Bab 2: Mimpi

Malam itu, setelah menghabiskan waktu di kafe bersama Rangga, perasaan Dita sedikit lebih tenang. Namun kelelahan fisik dan emosional masih menghantuinya. Ia berbaring di tempat tidur sambil berusaha memejamkan mata, namun pikirannya terus melayang pada Arga dan kisah bayangan di cermin yang ia ceritakan. Meski Rangga sudah tertidur lelap di sebelahnya, Dita masih tetap terjaga selama beberapa saat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dirasakannya hanyalah pekerjaan yang mematikan pikiran.

Akhirnya ia pun tertidur, namun tidurnya tidak membawa ketenangan. Sebaliknya, malam itu Dita dibawa ke dunia mimpi yang aneh dan menakutkan.

Dalam mimpinya, Dita berdiri di tengah ruangan asing, dikelilingi cermin di setiap sisinya. Cermin memantulkan bayangannya, tapi ada yang tidak beres. Bayangan itu tidak bergerak bersamanya. Saat Dita melangkah ke kanan, pantulan cermin tetap di tempatnya, tatapannya mengunci mata Dita dengan intensitas menakutkan.

Tiba-tiba, salah satu bayangan mulai bergerak sendiri. Dita terdiam, rasa takut merayapi dirinya. Bayangannya tersenyum licik, senyuman yang belum pernah Dita tunjukkan sebelumnya. Bayangan tangannya terangkat seolah menyentuh kaca cermin, namun Dita bisa merasakan sentuhan dingin di kulitnya sendiri, seolah cermin bukanlah penghalang.

"Itu hanya mimpi..." Dita mencoba meyakinkan dirinya dalam mimpi itu, namun semua itu terasa terlalu nyata. Tubuhnya tidak bisa bergerak, seolah terjebak dalam cengkeraman cermin yang mengelilinginya. Bayangan itu mendekat, dan kali ini bayangan itu tertawa pelan. Suaranya bergema, mengisi ruang kosong di sekitarnya, semakin keras dan menakutkan.

Dengan sekuat tenaga Dita berusaha berteriak, namun suara itu tak kunjung keluar dari tenggorokannya. Ketakutan merayapi tubuhnya, dan saat bayangan itu menyebar, Dita merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba, dia terbangun dengan napas terengah-engah. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menembus tirai tipis di jendela. Ia masih bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan jantungnya berdebar kencang seolah mimpinya menjadi kenyataan. Dita menoleh ke samping, melihat Rangga masih tertidur pulas di sebelahnya.

Dita berusaha menenangkan dirinya sambil menarik napas dalam-dalam. Namun rasa lelah dan tegang pada tubuhnya membuatnya merasa seperti baru saja berlari dalam mimpi. Dia memegangi dadanya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak menentu. "Itu hanya mimpi," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Beberapa detik kemudian, Rangga terbangun mendengar suara gelisah Dita. Dengan mata setengah terbuka ia menatap Dita yang terlihat gelisah.

"Dita, kamu mimpi buruk?" tanya Rangga dengan suara yang masih lemah, suaranya terdengar hangat dan menenangkan. Ia mengulurkan tangan dan mengelus punggung Dita dengan lembut.

"Iya Rangga...mimpi yang aneh," jawab Dita pelan sambil berusaha menahan getaran suaranya.

"Baiklah, itu hanya mimpi. Jangan dipikir-pikir," kata Rangga sambil menarik Dita ke dalam pelukannya. Ia menepuk pundak Dita dengan lembut, berusaha membuatnya merasa nyaman.

Dita memejamkan mata, namun pikirannya masih dihantui oleh mimpi itu. Senyuman dingin dari bayangannya, tatapan tidak bersahabat, dan cermin yang mengelilinginya—semuanya terasa terlalu nyata. Meski Rangga berusaha menenangkannya, Dita merasa ada yang tidak beres, lebih dari sekadar mimpi buruk biasa.

Di tengah kesunyian malam, Dita kembali memejamkan matanya, namun ia tahu mimpi itu meninggalkan bekas luka yang dalam. Sesuatu yang tersembunyi di balik cermin seolah memanggilnya, dan entah kenapa, dia merasa mimpi itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar dan menakutkan.

Pagi itu, lembutnya sinar matahari menembus jendela dapur, menyelimuti ruangan dengan kehangatan. Dita sedang berdiri di depan kompor, sibuk menyiapkan sarapan sederhana. Aroma roti panggang memenuhi udara, sementara telur goreng mulai dimasak di dalam wajan. Suara lembut pisau yang ia gunakan untuk memotong sayuran membuat suasana terasa damai.

Namun, meski tangannya sibuk bekerja, pikirannya melayang kemana-mana. Mimpi aneh yang dialaminya tadi malam masih melekat di benaknya. Bayangannya di cermin yang tampak hidup dan tak terkendali terus menghantui pikirannya. Ia merasa lelah, seolah mimpi itu menyedot tenaganya padahal ia sudah terlelap.

Saat dia meletakkan pisaunya, matanya tertuju pada cermin kecil di sisi dapur, yang tergantung di dinding, tepat di samping jendela. Cermin itu tidak istimewa—hanya cermin dekoratif yang sering diabaikannya. Namun pagi ini, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Dia melihat sekilas bayangannya. Namun, ada sesuatu yang salah. Bayangannya, meski diam, terasa seperti sedang mengawasinya, seolah ada kehidupan di balik bayang-bayang.

Dengan rasa penasaran dan sedikit cemas, Dita menghentikan aktivitasnya dan menatap cermin lebih dalam. Dia memfokuskan pandangannya, mengamati wajahnya sendiri. Pada pandangan pertama, semuanya tampak normal, tetapi bayangannya tampak sedikit... berbeda. Seolah-olah cermin itu memantulkan sesuatu yang lebih dari sekedar pantulannya.

Dita merasakan tubuhnya mulai tegang dan ia melangkah mendekat ke cermin, seolah tertarik dengan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan dia mulai merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Pandangannya tertuju pada pantulan di cermin, seolah menunggu pantulan itu melakukan sesuatu.

Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin dan lembut menyentuh punggungnya. Sebelum dia sempat bereaksi, sepasang tangan melingkari pinggangnya dari belakang, mengejutkannya dan hampir melompat mundur.

"Apa lagi?" sebuah suara yang familiar terdengar lembut di telinganya, dengan nada yang lembut.

Dita tersadar dari lamunannya dan langsung sadar kalau yang memeluknya dari belakang adalah Rangga. Momen yang baru saja dialaminya terasa begitu nyata dan penuh ketegangan. Jantungnya yang berdebar kencang kini berusaha menenangkan dirinya.

"Ya ampun Sayang! Kamu mengagetkanku," ucap Dita dengan napas yang masih sesak, berusaha meredakan keterkejutannya. Ia menoleh ke arah suaminya yang tersenyum hangat, sementara lengan Rangga masih memeluknya erat.

"Maaf, aku tidak bermaksud menakutimu," jawab Rangga sambil mencium lembut pipinya.

Dita berusaha cekikikan untuk menutupi keterkejutan dan kegelisahan yang masih tersisa. Namun, pikirannya terus menggoda. Apa yang dia lihat di cermin? Mengapa perasaan itu begitu aneh? Seolah-olah bayangan itu lebih dari sekedar pantulan sederhana.

Dia mengalihkan perhatiannya dari cermin dan kembali sarapan, namun perasaan aneh masih memenuhi hatinya. Saat Rangga berjalan menuju meja makan, Dita kembali melirik ke cermin. Pantulan itu tampak normal sekarang tidak ada yang aneh, tidak ada gerakan mencurigakan. Namun perasaan aneh itu belum hilang.

Dita menghela nafas panjang, berusaha menjernihkan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Mungkin, pikirnya, itu hanya efek dari mimpi buruk yang dialaminya tadi malam. Namun, di sudut hatinya, dia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang jauh lebih dalam dari ilusi cermin sederhana.

"Apakah sarapan sudah siap?" tanya Rangga dari meja makan sambil tersenyum cerah. Dita mengangguk sambil membawa piring ke meja, namun pikirannya masih belum sepenuhnya tenang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!