3. Tawaran

Hari-hari berikutnya, Pak Hamdan kian gencar mengamati Spica dari kejauhan. Posisi Kantor yang satu area dengan ruang produksi, hanya di batasi oleh tirai plastik transparan yang tebal membuat Hamdan lebih mudah menjalankan aksinya.

Semakin hari, semakin Pak Hamdan meng-damba sosok Spica. Gadis muda yang dirinya yakini masih sangat fresh. Tidak seperti yang sudah-sudah. Otak liciknya mulai menyusun rencana untuk menjerat Spica. Dirinya yakin gadis lugu itu akan mudah untuk di kendalikan. Jam terbang yang tinggi membuat Pak Hamdan percaya diri dengan kepiawaiannya menjerat wanita. Kebanyakan gadis yang terlihat kalem dan lugu justru dialah yang paling liar. Bagaimana tidak? Sudah banyak korbannya yang memiliki karakter seperti Spica.

Senyum menjijikan itu pudar saat Pak Hamdan sadar jika dirinya masih di area kerja. Untung saja tidak ada yang menyadari kegiatannya itu.

"Tunggu saja, sebentar lagi gadis itu akan mendes*h dibawah kungkunganku." Batinnya penuh naps*.

Di sisi lain, suasana sunyi di line 5 tidak seperti biasanya. Hampir 5 jam Mereka tidak mengobrol. Hanya ada suara mesin dan suara-suara khas yang timbul akibat kegiatan merakit alat elektronik. Mereka hanya tetap fokus karena planning hari ini yang tidak sedikit.

Mengesankan, bahkan ke dua pimpinan di Line 5 sampai terheran dengan anak buahnya yang terus tutup mulut itu. Sedikit rasa bangga menyentil hati keduanya, kondisi seperti inilah yang di inginkan perusahaan. Tenang dan tetap bekerja, alhasil menjadikan semuanya lebih lancar. Namun sayangnya kegiatan itu harus berhenti karena waktu sudah mendekati detik-detik istirahat.

"Persiapan break!" Seru leader belakang dan depan bergantian.

Beberapa dari anak-anak menatap jam yang terpasang di dinding maupun di monitor. Ada yang menghela napas lega sampai tersenyum. Planning perjam mereka semuanya memenuhi target, bahkan beberapa ada yang lebih. Hal itu membuat pekerjaan setelah istirahat menjadi lebih ringan dan santai.

"Kurang berapa lagi Ka?" Tanya Abi, rekan kerja Spica. Cowok dengan tinggi 170 cm itu kemudian melepas manset dan menyimpannya di kardus.

"350," jawab Spica. Saat melihat jam dipojok bawah monitor yang ternyata kurang 1 menit lagi mereka istirahat, Spica langsung mematikan layar monitor kemudian melepas latek.

"Lumayan, tapi enggak sebanyak kemarin." Abi mengamati area depan Line, kemudian bergegas menuju kantin. Tidak berselang lama anak-anak lain juga menyusul, termasuk Spica.

Suasana kantin menjadi ramai saat waktu istirahat. Banyak karyawan putri yang mencari tempat duduk terlebih dahulu sebelum mengantri. Namun tidak dengan Spica, gadis itu terlalu malas dan tidak suka ribet. Mengantri pun di tempat yang paling sedikit peminatnya, karena menu makan siang memang berbeda-beda di setiap konternya, tentu saja antrian di konter dengan menu makan terenak akan selalu panjang.

Setelah mendapat nampannya, Spica mengitari tempat duduk. Meja kantin yang di beri skat itu cukup menyulitkan Spica namun tidak menjadi masalah besar. Poin plusnya gadis itu bisa makan dengan santai tanpa ada tatapan dari karyawan lain karena semua fokus dengan makanannya masing-masing.

Setelah berkeliling satu menit, Spica akhirnya mendapatkan tempat duduk tepat di belakang jendela. Sebelah kanannya kosong dan sebelah kiri terdapat gadis yang sedang makan sembari melakukan video call dengan pacarnya.

Spica melirik sekilas, dan dengan cuek mulai menyantap menu makan siangnya. Bahkan sangking cueknya sampai-sampai tidak sadar jika sedari tadi Pak Hamdan mengikuti Spica, juga mengambil duduk tepat di sisi kanan.

Menit demi menit berlalu. Semua terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan Spica yang tengah makan itu sampai tidak menyadari jika diam-diam Pak Hamdan memperhatikan dirinya. Awalnya Pak Hamdan memang terlihat biasa saja. Seperti kebanyakan karyawan pada saat istirahat. Pria paruh baya itu mulai menggeser kursinya ke belakang setelah menghabiskan semua menu makan siang, bersandar di dinding sembari bersedekap. Sampai ketika Pak Hamdan berdehem, barulah Spica menyadari ada sesuatu yang memperhatikannya. Ekor matanya dengan cepat menangkap sosok pria dewasa. Gadis itu sedikit melirik, matanya menangkap wajah Pak Hamdan yang tengah tersenyum memperhatikannya.

"Sudah kenyang?" Pak Hamdan langsung basa-basi begitu Spica menyadari kehadirannya. Suaranya lirih namun masih bisa didengar.

"Iya Pak." Spica menjawab seadanya. Gadis itu ingin mengabaikan namun Pak Hamdan malah menggeser kursinya agar lebih dekat. Hal itu sontak membuat Spica risih.

Gadis itu melirik sekitar, takut-takut karyawan lain ada yang melihat. Spica tidak ingin ada gosip muncul tentang dirinya.

"Bagaimana kerja di sini?"

"Tidak buruk."

Pak Hamdan terkekeh. "Pasti nyaman yahh? coba saja kerja di garmen, pasti mikir seribu kali untuk memperpanjang kontrak."

"Mungkin... Saya belum pernah kerja di garmen jadi tidak bisa membandingkan." Tanpa tersendat, Spica merespon dengan lugas.

"Lebih baik jangan... Dua tahun di sini pasti sudah dapat pacar nihh." Pak Hamdan mengalihkan topik, mulai memancing.

Spica nampak berpikir sebelum akhirnya menggeleng. "Tidak juga."

Terkejut sedikit, Pak Hamdan menegakkan tubuhnya. "Loh kenapa? sudah dewasa sudah saatnya memikirkan hubungan."

Namun sesaat ekspresi itu berubah penuh maksud. Spica melihat dengan jelas perubahan itu. Wajah menjijikan yang ingin sekali Spica lembar dengan kursi.

Namun, karena dirinya Spica! Tentu saja gadis itu bisa mengendalikan emosinya dan merespon dengan tenang. "Ingin fokus kerja saja."

"Haha, boleh juga. Bagaimana kalau kamu saya ajukan ikut permanen?" Kedua tangan pak Hamdan bersedekap, menantikan jawaban itu dengan pandangan menyapu tubuh Spica. Yang paling utama dan paling disukai, tentu saja bibir yang warnanya pucat agak ke merah jambu itu.

"Memangnya bisa?" Spica dengan tenangnya masih terus merespon walaupun dalam hati sudah mengerti dengan niat menjijikan Pak Hamdan.

"Loh tentu bisa sekali." Nada bicara Pak Hamdan lebih semangat dari beberapa detik yang lalu. Pikirannya tidak terlalu sulit membungkus Spica.

"Sudah pasti lolos dengan biaya besar atau masih ikut seleksi dengan kandidat lainnya dan belum ada jaminan lolos?"

Dari mulut yang sering dia dengar, memang ada beberapa anak yang rela membayar mahal hanya untuk menjadi permanen ada juga yang karena pandai menjilat. Dan yang terakhir karena menjadi simpanan atasan.

"Sudah pasti lolos... Uang saya sudah banyak, jadi kamu tidak perlu mengeluarkan uang?" Sedikit menyombongkan diri. Pak Hamdan semakin mendekat. Memperhatikan Spica lebih dalam.

Spica menyipitkan mata, tidak percaya dengan omongan Pak Hamdan. Namun hal itu hanya sesaat karena di detik setelahnya Pak Hamdan kembali bersuara.

"Kalau mau kamu cukup pergi dengan saya saja, kita main bareng?" Tanya Pak Hamdan sudah tidak ingin berbasa-basi lagi.

Demi hewan dan tumbuhan, saat ini juga Spica ingin meninju wajah Pak Hamdan. Namun hal itu diurungkan. Sudah berusaha mengalihkan percakapan dan bersikap bodoh nyatanya tidak berhasil membuat Pak Hamdan lupa akan tujuannya.

"Saya sudah cukup bermain-main, permisi Pak." Spica langsung mengalihkan perhatiannya. Tangannya dengan cekatan membereskan sisa makan siang. Gadis itu dengan cepat pergi dari sana.

Sedangkan Pak Hamdan yang sudah terlanjur basah dan tidak ingin usaha bejatnya berakhir sia-sia, langsung menyambar pergelangan tangan Spica. Tidak ada yang melihatnya karena memang Spica belum melangkah lebih jauh. Namun gadis di samping Spica tentu mendengarnya karena dialah saksi pertama.

Reflek yang tidak pernah melemah, Spica langsung berhenti dan menghempaskan tangannya.

"Pikirkan lagi tawaran saya," ucap Pak Hamdan sebelum Spica sempat bicara.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!