Dengan bangga aku menyajikan pasta buatanku di atas meja. Pasta yang ku sebut dengan istilah pasta Sakila. Aku membaginya menjadi enam porsi. Sembari tersenyum puas aku memandang kreasiku yang pertama ini.
"Wah, sepertinya menantu Ibu sudah bekerja keras pagi ini. Lihatlah Alka, betapa lezatnya pasta ini," tutur Ibu mertuaku yang biasa ku panggil Nenek. Panggilan itu sangat pantas sesuai dengan usianya. Mengingat aku yang seharusnya menjadi cucu Ibu mertuaku ini. Tapi tunggu, Paman hanya melihat pasta buatanku dengan tatapan datar.
"Lihat saja nanti kalau Paman makan pasta buatanku, pasti dia akan berdecak kagum juga. Setelah itu dia akan berterimakasih padaku," batinku.
Perlahan aku melihat Alka mulai mencicipi pasta buatanku itu. Lalu kemudian anggota keluarga lainnya juga turut mencicipinya. Tapi mengapa ekspresi mereka jauh dari ekspektasiku? seperti... tidak enak?
Tak lama Reina memuntahkan pasta yang baru satu kali di cicipinya itu ke atas lantai.
"Tuh! tuh! tuh! apa ini yang di sebut lezat nek? rasanya asin sekali, dan tekstur dagingnya juga sangat keras," ujar Reina penuh kekesalan.
Asin? dagingnya keras? tapi bagaimana bisa? bukankah tadi aku masak sesuai dengan instruksi Reina? tapi mengapa rasanya justru berbeda?
"Aku makan di kantor saja bu. Aku sudah kenyang dengan melihatnya saja. Bahkan aku tidak merasa tidak lapar sama sekali!"
Paman ini juga marah padaku. Padahal aku baru mau pamer kreativitasku. Dasar payah. Benar kata Mama Dinda, aku tidak bisa melakukan apapun.
"Alka tunggu nak! hargailah istrimu. Dia sudah berusaha untuk memasak buat sarapan kita," cegah Nenek penuh kebijaksanaan.
"Tapi Nenek, pasta ini tidak layak untuk di makan. Mengapa Nenek menyuruh Ayah untuk memakan pasta ini?" sergah Herlina.
"Herlina, terkadang kita harus bisa menelan sesuatu meski itu pahit demi menghargai usaha orang lain. Tak masalah jika kalian tidak suka, tapi berilah dia apresiasi nak. Dia sudah berusaha." Kalimat bijaksana Nenek membuatku terharu sekaligus sedih. Aku sudah gagal di hari pertamaku menjadi seorang menantu sekaligus Ibu mertua dari kedua menantuku ini.
"Tapi Nenek, Ayah tidak suka makanan yang asin dan keras. Dia bisa sakit perut nanti nek," timpal Reina yang juga tak mau diam dalam menyalahkanku. Padahal tadi dia yang mengajariku begitu.
"Sudahlah! aku tidak mau berdebat dengan kalian sepagi ini. Aku sudah terlambat untuk ke kantor, dan kau--" Paman menggantungkan kalimatnya. Dia beralih melihatku dengan tatapan tak suka, "Habiskan pasta buatanmu ini! aku tidak suka ada orang yang membuang-buang makanan," lanjut Paman kemudian.
Apa? habiskan pasta asin ini? yang benar saja? kalau dia tidak suka asin, lalu apa bedanya dengan diriku? aku juga tidak suka makanan asin dan daging keras. Memangnya aku harimau yang suka makan daging keras? ya... meskipun aku yang masak pasta ini, tapi bukan berarti aku harus memakan semuanya bukan? apa lagi masih mentah. Dasar Paman jahat.
Semua orang pergi meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan pasta buatanku yang asin ini, kecuali Nenek. Nenek masih berdiri di sampingku, seolah dia setia menemani diriku yang sedih.
"Jangan ambil hati ucapan suamimu sayang. Dia hanya belum terbiasa dengan keberadaanmu di rumah ini. Pelan-pelan dia pasti akan menerimamu," tutur Nenek berusaha untuk menenangkanku.
Paman tidak menerimaku juga tidak apa-apa. Siapa yang peduli dengan itu? aku bahkan tidak menginginkan dirinya. Lalu bagaimana bisa kami akan terbiasa dengan hubungan kaku ini?
"Iya nek. Maafkan aku karena membuat pasta yang salah," sesalku sungguh-sungguh.
"Kamu tidak salah membuat pasta sayang, ini sudah benar. Hanya saja mungkin kamu salah memasukan bahan-bahannya. Apa kamu memasukan makaroni terlebih dahulu baru daging sapinya?" tanya Nenek di penghujung kalimatnya.
"Iya, itu yang aku lakukan," jawabku. Nenek tersenyum dengan jawabanku tadi.
"Seberapa banyak kau menuangkan garam pada pasta ini? apakah satu sendok teh? atau satu sendok makan?" tanya Nenek selanjutnya.
"Bukan keduanya nek," jawabku canggung.
"Lalu seberapa banyak?"
"Segenggam ini," balasku sembari menunjukkan tanganku pada Nenek, bahwa aku menaruhkan garam pada pasta sebanyak satu genggam tanganku.
"Hahahaha." Nenek tertawa lepas sembari memegang perutnya setelah mendengar jawabanku. Aku menjadi bingung. Mengapa Nenek tertawa? apanya yang lucu? memang benar kan aku menaruh segenggam garam kedalam pasta tadi. Lalu apanya yang lucu?
"Pantas saja asin, ternyata kamu memberi garam pada pasta tadi sebanyak satu genggam? itu kebanyakan sayang. Jumlah itu seharusnya untuk porsi satu sekampung, bukan untuk enam orang. Hahaha," terang Nenek masih dengan sisa-sisa tawanya.
Sungguh aku sangat malu. Bagaimana bisa aku seceroboh ini? tidak! bukan ceroboh, tapi bodoh. Ya, aku bodoh.
"Maafkan aku nek. Sebenarnya aku tidak tahu cara memasak yang benar," lirihku.
Nenek menghentikan tawanya, lalu kemudian membelai rambutku yang panjang sembari berkata, "Tidak apa-apa sayang, nanti aku akan mengajarimu masak ya? sekarang kau bereskan semua ini. Beri pada kucing pasta ini, mereka pasti akan memakannya."
Aku pun mengerjakan ucapan Nenek. Membereskan meja makan dan memberi makan kucing. Sejujurnya aku merasa kasihan pada pasta buatanku ini. Ingin rasanya aku memakannya dengan lahap sampai habis tak tersisa, tapi aku takut nanti perutku sakit.
"Apa kau tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan benar, em?" tanya Reina penuh kekesalan. Aku bisa melihat seberapa marahnya menantu tertuaku ini dari raut wajahnya yang cantik.
"Ini kan bukan salahku. Kamu yang meninggalkanku di dapur sendirian tanpa mengajariku dengan benar tadi," balasku membela diri. Memang benar kan Reina pergi meninggalkanku tadi?
"Itu karena aku pikir kamu tahu cara memasak," balas Reina tak mau kalah.
"Sakila, aku menjadikanmu sebagai Ibu mertua kami, karena aku pikir kamu adalah orang yang tepat, dan sebenarnya kamu bisa Sakila. Kalau kamu berniat dengan sungguh-sungguh, kamu pasti bisa." Kalimat bijaksana Reina ini cukup membuat hatiku tercubit. Benar katanya, bila aku bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu, maka aku pasti akan berhasil, tapi masalahnya adalah aku tidak bersungguh-sungguh, dan tak mau bersungguh-sungguh.
"Dengarkan aku, Ayah tidak suka makanan mentah, asin, dan juga dingin. Dia juga tak suka membuang-buang makanan seperti yang kau lakukan ini. Jadi, pastikan sisa makanan yang kau beri pada kucing itu tak terlihat oleh Ayah. Apa kau paham?" terang Reina sungguh-sungguh.
"Iya aku paham," jawabku.
"Baiklah, aku mau ke butik dulu. Disana masih banyak pesanan pakaian. Ayah tidak akan pulang makan siang, karena dia tak pernah melakukan itu. Jadi, tidak perlu memasak. Nenek juga akan ikut bersamaku ke butik. Kau masaklah untuk dirimu sendiri," titah Reina panjang kali lebar.
"Baiklah aku paham. Tapi tunggu dulu," cegahku.
"Ada apa?"
"Tolong maafkan aku atas kejadian tadi. Aku akan berusaha lebih keras lagi seperti yang kau katakan padaku barusan," ucapku tulus.
"Baiklah, selamat berusaha. Jangan lalai dalam mengerjakan tugasmu. Aku harap kau bisa di percaya kali ini," jawab Reina seraya pergi meninggalkanku sendirian di dalam rumah yang sangat besar ini.
Menjadi Ibu mertua di usia muda bukanlah pilihanku. Aku tidak berdaya akan hal itu. Seandainya Ibu masih ada, maka dia akan melindungiku seperti malaikat yang tak bersayap.
Aku berusaha menjalankan peranku sebagai Ibu mertua dan menantu sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Tahukah kalian betapa sulitnya itu? Seharusnya aku menjadi istri dulu, lalu kemudian menjadi seorang Ibu, dan terakhir menjadi ibu mertua. Akan tetapi, aku justru mendapatkan ketiganya dalam waktu bersamaan pula.
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Tri Susanti
hahahaha.... 😂😂😂😂 sabar sakila teruslah berusaha buktikan kalau kamu bisa
2022-01-07
0