Support System

Berbelanja buku adalah hal yang paling aku suka. Semua orang tahu, Fatimah Az-zahra penggila buku. Apapun genre dan jenisnya, pasti aku baca. Bang Jack adalah salah satu orang yang sering sekali menghadiahkan buku--pernah mengirimkan paket sebesar kardus bekas dispenser yang isinya buku semua.

Makanya sekarang aku curiga, tujuan Bang Jack mengajakku ke toko buku bukan untuk mencari bahan skripsi, melainkan menenangkanku dari emosi.

Bukan omong kosong, buktinya Bang Jack berlama-lama di rak bagian novel, mampir di buku bisnis, dan menetap di rak berisi ratusan komik.

Aku, lebih memilih mencari buku non-fiksi. Kali ini aku mendapat lima buku tentang alam semesta, lima buku  dan lima buku sejarah Islam dunia. Total harganya jangan ditanya, apalagi sampai julid dengan mengatakan aku penghabis harta orang tua.

Sejak SD, aku langganan Olimpiade. Setiap mengikuti pelatihan sampai hari lomba, ada uang saku yang lumayan untuk memenuhi dahaga buku.

Bulan lalu, aku baru saja memenangkan Olimpiade Sains bidang Biologi tingkat provinsi. Sayang, ketika mewakili provinsi aku harus kalah dan merelakan podium pertama ditempati oleh perwakilan dari Banda Aceh--aku juara tiga.

Lucunya, aku belajar sampai mimisan dan sibuk memberi semangat Ameena. Dia mewakili provinsi di bidang matematika. Entah apa yang dia makan sampai-sampai jago luar biasa di bagian menghitung--mungkin itu sebabnya dia sangat perhitungan.

Aku, jangankan mengikuti Olimpiade bidang yang dibenci oleh ummat pelajar satu dunia, diberikan pekerjaan rumah saja rasanya dunia mulai runtuh. Pusing.

Kembali ke cerita. Setelah mati-matian belajar, sampai hidung mimisan dan rambut rontok banyak, aku kalah. Mama sampai memanggil psikolog ke rumah saking takut anaknya depresi. Bagaimana tidak? Impianku adalah menang. Harus menang.

Namun, saat mewakili provinsi aku selalu kalah. Itu artinya aku kurang keras belajar atau akunya yang tidak hoki? Setiap mengingat itu, aku emosi.

Dengan kesal kubanting keranjang berisi buku ke kasir dan duduk di lantai. Bang Jack terdiam, dia ikut berjongkok di sampingku--walau tetap menjaga jarak.

"Ada apa? Masih marah soal tadi?" Suaranya sangat pelan saat bertanya.

"Kenapa aku harus kalah di Olimpiade kemarin?" Kepalaku pusing tiap memikirkan podium dan piala juara satu direbut orang lain.

"Ya, mungkin biar lo gak jadi orang gila kali. Ameena cerita sama gue, lo orang yang paling keras belajarnya setiap pembekalan."

"Nah, gue udah belajar sampai ubun-ubun gue mau habis gara-gara menguap. Kenapa masih kalah juga?"

"Gini, ya, Tuan Putri. Usaha lo aja udah cukup buat sekolah, gue yakin itu. Mereka pasti terharu ngelihat lo mau kerja keras demi menang. Jadi, gak usah terlalu dipikirin."

"Gue, kan, punya otak. Gimana bisa Abang suruh jangan mikir?"

"Sebenarnya, kekalahan lo cuma alasan, kan?"

"Maksudnya?"

"Lo marah karena Papa lo kepergok selingkuh, terus lo nyari alibi biar bisa marah-marah. Bener dugaan gue?"

"Gak ngerti, ah." Lebih tepatnya, aku tidak mau mengerti.

Kasir menegur kami agar tidak terlalu lama berdiam di sini. Pembeli lain terhalang saat hendak membayar. Dengan wajah lesu, aku bangkit dan membayar semua harga buku.

Untung Bang Jack ikut. Kalau tidak, aku harus membawa lima belas buku sendirian. Memang hanya sebesar novel, beberapa memiliki ukuran sedikit lebih besar dari itu. Namun, beratnya minta ampun.

Mungkin kalau aku bertemu orang gila di jalan, tinggal timpuk pakai buku yang kubeli. Dijamin orang gila itu akan pingsan dan memilih jalan lain setiap bertemu denganku. Begitulah kira-kira penjelasan seberapa berat beban yang dibawa Bang Jack.

Pria itu santai saja. Beban di gym lebih berat dari buku-buku ini. Buat orang yang terbiasa olahraga, beban segitu seperti menimang upil di atas jari telunjuk. Ringan.

Aku ke luar dari mall dengan perasaan campur aduk. Di sini, Bang Jack menemaniku menunggu taksi online. Pernyataan bila Bang Jack akan mengantarku pulang hanya alibi semata, agar aku terbebas dari cengkeraman atmosfer mengerikan bersama Papa.

Jujur, aku bersyukur sekali bisa menjauh dari dua orang yang sedang pubertas itu. Sedikit lebih lama lagi berada di sana, kemungkinan besar meja itu sudah terbalik dan Papa akan menanggung malu karena putrinya mengamuk di tempat umum.

Bang Jack tidak seperti Papa. Dia akan menolak mengantarku walau diminta. Sebaliknya saat ada Ameena, Bang Jack akan memaksa. 

Bukan hendak bermuka dua atau apa, pria itu hanya sedang menjaga martabat kami berdua. Dia selalu memikirkan mudharatnya sebelum melakukan sesuatu.

Nah, biasanya Bang Jack akan menunggu taksi online datang dan memastikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa aku aman bersama sopir taksi. Seperti yang dia lakukan sekarang.

Setelah aku pergi, katanya Bang Jack akan bersiap-siap ke bandara. Ia sudah membeli tiket ke Banda Aceh, dan menyewa travel dari Banda Aceh ke Takengon. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk meninjau biji kopi.

Aku curiga, Jangan-jangan Bang Jack punya kebun kopi sendiri di sana. Buktinya, rela bolak-balik Jakarta-Aceh tiap bulan.

Sebelum taksi online datang, aku menatap Bang Jack. "Tadi, Papa ngomong apa ke Abang? Kenapa harus pergi ke tempat lain?" tanyaku serius.

"Sepulang dari Aceh, Abang ceritain semuanya," jawab Bang Jack singkat.

"Kapan pulang dari Aceh?"

"Seminggu lagi."

Aku berdecak. "Lama banget. Kalau gitu, nanti kalau udah pulang kabarin, ya? Atau Abang mau datang ke rumah juga, silakan. Yang penting ngabarin dulu, biar aku lihat kondisinya. Kalau lagi gak ada Mama, nanti Abang bisa ajak Ameena."

"Ameena gak boleh tahu masalah kamu!" tegas Bang Jack.

"Kenapa? Ameena sahabat aku dari SMP."

"Zahra, sedekat apapun kalian, jangan saling mengumbar kabar rumah. Gak baik."

Aku berpikir sejenak dan menimbang-nimbang. Mungkin, Bang Jack ada benarnya.

Taksi online pesanan Bang Jack tiba. Sebelum masuk, aku memastikan sesuatu terlebih dahulu.

"Bang Jack yakin mau selidiki tentang Papa? Papa gak bisa dicampuri hidupnya, Bang. Aku kenal Papa dengan baik karena aku duplikatnya Papa," ucapku cemas.

"No, Abang gak akan kenapa-napa. Kamu jangan ngelakuin apapun sampai Abang pulang dari Aceh."

"Misalnya?"

"Ngasih obat pencahar ke makanan atau minumannya guru kamu itu."

"Ngasih pencahar ke maung, eh, pacarnya Papa?" Kedua alisku menyatu, Bang Jack malah memberikan ide bagus.

Seolah tahu apa yang aku pikirkan, pria itu melotot. Aku nyengir dan berusaha meyakinkan dia. Tidak akan terjadi apa-apa sampai Bang Jack kembali, setidaknya aku tidak akan melakukan hal ekstrem seperti yang Bang Jack sebut tadi.

Aku melambai-lambai heboh sebelum Bang Jack menutup pintu taksi. Perhatiannya membuat perutku bergemuruh.

"Lapar, Neng?" Sopir taksi menoleh ke belakang.

"Hah? Gak, kok, Pak." Aku maung, Pak. Bukan manusia.

"Ya udah, saya izin nyalain musik, ya?"

"Silakan, Pak."

Sopan sekali Pak Sopir ini. Mau menyalakan musik saja minta izin terlebih dahulu.

Ketika dentuman DJ memenuhi satu mobil, aku tersentak. Bapak itu nyengir dan mengatakan, "DJ itu support saya, biar makin semangat kerjanya."

Oh, begitu.

Rumahku berada di kawasan Menteng. Jangan tanya tepatnya di mana, aku takut kalian akan mendatangiku dan menanyakan banyak hal--apalagi melamar. Aku mau fokus pada masalah keluarga, khususnya Papa dan maung, selingkuhan maksudnya.

Taksi yang aku tumpangi bagai merangkak saat hampir tiba di depan rumah. Usai mengucapkan terima kasih pada sopir yang mirip Freddy Mercury itu, aku langsung menghambur masuk ke dalam rumah.

Di waktu siang menjelang sore, Mama pasti sedang menyejukkan body dan hati dengan menonton drama Korea. Aku heran, menjelang usia empat puluhan, Mama malah semakin mengikuti trend kekinian.

Orang lain cat rambut, Mama sewa satu salon selama dua puluh empat jam. Orang lain custom baju, Mama berusaha tidak ketinggalan. Orang lain beli sepatu baru, Mama malah memenuhi satu kamar dengan sepatunya.

Mulutku sudah lelah mengingatkan, agar Mama tidak terlalu boros dalam membeli barang. Bukan apa, takutnya malah tidak digunakan. Ukuran kakiku lebih kecil dari kaki Mama, badanku pun jauh lebih kecil dari Mama yang tinggi dan proporsional--seperti Luna Maya. Siapa yang akan memakainya nanti?

Namun, di balik semua itu, aku tahu Mama sedang menikmati hasil jerih payahnya. Sejak muda--usia dua puluhan, mendiang Engkong bilang Mama sudah mencari uang sendiri. Setiap ada festival fashion, nama Devi Maharani pasti tercatat sebagai salah satu model berbakat di era delapan puluhan.

Di masa tuanya, Mama pasti ingin memanjakan diri dengan tabungan yang entah berapa isinya. Aku memaklumi. Hanya saja, sebagai anak aku tetap berusaha mengingatkan Mama supaya tidak berlebihan.

Wajah Mama awet muda. Bila baru bertemu, tak seorangpun yang menyangka beliau sudah mempunyai anak gadis berusia delapan belas tahun.

Kadang-kadang, di tempat umum aku suka dianggap sebagai adik, sepupu, atau keponakannya Mama. Mengerikan sekali. Memangnya wajahku tidak cocok jadi anak usia delapan belas tahun, kah?

"Hai, Sayang. Udah selesai belanjanya?" Mama menyapa dari atas sofa gantung di ruang tengah.

Di pangkuannya, ada laptop putih kesayangan--dapat dipastikan benda itu sedang memutar konser atau drama negeri Ginseng.

Aku menyalami Mama sembari mengucap salam lalu duduk di sebelahnya. Dugaanku benar. Mama sedang menonton drama kolosal yang dibintangi artis-artis berbakat dari Korea.

Sebenarnya, aku tidak pernah mempermasalahkan orang-orang yang mabuk K-Pop. Terserah mereka mau menyukai apa, itu bukan urusanku selama tidak meminta uang padaku.

Masalahnya, ada beberapa orang yang terlalu fanatik sampai mendewakan mereka ketimbang orang tuanya. Aku tidak terlalu suka K-Pop, tapi tidak membencinya. Dalam artian, ada beberapa film sarat pendidikan yang aku sukai.

Mamaku ini sudah sangat fanatik. Nyaris gila, mungkin. Allah tidak menyukai orang-orang fanatik.

"Beli apa aja tadi?" tanya Mama sambil menjeda sejenak filmnya.

"Banyak, Ma. Skincare, lima belas buku, dua porsi mie goreng mozarella, dua porsi roti bakar cokelat, dua milkshake cokelat, sama satu latte. Minumannya udah habis di jalan, macet parah. Bikin gerah aja," ceritaku.

"Beli buku lagi? Mana bukunya?" Mata Mama mencari-cari. "Cuma segini makanannya? Bukunya mana?"

"Di depan, Ma. Berat, aku gak bisa bawa masuk semuanya. Nanti aja waktu udah mandi. Mama lagi ngapain? Nonton drama Korea lagi?"

Tiba-tiba, senyum Mama berubah cerah. "Dek, Mama udah beli tiket buat pergi konser VTS di New York. Kamu mau ikut, kan? Ayolah, temenin Mama!"

"Ya Allah, Mama!" Aku geleng-geleng kepala. "Ingat usia, Ma. Mama itu udah mau empat puluhan. Tulang-tulang Mama pasti udah gak kuat dibawa loncat-loncat. Nanti kalau Mama encok di sana, gimana?"

Tangan Mama mendarat di punggungku. "Mama gak setua itu, ya!"

"Ih, Mama dikasih tahu gak percaya. Aku mandi dulu, deh. Gerah. Oh iya, Mama dapat salam dari Bang Jack!" Aku bangkit dan hendak pergi ke kamar.

"Salamin balik, ya? Menantu Mama makin hari makin romantis aja."

Aku bergidik ngeri sembari berlari. Takut dipaksa Mama pergi konser lagi. Tahun ini aku harus bebas. Tidak akan ke mana-mana, kecuali atas kemauan diri sendiri.

Kakiku semakin cepat saat mendengar suara Mama memanggil.

"Dek, jadi gimana? Mau ikut Mama gak?!"

"Deeekk! Ya Allah, punya anak satu begini amat, ya?"

Gerutuan Mama terdengar sampai kamar. Aku pura-pura tidak mendengar, sembari meletakkan makanan di atas meja belajar, aku berpikir sejenak. Bapak sopir tadi mengaku DJ adalah support-nya. Apa K-Pop, K-Drama dan semacamnya menjadi support system Mama?

Terus, aku apa? Jangan-jangan, support-ku selama ini adalah Bang Jack dan Ameena. Mungkin benar, aku dan Ameena akan segera besanan. Maksudku, menjadi ipar.

"Oh, terus support Papa apa? Maungnya, si Bu Marsya?!" Aku melotot kesal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!