Bab 4: Bayangan

Pagi itu, Dita berdiri di depan cermin di kamar mandi, bersiap untuk hari kerjanya. Tangan terampilnya menyisir rambut, mencoba merapikannya sebelum berangkat. Namun, ada sesuatu yang membuatnya terdiam sejenak. Dia memandangi bayangannya di cermin dengan penuh konsentrasi, seperti mencari sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

Bayangan itu... tampak sedikit berbeda.

Mata bayangan Dita seolah menatapnya dengan cara yang asing, dan meskipun Dita tidak tersenyum, pantulan di cermin menunjukkan senyum yang tipis, seolah mengejeknya. Dada Dita terasa sesak. Dia mengerjap, mencoba menepis pikirannya. Mungkin ini hanya efek dari kurang tidur dan stres yang menumpuk. Namun, perasaan tidak nyaman itu tidak bisa hilang begitu saja.

Dia menarik napas dalam-dalam, menatap cermin sekali lagi. Kali ini, bayangannya kembali normal. Tidak ada senyum aneh, tidak ada gerakan yang tidak sesuai. Hanya pantulan dirinya yang terlihat sedikit lelah.

“Ini pasti cuma imajinasiku,” gumam Dita, mencoba menenangkan diri.

Sambil menyelesaikan persiapannya, Dita tidak bisa lepas dari perasaan bahwa ada sesuatu yang terus mengawasinya. Setiap kali dia melewati cermin, dia merasa ada yang tidak beres. Meskipun dia tahu ini tidak masuk akal, perasaan itu tetap menghantuinya.

Saat Dita selesai bersiap dan turun ke ruang tamu, ponselnya berdering. Nama Rangga muncul di layar, membuat Dita tersenyum kecil. Meski mereka jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, Rangga selalu menyempatkan diri untuk meneleponnya.

“Halo, sayang,” sapanya, suaranya terdengar lembut.

“Halo, Dit,” jawab Rangga dari seberang telepon, suaranya terdengar berat. “Aku baru dapat kabar hari ini. Aku harus berangkat tugas ke luar pulau.”

Dita terdiam sesaat, perasaan cemas menyelimuti dirinya. Tugas luar pulau bagi Rangga sebagai dokter militer seringkali berarti dia akan pergi untuk waktu yang lama, dan meskipun ini bukan pertama kalinya, Dita selalu merasa cemas setiap kali Rangga pergi. Dia tahu risiko pekerjaan suaminya, namun setiap kepergiannya selalu meninggalkan kekosongan yang sulit dijelaskan.

“Seberapa lama?” tanya Dita, suaranya sedikit bergetar.

“Belum pasti. Mungkin beberapa minggu. Aku juga nggak tahu persis detailnya,” jawab Rangga, dengan nada berat di suaranya. “Sebenarnya aku nggak tega meninggalkan kamu sendirian, Dit, apalagi dengan semua yang sedang kamu hadapi. Mungkin kamu bisa tinggal sementara di rumah ibu selama aku pergi? Biar ada yang menemani kamu.”

Dita tertegun. Ide tinggal di rumah ibunya sepertinya masuk akal, tapi bagian dari dirinya merasa tidak ingin merepotkan keluarganya, apalagi ibunya sudah cukup tua. Namun, melihat kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, dia juga tidak bisa menepis perasaan tidak nyaman yang selalu menghantuinya.

“Aku nggak apa-apa. Kamu tahu aku bisa menjaga diri,” kata Dita dengan nada yang meyakinkan, meskipun ada keraguan dalam hatinya.

“Aku tahu kamu kuat, Dit. Tapi tetap saja, aku khawatir. Belakangan ini kamu sering cerita tentang mimpi-mimpi aneh dan perasaan nggak nyaman. Aku cuma mau kamu aman,” ujar Rangga, suaranya penuh perhatian.

Dita terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, "Akan aku pikirkan. Tapi jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Kamu fokus saja pada tugasmu.”

Mereka berbicara beberapa saat lagi, sebelum Rangga harus berangkat untuk mempersiapkan keberangkatannya. Setelah telepon ditutup, Dita duduk di sofa, merenung. Dia bisa merasakan kekhawatiran Rangga yang tulus, dan meskipun dia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanya masalah psikologis, bagian dalam dirinya mulai meragukan logika itu.

Tatapannya beralih ke cermin kecil di ruang tamu. Sekilas, dia merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam cermin, tapi ketika dia melihat lebih dekat, hanya ada bayangannya sendiri. Perasaan aneh itu kembali,perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan.

Dita menggigil kecil, menepis pikiran-pikiran itu. Namun, semakin hari, perasaan diawasi ini semakin kuat, terutama ketika berada di depan cermin. Bayangan itu... seolah semakin dekat, semakin nyata.

Dan sekarang, dengan Rangga yang harus pergi, Dita merasa harus menghadapi semuanya sendirian.

Dita duduk di kantin rumah sakit, mencoba mengisi waktu istirahatnya di tengah hari yang penuh dengan pekerjaan. Cangkir kopi di tangannya masih hangat, namun dia hanya menatapnya kosong, pikirannya melayang ke arah kasus Arga. Kisah tentang cermin yang dia ceritakan terus bermain di benaknya. Dia masih mencoba memahami apakah itu benar-benar delusi atau ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar trauma masa kecil. Rasa lelah mental perlahan mulai menguasainya.

Dita mengambil satu tegukan kopi, berharap kesegaran itu bisa membangunkan pikirannya yang kusut. Namun, sebelum dia bisa benar-benar menikmati waktu istirahatnya, seorang perawat tergesa-gesa mendekatinya. Raut wajahnya cemas, dan Dita segera merasakan sesuatu yang tidak beres.

"Dokter Dita," panggil perawat itu dengan nada serius, mencoba menarik perhatian Dita.

Dita menoleh dengan cepat, meletakkan cangkir kopinya. "Ada apa?"

"Ini soal Arga, pasien Anda," kata perawat itu, suaranya sedikit gemetar. "Dia mencoba bunuh diri di kamarnya beberapa saat yang lalu."

Kata-kata itu menghantam Dita seperti petir di siang bolong. Dadanya langsung terasa sesak. "Apa? Bagaimana kondisinya sekarang?" tanyanya cepat, suaranya terdengar penuh dengan kecemasan.

"Syukurlah, kami berhasil mencegahnya tepat waktu," jawab perawat itu, meski wajahnya masih menyiratkan ketegangan. "Tapi dia terluka. Kami langsung memberikan pertolongan pertama dan sekarang sedang ditangani oleh dokter jaga. Sepertinya dia mencoba melukai dirinya sendiri dengan pecahan kaca cermin."

Dita tertegun mendengar kata "cermin." Dunia seakan berputar lebih cepat di kepalanya. Cermin lagi. Bagaimana bisa Arga sampai sejauh itu? Pikirannya berusaha mencari alasan rasional, tapi setiap bagian dari dirinya dihantam kekhawatiran mendalam.

“Apa dia sadar sekarang?” tanya Dita, suaranya sedikit bergetar.

“Belum sepenuhnya, tapi dia stabil. Kami akan tetap memantau kondisinya,” jawab perawat itu.

Dita mengangguk singkat, berdiri dari kursinya. “Saya akan ke sana sekarang.” Tanpa membuang waktu lagi, dia bergegas meninggalkan kantin, menuju ke ruangan tempat Arga dirawat.

Saat berjalan menuju ruang perawatan, benaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Apa yang mendorong Arga untuk melakukan ini? Apakah semua yang dia ceritakan tentang bayangan di cermin benar-benar mulai menguasainya? Ataukah ini hanya bagian dari kondisi psikologisnya yang semakin memburuk? Dita merasa dia semakin tenggelam dalam kasus ini—dan anehnya, semakin dia berusaha memahami, semakin kabur jawabannya.

Sesampainya di ruangan Arga, Dita mengambil napas dalam-dalam sebelum masuk. Dia tahu, apa pun yang dia temui di sana, kasus ini tidak akan menjadi lebih mudah.

Dita memasuki kamar perawatan Arga dengan hati yang berdebar. Di dalam ruangan, suasana sunyi, hanya terdengar suara alat-alat medis yang memantau kondisi pasien. Arga terbaring di atas ranjang, wajahnya pucat, dengan perban melilit di sekitar tangannya yang terluka. Luka-luka itu tampak sebagai hasil dari upayanya melukai diri dengan pecahan kaca cermin.

Dita mengamati Arga dengan hati-hati, mencoba meraba apa yang bisa dia lakukan untuk membantunya. Meski tubuh Arga tampak lemah, Dita bisa merasakan ketegangan yang luar biasa menyelimuti ruangan. Pikirannya terus berputar, mencari jawaban atas apa yang membuat Arga sampai pada titik ini.

Tiba-tiba, mata Arga terbuka lebar, dan sebelum Dita bisa mengatakan apa pun, dia langsung bangkit dengan tatapan liar, seolah-olah dia sedang melihat sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain. Matanya menatap cermin kecil di sudut ruangan, dan wajahnya berubah menjadi penuh teror.

“DIA DI SANA! DIA ADA DI CERMIIIIN!” teriak Arga dengan suara parau, suaranya penuh dengan ketakutan yang mendalam. Tangannya gemetar, dan dia menunjuk cermin itu seakan-akan melihat sosok yang mengerikan di balik kaca. "PERGIIIII! PERGIIIII!!!"

Teriakan Arga memenuhi ruangan, membuat Dita terkejut dan segera bergerak mendekatinya. Dia tahu, jika kondisi Arga dibiarkan seperti ini, ketakutannya bisa memicu tindakan lebih buruk.

"Arga, tenang," kata Dita dengan nada lembut, berusaha menenangkan pasiennya, tapi Arga sama sekali tidak mendengarnya. Matanya terpaku pada cermin, tubuhnya gemetar hebat, seakan-akan sosok yang dia lihat semakin mendekat dan mengancamnya.

Dita mencoba mendekatinya lebih dekat, tapi Arga semakin panik, tubuhnya meronta-ronta dengan kuat. Dia tampak benar-benar diliputi rasa takut yang membuatnya tidak bisa mengendalikan diri. Dita tahu dia harus segera bertindak.

Dengan cekatan, Dita meraih obat penenang yang sudah disiapkan oleh perawat di samping meja, menyuntikkan dosis yang aman ke lengan Arga. “Tenang, Arga. Ini akan membantu,” kata Dita pelan, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin terguncang oleh keadaan ini.

Arga masih berteriak, tapi perlahan suaranya mulai melemah. Obat penenang mulai bekerja, dan tubuhnya yang tegang akhirnya mulai mereda. Napasnya yang tadinya tidak teratur kini menjadi lebih tenang, dan matanya perlahan-lahan tertutup kembali. Namun, sebelum dia benar-benar tertidur, Arga berbisik pelan, “Dia ada di sini… di cermin… dia menunggu…”

Dita menatap Arga dengan cemas, merasa ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa dia tangani. Bayangan di cermin… Teror yang dilihat Arga tidak lagi terasa sebagai delusi biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap dan dalam, yang tidak bisa hanya dijelaskan dengan kata-kata ilmiah.

Setelah memastikan Arga tertidur pulas, Dita menghela napas panjang dan menatap cermin kecil di sudut ruangan. Kali ini, perasaan tidak nyaman itu menyelimuti dirinya juga. Dita merasa seolah-olah ada yang memperhatikan dari balik cermin itu, tapi dia menepis pikiran itu dengan cepat. Ini tidak mungkin, pikirnya.

Namun, di dalam hatinya, dia tahu ini lebih dari sekadar mimpi buruk pasiennya. Misteri cermin itu mulai menghantui kehidupannya sendiri, dan dia tidak bisa mengabaikan apa yang sedang terjadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!