Pagi itu, setelah mimpi aneh dan pengalaman menegangkan di dapur, Dita tiba di rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Meski dia berusaha mengabaikan ketidaknyamanan yang dirasakannya, pikiran tentang cermin terus menghantui. Namun, sebagai seorang profesional, dia meneguhkan dirinya untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Terapi Arga hari ini terasa semakin penting, terutama setelah pengakuan dan cerita yang dia ungkapkan tentang sosok bayangan di cermin.
Dita duduk di ruang terapi, menunggu kedatangan Arga. Sambil membuka catatan sesinya sebelumnya, dia mencoba menelaah kembali kasus Arga dengan objektivitas. Apa yang terjadi padanya jelas terkait dengan delusi, tapi asal usul ketakutannya terhadap cermin masih belum sepenuhnya jelas.
Arga tiba, seperti biasa dengan langkah pelan dan tatapan yang terlihat kosong. Setelah sapaan singkat, dia duduk di hadapan Dita. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda dari Arga. Wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, dan dia terlihat lebih cemas.
Dita memulai sesi dengan tenang, mencoba menciptakan suasana nyaman. “Arga, minggu lalu kita sempat berbicara tentang bayangan di cermin yang selalu kamu lihat. Hari ini aku ingin membahas lebih dalam tentang bagaimana perasaanmu terhadap cermin itu, dan dari mana ketakutan ini pertama kali muncul.”
Arga terdiam sejenak, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. “Sejak kecil, aku selalu merasa ada sesuatu yang aneh dengan cermin. Dulu, ibuku sering memperingatkanku agar tidak terlalu lama menatap cermin, katanya cermin bisa jadi pintu ke dunia lain. Aku ingat dia pernah bilang... kalau kita menatap terlalu lama, sesuatu dari dalam sana bisa keluar dan menggantikan kita.”
Dita mendengarkan dengan seksama, menuliskan catatan sambil mencoba menjaga ekspresinya tetap netral. Sebagai psikolog, dia telah mendengar banyak cerita aneh dari pasien, tetapi cerita ini mulai meresap ke dalam pikirannya lebih dalam dari yang dia bayangkan.
“Kapan pertama kali kamu mulai melihat bayangan itu, Arga?” tanya Dita, mencoba mengarahkan pembicaraan ke hal yang lebih konkret.
“Waktu aku masih kecil... mungkin sekitar usia tujuh tahun. Aku ingat malam itu aku sedang sendirian di kamar, dan aku menatap cermin di dinding. Awalnya, aku cuma lihat bayanganku seperti biasa. Tapi lama-lama, aku mulai merasa... bayanganku bergerak lebih dulu daripada aku. Aku merasa seperti cermin itu menatapku, bukan aku yang melihatnya.”
Arga berhenti sejenak, matanya berkabut seakan-akan dia sedang terjebak dalam ingatan masa kecilnya yang traumatis. “Aku lari ke kamar ibu waktu itu, dan dia marah besar. Dia bilang aku harus hati-hati dengan cermin. Sejak saat itu, aku selalu takut setiap kali melihat cermin... dan semakin besar aku, semakin sering aku melihat sosok itu.”
Dita mulai merasa cerita Arga ini lebih kompleks dari sekadar delusi biasa. Ada elemen trauma masa kecil dan ketakutan yang mendalam terhadap cermin, yang kemungkinan dipicu oleh peringatan dari ibunya. Namun, sebagai seorang profesional, dia tetap mencoba menilai ini secara ilmiah, melihatnya sebagai bentuk manifestasi dari rasa takut yang terbentuk sejak kecil.
“Arga, apa yang ibumu katakan padamu bisa menjadi alasan kenapa kamu merasakan ketakutan ini begitu kuat. Kadang, pengalaman masa kecil kita bisa memengaruhi bagaimana kita melihat dunia saat kita dewasa,” kata Dita dengan tenang, mencoba memberikan penjelasan psikologis untuk mengurangi kecemasan Arga.
Arga menatap Dita dengan ekspresi ragu. “Tapi ini bukan cuma perasaan atau ketakutan biasa, Bu Dita. Bayangan itu benar-benar ada... aku bisa melihatnya bahkan sekarang. Kadang aku merasa dia ingin mengambil alih diriku.”
Kata-kata Arga membuat bulu kuduk Dita berdiri. Meski dia tahu ini adalah bagian dari delusi yang dialami Arga, namun ketakutan dan keyakinan kuat dalam nada suaranya membuat Dita merasakan sedikit kegelisahan. Sejenak, dia teringat akan mimpinya sendiri dan pengalamannya pagi itu dengan cermin di dapur. Tapi dia dengan cepat membuang pikiran itu.
Dita meneguhkan dirinya, mengingatkan dirinya untuk tetap profesional. Dia harus menjaga sikap ilmiah dan tidak terpengaruh oleh cerita yang dia dengar. Namun, sesuatu di dalam dirinya mulai meragukan kejelasan yang selama ini dia yakini. Apakah ini hanya delusi Arga? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bermain di balik cermin-cermin itu?
“Saat ini, yang penting adalah kita fokus pada bagaimana perasaan kamu terhadap bayangan ini. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu kamu mengendalikan rasa takutmu,” lanjut Dita, mencoba mengalihkan pembicaraan ke solusi praktis.
Namun, saat sesi berlanjut, semakin banyak detail dari cerita Arga yang terasa mengganggu. Setiap kali dia bercerita tentang bayangannya, Dita merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghantui ruangan itu. Suara Arga terdengar seakan berasal dari tempat yang jauh, dan tatapannya... seakan dia sedang melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.
Di akhir sesi, Dita merasa lebih terganggu daripada sebelumnya. Meskipun dia mencoba menjelaskan semuanya secara logis, bagian dalam dirinya mulai merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan teori-teori psikologi. Ada sesuatu yang mengintai di balik bayangan, sesuatu yang semakin mendekati dirinya sendiri.
Sebelum meninggalkan ruang terapi, Arga menatap Dita dan berkata pelan, “Hati-hati dengan cermin, Bu Dita. Kadang, bayangan di sana bukan sekadar pantulan.”
Kata-kata itu menggema di benaknya saat dia melihat Arga berjalan keluar. Dita tetap diam di ruangannya, matanya melirik ke cermin di sudut ruangan. Sekilas, dia merasa melihat sesuatu yang berbeda, tetapi ketika dia mencoba fokus... cermin itu hanya memantulkan dirinya yang tampak lelah.
Dita duduk di kursi kerjanya, memijit pelipisnya yang terasa sedikit tegang. Setelah sesi terapi yang intens dengan Arga, pikirannya masih dipenuhi dengan cerita yang ia dengar. Di satu sisi, dia tahu bahwa ini mungkin hanya masalah trauma masa kecil yang belum terselesaikan. Ketakutan Arga terhadap cermin sepertinya sangat dipengaruhi oleh peringatan ibunya ketika ia kecil. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang tidak bisa diabaikan—perasaan aneh yang ia rasakan ketika mendengar Arga berbicara. Seperti ada yang berusaha menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.
“Haahhh…” Dita meregangkan tubuhnya, mengangkat kedua tangannya ke atas untuk melepaskan ketegangan. Punggungnya terasa sedikit pegal setelah duduk terlalu lama. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Sambil menatap ke luar jendela yang menghadap ke taman rumah sakit, dia merasa sedikit lega bisa sejenak istirahat dari kesibukannya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja, menarik perhatiannya. Dita mengambilnya dengan malas dan melihat ada notifikasi di layar. Sebuah aplikasi media sosial menunjukkan kenangan lama: foto pernikahan mereka yang diunggah dua tahun lalu. Foto itu menunjukkan dia dan Rangga, tersenyum lebar, berdiri di depan altar, tangan mereka saling menggenggam erat.
Dita berhenti sejenak, memandangi foto itu. Dia dan Rangga menikah dua tahun lalu, pada hari yang begitu indah dan penuh kebahagiaan. Kenangan tentang hari itu begitu jelas di benaknya. Suasana pernikahan yang sederhana namun elegan, dengan keluarga dan teman-teman terdekat yang menyaksikan janji suci mereka.
Dalam sekejap, ingatannya terlempar kembali ke masa itu, saat pertama kali dia bertemu Rangga. Rangga, seorang dokter militer yang tangguh namun lembut, selalu memberikan rasa aman dan kehangatan di setiap kehadirannya. Sementara itu, Dita yang baru lulus sebagai psikolog, terkesan oleh kepribadian Rangga yang penuh empati meski pekerjaannya di medan berat. Pertemuan mereka seakan sudah ditakdirkan.
Flashback itu membawa Dita pada momen-momen manis yang mereka habiskan bersama. Makan malam sederhana di sela-sela kesibukan Rangga yang sering bertugas jauh, percakapan mendalam tentang masa depan, hingga perdebatan kecil yang selalu diakhiri dengan tawa. Meski pekerjaan mereka berbeda, cinta yang mereka miliki tetap menjadi pengikat kuat dalam pernikahan mereka.
Namun, seiring waktu, kesibukan mereka semakin memisahkan kebersamaan itu. Rangga yang sering ditugaskan keluar kota dan Dita yang tenggelam dalam kasus-kasus pasiennya. Ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka, meskipun tidak pernah diucapkan secara langsung.
Dita menggulir ponselnya, melihat foto-foto lain dari pernikahan mereka. Rasa rindu tiba-tiba menyeruak di dadanya. Dia mengingat hari-hari awal pernikahan mereka yang penuh dengan kebahagiaan, sebelum kehidupan yang penuh kesibukan dan tanggung jawab mulai mengambil alih.
Saat menatap foto itu, perasaan hangat namun juga sedikit kesepian menyelimuti dirinya. Dia merindukan kedekatan itu, tawa kecil di akhir hari, dan kebersamaan yang tidak lagi sering mereka rasakan. Meski mereka masih saling mencintai, Dita tidak bisa menepis kenyataan bahwa ada jarak yang semakin nyata.
Ponselnya bergetar lagi, kali ini dari pesan baru. Pesan itu dari Rangga: “Jangan lupa makan siang ya. Aku baru selesai operasi, mungkin malam ini aku bisa pulang lebih awal.”
Dita tersenyum kecil. Rangga selalu perhatian meski sibuk dengan pekerjaannya. Pesan singkat itu membuatnya merasa sedikit lebih ringan, mengingatkan bahwa di balik semua kesibukan, mereka masih saling peduli.
Namun, meskipun pesannya manis, Dita tetap merasa ada yang kurang. Sebuah keintiman yang mulai pudar di antara mereka. Mungkin, pikir Dita, mereka butuh waktu lebih banyak bersama. Atau mungkin, ini hanyalah efek dari pikirannya yang terlalu lelah dan dipenuhi kasus-kasus kompleks seperti milik Arga.
Dita meletakkan ponselnya kembali di meja, menghela napas panjang. Dia tahu bahwa dia harus tetap fokus pada pekerjaannya, tapi kenangan-kenangan itu selalu menyelinap masuk saat dia beristirahat. Bagaimanapun juga, pekerjaan tidak selalu bisa menjadi pelarian dari realitas hidup.
Dengan pikiran yang sedikit lebih tenang, Dita bersiap untuk melanjutkan hari kerjanya. Tapi sebelum itu, dia menatap cermin kecil di sudut ruangannya. Sejenak, dia merasa ada sesuatu yang aneh lagi. Namun, dia buru-buru mengalihkan pandangannya, memilih untuk tidak terlalu memikirkan bayangan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments