Hari Jum’at adalah hari yang paling Rara senangi, lihatlah bibirnya yang sejak tadi tidak berhenti mengukir senyuman, ia begitu bahagia mengingat jika dua hari kedepan adalah hari liburnya sebelum akhirnya akan bertemu kembali dengan hari senin. Saat ini Rara tengah fokus menatap layar komputer di depannya, tangan lentiknya menari lincah di atas keyboard, sesekali jarinya menaikkan kacamata anti radiasi komputer yang sedikit merosot di hidungnya yang minimalis itu. Ia begitu bersemangat menyelesaikan pekerjaan terakhirnya di minggu ini, hingga akhirnya sebuah suara membuat moodnya rusak dalam hitungan detik.
“Ra, weekend besok gue saranin lu ke car free day deh siapa tahu lu ketemu jodoh disana, jangan di kamar mulu, ntar sampai nenek-nenek lu gak laku,” itu adalah suara wakil ketua divisinya, namanya Mifta, seorang perempuan berumur 42 tahun dan ia sedikit sombong dengan selalu mengatakan kepada Rara sewaktu ia seumuran Rara saat ini ia sudah mempunyai anak berumur 10 tahun, dan Rara sudah muak mendengar cerita Mifta yang selalu di ulang-ulang jika ia sudah menikah di umur 20 tahun. Sebenarnya Rara ingin sekali menjawab dengan ketus omongan atasannya ini, tapi ia hanya malas jika masalah jadi panjang.
“Kamu tahu Ra, dulu aku sudah menikah di umur 20 tahun dan,”
“Tidak berapa lama mbak Mifta sudah langsung hamil dan melahirkan anak di usia yang sangat muda yaitu 21 tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan juga cerdas, di umurnya yang 7 tahun ia sudah lancar membaca dan menghafal beberapa surah pendek, ia selalu juara kelas dan mbak Mifta terharu melihat perkembangan anak mbak Mifta yang luar biasa hebat itu, dan ketika mbak Mifta berusia 31 tahun, seumuran aku sekarang anak mbak Mifta sudah berumur 10 tahun, dan makin terlihat kecerdasannya, dan kalau aku tidak juga menikah sekarang bakalan susah dapat anak nanti, karena faktor umur yang sudah tua. Mbak Mifta pasti mau bilang itukan? Udah hafal aku mbak, udah ratusan kali aku dengar itu, dan plis gak usah di ulang lagi, muak aku mbak dengarnya,” Rara memotong cepat omongan Mifta sebelum wanita itu melanjutkan cerita panjang lebarnya. Mifta melirik sinis ke arah Rara, ia kesal melihat Rara seolah ingin mempermalukannya di depan rekan kerja yang lain, karena hampir semua dari orang-orang yang berada di ruangan ini terlihat menahan senyumnya setelah mendengar Rara menirukan omongannya.
“ Dasar aneh, dinasehati malah belagu gitu, pantes gak laku-laku,” umpat Mifta dengan suara yang sedikit pelan namun tetap bisa didengar oleh Rara.
Rara menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar, ia sudah muak dengan sikap atasannya ini yang terlalu semena-mena terhadap dirinya, hampir setiap hari ia selalu saja mengusik ketenangan Rara, baru saja kemarin Rara menghajar tantenya dengan kata-kata pedas, dan hari ini tampaknya ia harus kembali marah-marah kepada atasannya itu.
“Mau mbak apa sih, ngebet banget mau lihat saya nikah, mau ngado semahal apa memangnya kalau saya nikah, awas aja ya kalau nanti cuma ngado sprei plus bed cover yang harganya cuma 300 ribuan itu. Heran deh saya mbak, tiap hari di senggol mulu padahal saya diem loh, saya belum nikah pun gak ada untung atau ruginya untuk mbak, saya gak pernah tuh kegatalan trus godain suami orang apalagi suami mbak Mifta yang jauh dari tipe saya itu, jadi plis mbak berhenti mengganggu ketenangan saya, saya gak akan kurang ajar begini kalau mbak gak mancing emosi saya duluan,” cecar Rara dengan nafas memburu, emosinya benar-benar diuji beberapa hari ini, tidak hanya di rumah, ternyata di tempat kerja sama saja.
“Gak sopan banget kamu sama saya, berani kamu kurang ajar gini bicaranya” Mifta pun sudah tersulut emosi.
“Memangnya mbak pernah sopan dan gak ngomong kurang ajar ke saya, tiap hari mbak nyindir dan ngata-ngatain saya, sekalinya saya balas gak terima,” Mata Rara tampak semakin lebar menatap ke arah Mifta yang wajahnya sudah memerah karena emosi.
“Sudah-sudah, jangan ribut seperti ini di tempat kita mencari rezeki,” Ucap rekan kerja mereka yang bernama Dani, ia dan beberapa teman lainnya mencoba menenangkan Rara yang sudah di selimuti oleh emosi.
“Giliran gue udah emosi gini baru kalian datang dan bilang jangan ribut, selama ini kalian kemana aja sewaktu gue disindir dan di kata-katain,” ucap Rara yang menepis tangan mereka yang memegang lengannya, lalu ia kembali ke kursinya untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda, Mifta sudah membuat rasa bahagia Rara menguap entah kemana, kini Rara harus menyambut weekendnya dengan perasaan dongkol.
Mifta juga sudah kembali ke mejanya dengan berbagai umpatan yang berhasil lolos dari mulutnya, teman-temannya tidak terlalu berani jika harus berurusan dengan Mifta karena jabatan Mifta sebagai wakil divisi sedikit lebih tinggi dari mereka.
Rara dengan kasar menekan setiap huruf di keyboardnya, benda tak bersalah itu harus menerima pelampiasan emosi Rara. Begitu jam sudah menunjukkan pukul 16.30, Rara langsung membereskan barang-barangnya dan beranjak menuju tempat absensi untuk mengisi absensi pulangnya lalu segera meninggalkan ruangan kerja untuk turun ke basement dimana mobilnya terparkir.
Rara duduk di belakang kemudi dengan sedikit kasar, karena kekesalan masih saja memenuhi hatinya ketika membayangkan bagaimana santainya Mifta selama ini mengusik ketenangannya dengan berbagai kata-kata menyakitkan.
“Heran gue sama manusia begitu, maunya apa coba, sialan banget jadi orang sumpah,” umpat Rara pada kesunyian mobilnya.
Dering ponselnya membuat cengkraman kuat Rara di setir mobil terlepas, dengan cepat ia merogoh tasnya untuk menemukan benda yang mengeluarkan bunyi berisik itu, ternyata panggilan itu dari kakak sepupunya, Gita.
“Halo Git,” ucap Rara. Ia dan Gita memang hanya beda 6 bulan, dan karena mereka sekolah bersama membuat Rara memanggil Gita hanya dengan sebutan nama tanpa ada embel apapun.
“Lu dimana?” Tanya Gita.
“Ini di parkiran kantor, mau pulang, kenapa Git?” Jawab Rara.
“Nongkrong yuk, bosan nih gue, kita ke cafe nya si Nona deh,” ajak Gita dengan semangat membara.
“Gue sih oke-oke aja, yang selalu rempong kan elu, yang perkara anak ribet minta ikut lah, suami gak kasih izin lah, banyak alasan lu,” cibir Rara.Gita memang sudah menikah, dn memiliki seorang anak perempuan yang sudah sudah berusia 6 tahun.
“Tenang aja, suami gue lagi di luar kota, dan anak gue baru aja di jemput sama aunty nya untuk jalan-jalan, udah deh buruan lu jemput gue,” ucap Gita.
***
Kini mereka sudah tiba di cafe sahabat mereka yang bernama Nona dan mereka memilih duduk di ruangan outdoor, kebetulan si pemilik cafe sedang ada di tempat dan terjadilah reunian mendadak itu.
“Gue lagi kesel banget sumpah,” ucap Rara setelah meminum avocado milknya.
“Kenapa lu?” Tanya Nona sambil menyendokkan spaghetti ke mulutnya.
“Ya apalagi coba permasalahan gue sekarang kalau buka seputaran kapan nikah,” raut wajah Rara terlihat kesal begitu wajah menyebalkan tante Ati dan Mifta lewat di pikirannya.
Diantara mereka bertiga memang hanya Rara lah yang belum menikah, Nona menikah tidak lama setelah Gita menikah, bahkan anak mereka pun lahir dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh.
“Udah gak usah dipikirin omongan orang-orang gila itu, jangan sampai mood lu rusak setiap hari hanya karena mulut-mulut bau bangke itu,” timpal Gita, ia kasihan melihat Rara yang selalu menjadi bulan-bulanan ketika acara kumpul keluarga, dan dengan sebisa mungkin ia akan membantu menyelamatkan Rara dari mulut pedas anggota keluarga mereka, dan juga Gita sudah sering mendengar curhatan Rara tentang permasalahannya di kantor.
“Git, gue akhirnya tahu siapa yang harus gue kenalin ke Rara,” ucap Nona tiba-tiba dengan pandangan yang tertuju ke arah pintu penghubung ruangan indoor dan outdoor ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Yani
Sekali" orang kaya Mifta harus di lawan juga lama" didiemin ngelunjak semangat Ra
2024-10-08
0
Tri Handayani
apa yg kamu lakukan udah bener ra,,orang"kya mifta dan tante kamu perlu d lawan biar g tambah lemes mulutnya.
2024-10-07
0