bab 4

"Bar, lebih baik anakmu tidur di rumah saya saja. Nggak tega lihat dia tidur di sini," ucap ayah Mira kepada ayahku.

Aku yang sedang tiduran langsung menjawab, "Gak apa-apa, Om. Di sini aja. Nura nggak mau ngerepotin," ucapku polos.

"Sudah, santai saja. Saya ke sini juga bukan untuk bertamu, jadi nggak usah repot-repot," tambah ayahku.

"Bagaimana hasilnya?" tanya ayahku lagi.

"Alhamdulillah, sudah ada perubahan. Tinggal nunggu ruangan saja. Semoga bisa segera sembuh, dan kalau bisa, cukup berobat jalan," jawab ayah Mira.

"Om, emangnya sakit apa?" tanyaku sambil bangun dari posisi tidur.

"Biasa, kecapekan jadi drop," jawabnya sambil tersenyum.

"Oh, gitu...

Yah, yah... emangnya kalau situasinya kayak gini boleh bohong ya?" tanyaku polos lagi.

Mendengar ucapanku, ayahku dan ayah Mira langsung tertawa.

"Hahaha! Kamu lucu deh. Pasti ayahmu yang ngajarin ya?" canda ayah Mira.

"Bar, saya keluar sebentar ya," ucapnya lagi.

"Sip," jawab ayahku singkat.

"Kamu ini ada-ada aja. Udah, tidur-tidur. Lihat tuh jam sudah berapa. Kamu nggak ngantuk?" ucap ayahku sambil menunjuk ke arah jam dinding di depan kami.

Ternyata, waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Tapi anehnya, mataku masih belum mau terpejam.

"Nura belum mau tidur, Yah...

Hmm, Yah, Nura boleh nanya nggak?" tanyaku.

"Mau nanya apa?"

"Ayah, kenapa sih ekstra banget jagain Nura?"

"Karena kamu satu-satunya anak Ayah. Udah, tidur, tidur," jawab ayahku.

"Nura heran aja, Yah. Teman-teman Nura yang lain kayaknya nggak sampai segitunya deh," ucapku sambil memeluknya.

"Dulu, sebelum ketemu ibumu, Ayah sering depresi karena ditinggal kedua orangtua. Kadang Ayah suka nyesel karena nggak pernah dekat dengan mereka...

Karena Ayah tahu gimana sakitnya, Ayah nggak mau nanti Ayah nyesel lagi karena nggak bisa dekat sama kamu.

Ayah cuma mau kamu baik-baik aja sampai kamu benar-benar bisa tanggung jawab sama diri kamu sendiri," ucap Ayahku.

"Hmm, gitu...

Huaaa... Nura tidur duluan ya, Yah," ucapku sambil bersandar.

"Ya sudah, tidur gih," jawab ayahku.

"Ayah jangan ke mana-mana ya, di sini aja," ucapku sedikit manja.

"Iya, nggak ke mana-mana kok. Sini-sini, tidur di sini," ucap ayahku.

Akupun menyesuaikan posisi tidurku, menggenggam tangan ayahku, berharap ia tetap di sampingku.

Singkat cerita, ayahku membangunkanku.

"Ada apa, Yah? Masih ngantuk..." ucapku setengah sadar.

"Tempatnya mau dibersihin dulu, keluar dulu yuk," jawab ayahku dengan lembut.

Aku pun bangun lalu keluar bersama ayahku. Di luar sudah ada ayahnya Mira dan A Novan yang sedang duduk ditemani secangkir kopi.

"Van, ajak ke rumah aja, sekalian kamu istirahat. Nanti siang gantian sama Mira ke sini," ucap ayah Mira kepada A Novan.

"Ah, nggak usah, Dra. Saya cari homestay aja," jawab ayahku.

"Alah, udah-udah, ngapain homestay-homestayan. Uangnya simpen aja buat ongkos," ucap ayah Mira.

Setelah sedikit perdebatan, ayahku akhirnya kalah juga. A Novan membawa aku dan ayahku ke rumahnya.

Sekitar 15 menit perjalanan, kami tiba di rumahnya.

"Masuk, Pak. Maaf ya, ala kadarnya," ucap Novan.

"Apaan, rumah segede gini dibilang ala kadarnya," jawab ayahku.

"Iya, A, gede. Ini dua kali lipat rumah Nura," jawabku polos.

"Ini kamarnya, Pak, kalau mau nerusin istirahat. Mau dibikinin kopi?" tanya Novan.

"Oke, oke. Ah, nggak usah, gampang-gampang," jawab ayahku.

"Oh gitu, ya udah. Kalau gitu, Novan izin masuk kamar dulu, ya, Pak. Kalau mau masak atau ke kamar mandi, itu di sebelah sana, Pak. Pakai aja," ucap Novan sambil pamit.

Aku dan ayahku kemudian duduk lesehan sambil selonjoran. Aku yang masih sedikit mengantuk langsung menempelkan kepalaku di paha ayahku.

"Pindah ke kamar aja tidurnya," ucap ayahku.

"Huaaa... Nggak ah, di sini aja," jawabku polos.

Akhirnya, tanpa sadar, aku pun tertidur.

Udara yang panas membangunkanku. "Huaaa... astagfirullah," ucapku kaget karena tiba-tiba aku berada di kamar.

Aku langsung keluar dari kamar, mencari ayahku. "Ayah kemana sih," gumamku kesal.

Aku mencari ke depan rumah, tapi tidak ada. Aku coba mencari ke halaman belakang, dan benar saja, ayahku sedang asik memberi makan ayam. Aku langsung menghampirinya. "Ayah ngapain di sini?" tanyaku.

"Eh, udah bangun. Ah, biasa...

Kamu mau makan dulu atau mandi?" tanyanya.

"Huaam, mandi dulu kayanya," jawabku.

"Ya sudah, mandi dulu sana. Abis itu makan, terus ke rumah sakit lagi," jawab ayahku.

"Iya, Nura mandi dulu," ucapku sambil kembali ke kamar.

Saat aku berjalan ke arah kamar, aku melihat sebuah foto yang terpajang di lemari.

"Loh, ini ada foto ayah sama ibu. Tapi kok nggak ada di rumah ya," gumamku.

Tanpa sadar, Novan muncul dari belakangku. "Itu foto pas tsunami Aceh 2004. Bapakku dan ayahmu sebenarnya tergabung di satuan relawan bencana alam," ucapnya.

"Astagfirullah, Kang Novan bikin kaget. Kirain siapa," jawabku sambil menoleh ke arahnya.

Novan lalu bercerita panjang lebar.

"Coba deh kamu perhatiin, ada perbedaan nggak ayahmu di foto ini sama sekarang?" tanyanya.

Dengan polosnya aku menjawab, "Hmm, nggak ada deh. Di foto ini ayah lebih gemuk dan lebih hitam aja."

Novan lalu berkata, "Coba kamu lihat baik-baik wajah ayahmu sekarang. Di sini ada luka seperti bolong. Bapakku selalu cerita, katanya pengen balas budi tapi belum kesampaian.

Luka itu katanya karena hantaman batu karang pas nyelamatin bapakku. Nggak cuma itu, dari betis kanannya sampai ke paha, katanya ada bekas jahitan juga."

"Hah? Seriusan? Kok aku nggak tahu ya," jawabku sambil terus melihat foto tersebut.

Saat kami asyik ngobrol, ayahku datang lalu berkata, "Yeee, bukannya mandi malah pacaran."

"Allahuakbar, Ayah...

Ih, ngagetin aja...

Bener, ada," ucapku kaget sambil melihat ke arah wajahnya. Benar saja, di ujung kanan keningnya ada bekas luka sebesar jari kelingking.

"Apanya yang ada?" tanya ayahku.

"Uuuh, kepo. Udah ah, Nura ambil handuk dulu. Mau mandi," jawabku, kemudian pergi ke kamar.

Sebelum masuk ke kamar, aku sempat mengintip dari balik pintu. Terlihat ayahku memandangi foto tersebut, lalu mengeluarkan ponselnya seperti sedang memfotonya.

"Apa mungkin ini alasannya kenapa ayahku melarang aku main di pantai? Jangan-jangan ayahku trauma dengan pantai? Kalau benar, aku batalin aja deh rencana ke pantai. Aku nggak mau ayahku kenapa-kenapa," gumamku sendiri.

Aku ambil handuk lalu keluar dari kamar, berjalan menuju kamar mandi. Sebelum masuk, aku melihat ayahku seperti sedang memasak. Karena takut basa-basi, aku pun masuk ke kamar mandi.

"Duh, kenapa aku jadi kepikiran ya," gumamku.

"Sayang, makanannya Ayah taruh di atas meja ya. Ayah mau ke warung sebentar," ucap ayahku dari luar.

"Iya, jangan lama-lama ya," jawabku.

Episodes
1 bab 1
2 bab 2 ( perkenalan )
3 bab 3 rupanya mereka berteman
4 bab 4
5 bab 5
6 bab 6
7 bab 7
8 bab 8
9 bab 9
10 bab 10 kebohongan pertamaku
11 bab 11
12 bab 12
13 bab 13
14 bab 14
15 bab 15
16 bab 16
17 bab 17
18 bab 18
19 bab 19
20 bab 20
21 bab 21
22 bab 22
23 bab 23
24 bab 24
25 bab 25
26 bab 26 : dibayar lunas
27 bab 27 : alasan orangtuaku bisa pergi umrah
28 bab 28 : rasa sakit diana yang baru aku tahu
29 bab 29 : diana membuatku bingung
30 bab 30 : diana semakin terang terangan
31 bab 31 : ryan mengkhianatiku
32 bab 32 : penyambutan orangtua& awal pertaubatanku
33 Bab 33 : enaknya melibatkan allah
34 bab 34 : mimpi&tangisan penyesalan
35 bab 35 : aku curhat pada bu sinta
36 Bab 36 : aku kembali bersemangat
37 bab 37 : pengakuan dosa sang ibu
38 bab 38 : tangisan terakhir ibuku
39 bab 39 : tak kuat terima kenyataan
40 bab 40 : kabar duka ayahku
41 bab 41 : kenyataan yang tak ku inginkan
42 bab 42 : hadirnya bu sintia dan mas teguh di hidupku
43 bab 43 : kembali tersadar
44 bab 44 : kenyataan pahit
45 bab 45 : rio
46 bab 46 : mas teguh memuaskan aku
47 bab 47 : ternyata aku sakit
48 bab 48 : nyaris putus asa
49 bab 49 : mukjizat mimpi seorang kakek
50 bab 50 : Membuka lembaran baru
51 bab 51 : bu tami & segudang kasih sayang
52 bab 52 : jejak kenangan ayahku
53 bab 53 : bertemu dengan saksi hidup ayahku
54 bab 54 : yang penting jujur
55 bab 55 : Pergolakan Batin di Tengah Keterbatasan
56 bab 56 : Beban Penyesalan yang Berat
57 bab 57 : episode terakhir ( kumpulan dosa ayahku )
Episodes

Updated 57 Episodes

1
bab 1
2
bab 2 ( perkenalan )
3
bab 3 rupanya mereka berteman
4
bab 4
5
bab 5
6
bab 6
7
bab 7
8
bab 8
9
bab 9
10
bab 10 kebohongan pertamaku
11
bab 11
12
bab 12
13
bab 13
14
bab 14
15
bab 15
16
bab 16
17
bab 17
18
bab 18
19
bab 19
20
bab 20
21
bab 21
22
bab 22
23
bab 23
24
bab 24
25
bab 25
26
bab 26 : dibayar lunas
27
bab 27 : alasan orangtuaku bisa pergi umrah
28
bab 28 : rasa sakit diana yang baru aku tahu
29
bab 29 : diana membuatku bingung
30
bab 30 : diana semakin terang terangan
31
bab 31 : ryan mengkhianatiku
32
bab 32 : penyambutan orangtua& awal pertaubatanku
33
Bab 33 : enaknya melibatkan allah
34
bab 34 : mimpi&tangisan penyesalan
35
bab 35 : aku curhat pada bu sinta
36
Bab 36 : aku kembali bersemangat
37
bab 37 : pengakuan dosa sang ibu
38
bab 38 : tangisan terakhir ibuku
39
bab 39 : tak kuat terima kenyataan
40
bab 40 : kabar duka ayahku
41
bab 41 : kenyataan yang tak ku inginkan
42
bab 42 : hadirnya bu sintia dan mas teguh di hidupku
43
bab 43 : kembali tersadar
44
bab 44 : kenyataan pahit
45
bab 45 : rio
46
bab 46 : mas teguh memuaskan aku
47
bab 47 : ternyata aku sakit
48
bab 48 : nyaris putus asa
49
bab 49 : mukjizat mimpi seorang kakek
50
bab 50 : Membuka lembaran baru
51
bab 51 : bu tami & segudang kasih sayang
52
bab 52 : jejak kenangan ayahku
53
bab 53 : bertemu dengan saksi hidup ayahku
54
bab 54 : yang penting jujur
55
bab 55 : Pergolakan Batin di Tengah Keterbatasan
56
bab 56 : Beban Penyesalan yang Berat
57
bab 57 : episode terakhir ( kumpulan dosa ayahku )

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!