dari anak-anak menatap jam yang terpasang di dinding maupun di monitor. Ada yang menghela napas lega sampai tersenyum. Planning perjam mereka semuanya memenuhi target, bahkan beberapa ada yang lebih. Hal itu membuat pekerjaan setelah istirahat menjadi lebih ringan dan santai.

"Kurang berapa lagi Ka?" Tanya Abi, rekan kerja Spica. Cowok dengan tinggi 170 cm itu kemudian melepas manset dan menyimpannya di kardus.

"350," jawab Spica. Saat melihat jam dipojok bawah monitor yang ternyata kurang 1 menit lagi mereka istirahat, Spica langsung mematikan layar monitor kemudian melepas latek.

"Lumayan, tapi enggak sebanyak kemarin." Abi mengamati area depan Line, kemudian bergegas menuju kantin. Tidak berselang lama anak-anak lain juga menyusul, termasuk Spica.

Suasana kantin menjadi ramai saat waktu istirahat. Banyak karyawan putri yang mencari tempat duduk terlebih dahulu sebelum mengantri. Namun tidak dengan Spica, gadis itu terlalu malas dan tidak suka ribet. Mengantri pun di tempat yang paling sedikit peminatnya, karena menu makan siang memang berbeda-beda di setiap konternya, tentu saja antrian di konter dengan menu makan terenak akan selalu panjang.

Setelah mendapat nampannya, Spica mengitari tempat duduk. Meja kantin yang di beri skat itu cukup menyulitkan Spica namun tidak menjadi masalah besar. Poin plusnya gadis itu bisa makan dengan santai tanpa ada tatapan dari karyawan lain karena semua fokus dengan makanannya masing-masing.

Setelah berkeliling satu menit, Spica akhirnya mendapatkan tempat duduk tepat di belakang jendela. Sebelah kanannya kosong dan sebelah kiri terdapat gadis yang sedang makan sembari melakukan video call dengan pacarnya.

Spica melirik sekilas, dan dengan cuek mulai menyantap menu makan siangnya. Bahkan sangking cueknya sampai-sampai tidak sadar jika sedari tadi Pak Hamdan mengikuti Spica, juga mengambil duduk tepat di sisi kanan.

Menit demi menit berlalu. Semua terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan Spica yang tengah makan itu sampai tidak menyadari jika diam-diam Pak Hamdan memperhatikan dirinya. Awalnya Pak Hamdan memang terlihat biasa saja. Seperti kebanyakan karyawan pada saat istirahat. Pria paruh baya itu mulai menggeser kursinya ke belakang setelah menghabiskan semua menu makan siang, bersandar di dinding sembari bersedekap. Sampai ketika Pak Hamdan berdehem, barulah Spica menyadari ada sesuatu yang memperhatikannya. Ekor matanya dengan cepat menangkap sosok pria dewasa. Gadis itu sedikit melirik, matanya menangkap wajah Pak Hamdan yang tengah tersenyum memperhatikannya.

"Sudah kenyang?" Pak Hamdan langsung basa-basi begitu Spica menyadari kehadirannya. Suaranya lirih namun masih bisa didengar.

"Iya Pak." Spica menjawab seadanya. Gadis itu ingin mengabaikan namun Pak Hamdan malah menggeser kursinya agar lebih dekat. Hal itu sontak membuat Spica risih.

Gadis itu melirik sekitar, takut-takut karyawan lain ada yang melihat. Spica tidak ingin ada gosip muncul tentang dirinya.

"Bagaimana kerja di sini?"

"Tidak buruk."

Pak Hamdan terkekeh. "Pasti nyaman yahh? coba saja kerja di garmen, pasti mikir seribu kali untuk memperpanjang kontrak."

"Mungkin... Saya belum pernah kerja di garmen jadi tidak bisa membandingkan." Tanpa tersendat, Spica merespon dengan lugas.

"Lebih baik jangan... Dua tahun di sini pasti sudah dapat pacar nihh." Pak Hamdan mengalihkan topik, mulai memancing.

Spica nampak berpikir sebelum akhirnya menggeleng. "Tidak juga."

Terkejut sedikit, Pak Hamdan menegakkan tubuhnya. "Loh kenapa? sudah dewasa sudah saatnya memikirkan hubungan."

Namun sesaat ekspresi itu berubah penuh maksud. Spica melihat dengan jelas perubahan itu. Wajah menjijikan yang ingin sekali Spica lembar dengan kursi.

Namun, karena dirinya Spica! Tentu saja gadis itu bisa mengendalikan emosinya dan merespon dengan tenang. "Ingin fokus kerja saja."

"Haha, boleh juga. Bagaimana kalau kamu saya ajukan ikut permanen?" Kedua tangan pak Hamdan bersedekap, menantikan jawaban itu dengan pandangan menyapu tubuh Spica. Yang paling utama dan paling disukai, tentu saja bibir yang warnanya pucat agak ke merah jambu itu.

"Memangnya bisa?" Spica dengan tenangnya masih terus merespon walaupun dalam hati sudah mengerti dengan niat menjijikan Pak Hamdan.

"Loh tentu bisa sekali." Nada bicara Pak Hamdan lebih semangat dari beberapa detik yang lalu. Pikirannya tidak terlalu sulit membungkus Spica.

"Sudah pasti lolos dengan biaya besar atau masih ikut seleksi dengan kandidat lainnya dan belum ada jaminan lolos?"

Dari mulut yang sering dia dengar, memang ada beberapa anak yang rela membayar mahal hanya untuk menjadi permanen ada juga yang karena pandai menjilat. Dan yang terakhir karena menjadi simpanan atasan.

"Sudah pasti lolos... Uang saya sudah banyak, jadi kamu tidak perlu mengeluarkan uang?" Sedikit menyombongkan diri. Pak Hamdan semakin mendekat. Memperhatikan Spica lebih dalam.

Spica menyipitkan mata, tidak percaya dengan omongan Pak Hamdan. Namun hal itu hanya sesaat karena di detik setelahnya Pak Hamdan kembali bersuara.

"Kalau mau kamu cukup pergi dengan saya saja, kita main bareng?" Tanya Pak Hamdan sudah tidak ingin berbasa-basi lagi.

Demi hewan dan tumbuhan, saat ini juga Spica ingin meninju wajah Pak Hamdan. Namun hal itu diurungkan. Sudah berusaha mengalihkan percakapan dan bersikap bodoh nyatanya tidak berhasil membuat Pak Hamdan lupa akan tujuannya.

"Saya sudah cukup bermain-main, permisi Pak." Spica langsung mengalihkan perhatiannya. Tangannya dengan cekatan membereskan sisa makan siang. Gadis itu dengan cepat pergi dari sana.

Sedangkan Pak Hamdan yang sudah terlanjur basah dan tidak ingin usaha bejatnya berakhir sia-sia, langsung menyambar pergelangan tangan Spica. Tidak ada yang melihatnya karena memang Spica belum melangkah lebih jauh. Namun gadis di samping Spica tentu mendengarnya karena dialah saksi pertama.

Reflek yang tidak pernah melemah, Spica langsung berhenti dan menghempaskan tangannya.

"Pikirkan lagi tawaran saya," ucap Pak Hamdan sebelum Spica sempat bicara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!