Tetanggaku Musuhku
"Stop bang!" jerit Zizi dengan suara cemprengnya.
Ciitt!
Bang Udin, sang sopir langsung menginjak rem tak kalah cepat dengan suara gadis itu.
"Kenapa mbak? Ada apa lagi?" tanya bang Udin dengan wajah yang tampak sangat kaget.
"Itu bang. Mundur dikit boleh gak?" jawab Zizi dengan wajah meringis.
"Iya mbak." Wajah bang Udin meringis, setelah itu ia bergegas melakukan apa yang diinginkan oleh penumpangnya.
"Stop bang!" jerit Zizi lagi.
Ciitt!
Bang Udin kembali menginjak rem dengan cepat. Untungnya Zizi memakai seat belt nya jadi adegan nabrak dengan dashboard mobil pickup itu bisa dihindarinya.
"Pelan-pelan dong bang kalo mau ngerem kayak gitu!" gerutu gadis itu. Bang Udin hanya bisa tersenyum meringis dan kemudian mengajukan protes.
"Maaf mbak. Habisnya minta stop mulu sih."
"Ish. Ya kan abang KELEWATAN jadi aku minta stop!"
Bang Udin hanya menghela nafas dengan perasaan sabar seluas samudra. Pasalnya, ini yang kesekian kalinya penumpangnya ini berlaku seperti ini dalam hitungan beberapa jam saja.
Aaa untungnya gadis ini cantik, jadi tidak terlalu membosankan bersama dengannya, batin bang Udin.
"Kita gak nyasar lagi 'kan bang? Eh, maksud aku ini beneran alamatnya 'kan bang?"
Hadeh!
Bang Udin akhirnya menggerutu lagi dalam hati. Wajahnya ia sapu dengan kedua tangannya berusaha bersabar.
"Iya mbak. Alamat yang ini udah cocok kok. Di depan gapura sebelum masuk komplek, tulisannya ada, kayak nama Citra - citra gitu."
"Ih gimana sih bang. Kok abang kayaknya jadi ragu kayak gitu sih?" protes Zizi.
Bang Udin kembali menghela nafasnya berat.
Sabar...
Hanya itu kata yang harus ia ucapkan dalam hati.
"Gambaran mbak Meta tentang alamatnya kayaknya gak sesuai deh. Sapa tahu yang bang Udin lihat itu cuma penCITRAan aja, gimana? Kan salah alamat lagi kita."
Zizi berucap seraya memandang ke sekeliling komplek itu dari balik kacamata hitamnya.
"Lah, saya kan tidak tahu juga mbak. Saya 'kan cuman ngantar kemana saja mbak mau."
"Iya, tapi kan Abang harus tahu semuanya juga. Aku ini penumpang penting lho. Aku juga udah lelah. Udah capek dan juga lapar."
"Ya sama mbak."
Bang Udin mendengus pelan. Pria itu masih berusaha bersabar meskipun rasanya ia sudah hampir menyerah. Sedari tadi penumpangnya ini terlalu cerewet dan selalu saja merasa benar. Sudan dua jam mutar-mutar tapi mereka tak kunjung sampai pada tujuan.
"Saya 'kan udah bilang mbak, kita harus nelpon orang yang tahu alamatnya atau minimal tanya om Gugel. Jadi kita gak akan nyasar."
Zizi langsung melotot dari balik kacamata hitam yang baru ia beli di pinggir jalan kemarin siang.
"Ya ampun bang Udin. Sedari tadi bang Udin selalu aja ngomongin Om Gubel. Lagian Om Gugel itu siapa sih? Aku 'kan gak punya om yang namanya om Gugel."
Grrrr
Bang Udin hanya bisa mencengkram kemudinya dengan gemas. Ko' bisa-bisanya gadis ini keterima kerja di Perusahaan besar tapi berkenalan dengan om Gugel saja belum pernah.
Ia yang hanya seorang sopir aja tahu siapa Om Gugel sedangkan gadis cantik di sampingnya ini?
Hello?
Kemana saja dia di dunia serba teknologi ini?
"Kok gak dijawab sih bang. Om Gugel itu siapa?" tanya Zizi dengan ekspresi polosnya.
Bang Udin tak ingin menjawab. Ia lebih memilih menenggak minumannya dari sebuah botol air kemasan. Zizi pun sadar. Mungkin Bang Udin udah merasa bosan dan lelah menolongnya.
"Aku 'kan baru kerja satu hari dan langsung dapat rumah dinas bang. Trus aku belum sempat tanya mbak Meta baik-baik. Eh udah dapat kunci rumah, katanya hari ini aku sudah harus pindah ke rumah baru."
"Iya deh mbak. Saya ngerti kok. Coba sekarang lihat alamatnya lagi mbak, supaya kita gak capek mutar-mutar lagi."
Bang Udin pun akhirnya mengalah.
Zizi pun membuka kembali kertas kecil yang sejak tadi ia pegang sampai lusuh. Beberapa huruf dan angka di dalam kertas kecil itu bahkan sudah hilang karena sudah lelah diremas-remas.
"Ah ya ternyata bang Udin betul. Nama kompleknya bener ada Citranya!" pekik Zizi senang. "Tapi awas lho bang. Kalo kita salah lagi," lanjut gadis itu dengan wajah mengancam.
Bang Udin kembali menghela nafasnya pelan.
Sabar...
Gadis ini selain cerewet, ia juga sangat sok tahu meskipun sering banget salah.
"Ya udah mbak, kalo gitu kita cek nomor rumahnya saja. Udah cocok apa belum?"
Zizi tersenyum kemudian melihat rumah berwarna krem di hadapannya.
"Hum, tapi kayaknya kita sudah cocok deh bang," ucap Zizi lagi meyakinkan. Kedua mata indahnya bergantian melihat kertas kecil lusuh ditangannya dengan rumah yang ada di hadapannya.
Gambaran rumah itu pas dengan rumah yang digambarkan oleh Meta, kepala bagian HRD di perusahaan tempatnya bekerja.
"Yah, Alhamdulillah mbak. Akhirnya kita benar-benar sampai," balas bang Udin kemudian turun dari mobil pick itu.
Zizi pun ikut turun tanpa membuka kacamata hitamnya yang masih setia bertengger pada hidung minimalisnya. Gadis itu menatap pagar rumah yang baru ia datangi dengan ekspresi senang. Rumah itu ternyata mewah meskipun minimalis.
"Ini beneran rumahnya 'kan bang?" tanya gadis itu lagi tiba-tiba meragu. Akan tetapi bang Udin sudah tak ingin menjawab. Pria itu sudah lelah. Ia lebih memilih membuka tali pengikat barang bawaan gadis itu dengan cepat agar urusannya cepat beres. Setelah itu ia akan pergi dari tempat itu.
"Ah iya deh. Kalau kuncinya cocok ya udah pasti tepat lah bang, hehehe." Zizi terkekeh renyah. Setelah itu, ia pun mencoba membuka pintu pagar rumah minimalis itu dengan sebuah anak kunci yang ia bawa.
"Kuncinya kok gak cocok sih bang?" ucap Zizi setelah mencoba membuka gembok pagar itu.
Bang Udin pun menghentikan kegiatannya menurunkan barang-barang gadis itu. Ia menghampiri Zizi dan ikut menyentuh gembok pagar.
"Lah kok bisa ya mbak?" tanyanya setelah mencoba menggantikan Zizj dan ternyata memang tidak berhasil.
"Iya gak bisa. Udah aku coba berkali-kali." Wajah Zizi yang putih dan glowing merenggut. Sang sopir pun bingung dan langsung berubah khawatir. Kepalanya langsung semakin gatal karena sudah beberapa hari ini belum bertemu dengan shampo.
"Aduh mbak, jangan-jangan salah kunci lagi," ucap pria paruh itu dengan wajah meringis.
"Ah gak mungkin. Aku gak punya kunci lain selain kunci ini bang," timpal Zizi cepat.
"Lalu gimana dong mbak. Masak kita harus nyari kunci lagi sih. Mana sewa mobilnya murah banget lagi," sahut bang Udin mulai menggerutu.
Bibir Zizi pun manyun. Hatinya mulai dongkol. Apalagi rasa panas berada di luar ruangan seperti ini membuatnya semakin kegerahan. Belum lagi, perasaan ingin pipis sudah mulai menggangunya.
Gadis itu merapatkan kedua pahanya karena sudah mulai tak sabar. Bentar lagi akan banjir di situ itu kalau ia berlama-lama.
"Duh gimana dong bang?" ucapnya gelisah. Apakah ia harus kembali ke Perusahaan yang baru saja menerimanya jadi Office Girl? Hari ini 'kan hari Minggu, mana ada yang akan melayaninya.
"Tolong aku bang. Aku juga cuma dikasih kunci ini lho sama mbak Meta. Katanya ini adalah kunci satu-satunya. Jadi jangan sampai hilang atau aku bakalan disuruh ganti rugi."
"Lah!"
Wajah Bang Udin ikutan stress tapi pura-pura tak perduli. Ia sudah lelah. Dan sekarang ia ingin pergi dari tempat itu secepatnya.
Zizi sendiri kembali mencoba memutar anak kunci sembari membaca bismillah berkali-kali. Surah Al-fatihah pun ia baca agar kunci gembok besar pagar itu bisa terbuka.
"Hey! Kalian mau mencuri ya?!" teriak seseorang dari arah dalam pagar rumah.
Eng Ing Eng...
O o o siapa dia?
Hai, othor datang lagi nih, semoga masih ada yang merindukan othor 😍
Azizah Khumairah atau Zizi, 19 tahun.
Visual, Bara Al Fayed, 28 tahun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Normah Basir
lanjut
2024-10-14
0
Bunda
hadir thor...tp titip sendal dulu bentar yak...
lg sibuk drachin soalnya 😁
2024-10-05
1
Hadiyah 0575
kacamatax mbak zizi pasti beli di pinggir jalan sekitar sentral ya🤭
2024-09-28
0