Dita memasuki ruang kerjanya dengan langkah mantap, tetapi perasaan tidak menentu masih menggelayuti pikirannya. Setelah sesi pertama dengan Arga, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar delusi. Dia membuka dokumen-dokumen pasien yang tergeletak di meja kerjanya dan mulai membaca riwayat kesehatan Arga.
Arga, seorang pria berusia dua puluh sembilan tahun, didiagnosis dengan gangguan skizofrenia. Dia menghabiskan banyak waktu di rumah sakit jiwa ini setelah beberapa episode psikosis yang serius, di mana dia mengklaim melihat sosok bayangan di cermin yang meniru gerakannya. Dita mencatat setiap detail dengan hati-hati, mencoba menyusun gambaran utuh tentang apa yang mungkin menjadi penyebab delusi Arga.
Dalam pikiran Dita, dia berusaha merasionalisasi situasi tersebut. Mungkin Arga mengalami trauma mendalam yang belum sepenuhnya dia hadapi. Dia teringat pada teori-teori yang pernah dipelajarinya, tentang bagaimana ketidakmampuan mengatasi trauma dapat menyebabkan pikiran yang terdistorsi. Dita bertekad untuk membantu Arga menemukan cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Namun, di tengah perhatiannya terhadap pasien, kehidupan pribadi Dita pun tidak luput dari perhatian. Dia ingat dengan jelas bagaimana Rangga, suaminya, semakin sibuk dengan pekerjaannya sebagai arsitek. Seringkali, mereka tidak memiliki waktu untuk berbicara atau bahkan menghabiskan waktu bersama. Dita merindukan masa-masa ketika mereka berbagi tawa dan saling mendukung. Namun, kini, mereka lebih sering terjebak dalam rutinitas dan komunikasi yang semakin renggang.
Malam itu, setelah kembali dari rumah sakit, Dita memasak makan malam untuk Rangga, berharap bisa menciptakan suasana yang lebih hangat. Namun, saat mereka duduk di meja makan, Dita merasakan ada jarak di antara mereka. Rangga tampak terpaku pada ponselnya, sibuk membalas pesan dari rekan-rekannya.
“sayang, bagaimana kalau kita bicarakan tentang akhir pekan ini? Mungkin kita bisa pergi ke tempat yang kita suka,” Dita mencoba membuka percakapan.
“Maaf, Dit. Saya sedang banyak kerjaan. Mungkin lain kali saja,” jawab Rangga, matanya tetap terpaku pada layar ponselnya.
Dita merasakan hatinya berdesir. Rasa kecewa dan kesepian menyelimuti pikirannya. Dia tahu bahwa mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk saling memahami, tetapi selalu ada saja sesuatu yang menghalangi. Dita menghela napas, berusaha menahan perasaannya agar tidak meledak. Dia tidak ingin menjadikan suasana malam itu semakin suram.
Setelah makan malam, Dita pergi ke ruang kerjanya. Dia duduk di depan laptop, mencoba menyusun rencana untuk sesi terapi berikutnya dengan Arga. Meskipun pikirannya masih tertuju pada ketidaknyamanan dalam hubungannya dengan Rangga, Dita berusaha untuk fokus. Dia ingin membantu Arga memahami ketakutannya, tetapi dia sendiri juga merasa terperangkap dalam ketakutan akan kehilangan hubungan yang dia cintai.
Dita membuka catatan tentang Arga dan mulai menulis beberapa pertanyaan yang mungkin bisa membantunya mengungkap lebih banyak tentang delusi yang dialami Arga. Dia bertekad untuk menemukan akar masalahnya. Sebelum tidur, Dita sekali lagi menatap cermin di ruang kerjanya. Sekilas, dia merasa seolah-olah bayangannya tampak lebih pudar dari biasanya, seakan mencerminkan suasana hati yang gelap.
Sore berikutnya, Dita bersiap untuk sesi terapi kedua dengan Arga. Dia merasa bersemangat sekaligus cemas. Ketika dia memasuki ruangan, Arga sudah menunggu dengan ekspresi yang tampak lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
“Selamat sore, Arga. Apa kabar hari ini?” Dita memulai sesi dengan nada yang ramah.
Arga mengangguk, tetapi tatapannya masih menunjukkan ketidakpastian. “Dokter, saya tidak tahu kenapa, tetapi saya merasa sosok itu semakin kuat. Dia tidak hanya muncul di cermin, tetapi juga dalam pikiran saya.”
Dita merasa gelisah. Dia tahu, kali ini, mereka akan menyelami sesuatu yang lebih dalam. “Baiklah, mari kita coba berbicara tentang apa yang dia katakan padamu. Apa yang terjadi ketika sosok itu muncul?”
Dita duduk di kursi kayu yang nyaman di ruang kerjanya, tatapannya kosong menembus jendela besar yang menghadap ke taman rumah sakit. Pikiran tentang kata-kata Arga berputar-putar di kepalanya. "Sosok itu tidak hanya muncul di cermin, tetapi juga dalam pikiran saya." Kalimat itu terus menghantui Dita, menggugah rasa ingin tahunya sekaligus menciptakan rasa khawatir yang dalam. Dia merenungkan betapa seringnya orang terjebak dalam dunia pikiran mereka sendiri, terasing dari kenyataan yang ada di sekitar.
Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengalihkan pikirannya dari bayangan-bayangan mengganggu itu. Bagaimana jika Arga tidak hanya menghadapi delusi, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah? Dita merasa perlu mencari jawaban, bukan hanya untuk Arga, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Saat melamun, bunyi dering ponsel mengejutkannya. Dita tersentak dari lamunannya dan melihat layar ponselnya. Nama Rangga muncul di sana, dan hatinya terasa sedikit lebih hangat. Dia mengangkat telepon. “Halo?”
“Dita, sayang! Mau pulang bersama? Aku sudah selesai bekerja,” suara Rangga terdengar ceria, seolah-olah meredakan suasana hati Dita yang sedikit berat.
“Eh, halo. Iya, aku baru selesai di sini,” Dita menjawab dengan suara yang lebih ceria dari yang dia rasakan.
“Aku sudah menunggu di depan. Bagaimana kalau kita mampir ke kafe favorit kita setelah ini?” Rangga melanjutkan, suaranya penuh harapan.
Dita merasa tergerak oleh tawaran itu. Kafe kecil tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama menyimpan banyak kenangan indah, jauh dari tekanan pekerjaan dan rutinitas. “Baiklah, aku akan segera keluar.”
Setelah menutup telepon, Dita berdiri dan merapikan meja kerjanya. Dia berusaha mengalihkan pikirannya dari Arga dan kembali fokus pada hubungan mereka. Saat berjalan keluar, dia menyadari betapa pentingnya momen-momen kecil seperti ini untuk memperkuat hubungan yang telah lama terasa renggang.
Ketika Dita tiba di lobi rumah sakit, dia melihat Rangga berdiri di dekat pintu, tersenyum lebar. Ada sesuatu yang menenangkan dalam senyumnya, dan Dita merasa lega bisa melihatnya setelah hari yang penuh pikiran. Mereka saling menyapa dengan hangat, dan Dita merasakan kehadiran Rangga seolah membawa cahaya ke dalam ruang hati yang gelap.
“Bagaimana harimu?” tanya Rangga sambil memegang tangan Dita, mengajak mereka berjalan keluar menuju mobil.
“Agak melelahkan, tapi sesi dengan Arga cukup membuka mata. Dia memiliki masalah yang cukup rumit,” jawab Dita, mencoba menjelaskan tanpa terlalu mendalami.
Rangga mengangguk, menunjukkan perhatian. “Kamu selalu tahu bagaimana mengatasi situasi seperti itu. Aku yakin kamu bisa membantu dia.”
Dita tersenyum, tetapi dalam hatinya, dia merasakan beban yang berat. Dia ingin berbagi lebih banyak, tetapi bagian dari dirinya masih terperangkap dalam pikiran tentang Arga dan sosok bayangan yang mengganggu.
Setibanya di kafe, aroma kopi dan kue yang baru dipanggang mengisi udara. Dita merasa sedikit lebih tenang. Mereka memilih meja di sudut yang nyaman, tempat favorit mereka. Dita mengamati Rangga yang sedang memesan dan merasa bersyukur bisa menikmati momen sederhana ini.
Saat mereka mulai berbincang, Dita berusaha untuk terhubung kembali dengan Rangga. Dia tahu, untuk bisa membantu Arga dengan efektif, dia juga perlu memperbaiki komunikasi dengan suaminya. Dan mungkin, melalui kehadiran Rangga, dia bisa menemukan kembali dirinya yang terlupakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments