Usai bersih-bersih, wudhu, salat Asar, dan melakukan ritual wajib bagi perempuan--merawat kulit, aku melakukan pemanasan tenggorokan. Malam ini malam Senin, dan besok adalah hari paling berat bagi ummat pelajar serta pekerja. Rasanya, daripada kepalaku stress duluan lebih baik karaokean.
Tak perlu muluk-muluk sampai menyewa satu ruangan di tempatnya Bunda Inul Faratista. Cukup menyalakan ponsel, sambungkan ke pengeras suara, lalu ambil mik-nya.
Lagu Arcade menjadi pembuka. Aku butuh teriak-teriak setelah menahan emosi sekuat tenaga. Kalian jangan khawatir suaraku mengganggu tetangga. Minggu lalu, Mama menandatangani proposal yang berisi keinginanku untuk memasang pengedap suara.
Entah apa yang ada dalam pikiran Mama, sampai-sampai beliau menyetujui tanpa banyak bertanya. Memang, itu sebuah keberkahan. Di saat kepala mulai sesak oleh polusi, aku akan langsung bernyanyi. Sesekali bershalawat dan mencoba menirukan cengkok-nya Mbak Nissa Sabian. Susah, aku lebih berbakat dalam nada tinggi. Apabila harus menyanyikan lagu yang lembut mendayu, keburu seret.
Lagu Arcade selesai, langsung kusambung dengan Easy on Me-nya Tante Adele. Jujur, demi cafenya Tuan Crusty Crab yang entah berada di Samudra belahan mana, aku sangat menyukai lagu-lagu Adele.
Liriknya bagus, powernya dapat, belum lagi dinyanyikan saat sedang ada masalah. Lega rasanya. Di tengah-tengah acara karaoke individu, ketukan pintu menyadarkanku yang kelewat semangat.
Buru-buru kukecilkan volume dan membuka pintu. Papa berdiri dengan canggung, air mukanya sulit diartikan. Aku mengangkat sebelah alis, lalu mempersilakan Papa masuk.
"Mama berisik terus, katanya kamu gak mau temenin Mama ke New York," ujar Papa sambil lesehan di atas karpet bulu abu-abu.
"Males banget harus ke konser, tahun ini aja aku udah dua kali absen di sekolah karena nemenin Mama berburu pernak-pernik VTS," keluhku dengan nada seperti biasa.
"Baru dua kali."
"Dua kali dalam artian sekali absen seminggu, Pa. Kalau dijumlahin semuanya empat belas."
"Mama udah terlalu fanatik sama Korea."
"Mungkin itu cara Mama healing?" Aku mematikan musik, ruangan terasa hening, dan aku langsung menyesali tindakan barusan.
Papa menghela napas berat. "Mengenai soal Marsya, Papa harap kamu gak berpikiran yang aneh-aneh. Kami gak sengaja ketemu dan, ya, ngopi sebentar. Hubungan Papa sama Marsya hanya sebatas guru dan orang tua anak didik aja. Papa yakin kamu paham."
"Paham banget, Pa. Aku gak ada bilang marah dan sebagainya, kan? It's okay for me. Lagian Bu Marsya itu guru aku, gak mungkinlah suudzon sama guru sendiri!"
"I'm not sure, but Papa tadi lihat ada kilasan emosi di mata kamu. Jadi, sepulang dari kantor Papa langsung cari kamu. You know what I mean, Papa sayang banget sama kamu."
"Ih, obrolan kita jadi berat, ya? Aku gak sanggup, Pa, kalau berat-berat." Aku berusaha menghindar dari pembahasan ini.
"Papa serius, Papa sayang sama kamu."
"I know that, Pa. Papa gak perlu raguin kepercayaan aku sama Papa. Kapanpun Papa berbuat salah nanti, aku pasti tahu. I'm duplicate of you. Aku gak akan permasalahin itu karena, ya, semua orang pasti salah terlepas dari niat baik di dalam hatinya."
Poin pentingnya adalah tutup mulut. Papa takut aku membicarakan hal tadi pada Mama.
Perselingkuhan di rumah tangga mereka terjadi karena ketidakpuasan Papa atas kepemilikan yang telah dia punya--menurut pemikiran sementara. Istri cantik nan baik, terpelajar, mantan model, shalihah--walau belum berhijab, Mama rajin salat. Bu Marsya bahkan sering menggunakan rok mini, bila alasan Papa berselingkuh karena Mama tidak menutup aurat.
Papa punya aku, anak gadis yang sangat Papa cintai--aku bisa melihatnya dari sinar mata Papa setiap kami berbicara.
Ekonomi bagus, kami tidak perlu tinggal di rumah sewa lalu merasa pusing setiap akhir bulan, kerajaan supermarket Papa berjalan lancar, diberikan pegawai-pegawai amanah, dan aku rasa, sebenarnya Papa hanya nafsu saja terhadap wanita yang lebih muda dari Mama, bila melihat dari segi kesempurnaan hidup kami.
Memikirkan itu, kepalaku nyaris meledak lagi. Ubun-ubunku mungkin tinggal seperempat karena menguap terus sejak pagi.
"Soal Jack, kamu kelihatan deket sama dia. Jack Abangnya Ameena, kan?" Papa mulai mengorek informasi.
"Deket banget, lah, Pa. Dari kapan coba aku kenal Bang Jack? Dari SMP. Dia itu hero yang selalu nemenin aku sama Ameena, kalau kami harus ke luar buat ngerjain tugas. I think he is a good boy."
"Of course. I trust you. Papa udah lihat gimana sikap Jack kalau udah menyangkut kamu. Do you love him?" tanya Papa sambil mengerling jahil.
"Am I love him? Aku gak terlalu paham apa itu cinta, dan gimana caranya mencintai dengan benar, tapi misalkan Mama beneran mau jodohin aku sama Bang Jack. Aku gak masalah!" jawabku semangat. "Hidup dengan orang yang udah aku kenal lebih bagus, daripada sama orang yang belum pernah aku lihat sama sekali."
"Oke, berarti kolega Papa pasti bakal mundur teratur kalau dengerin ucapan kamu barusan," gurau Papa.
"You said what?" Aku kaget saat sedang mengambil bag paper berisi jajananku--nyaris saja menjatuhkannya ke lantai.
"Banyak yang mau kamu jadi menantunya, Dek. But nevermind, Papa gak akan terima mereka kalau kamu maunya sama Jack."
"Kan, aku belum ada apa-apa sama Bang Jack."
"Oh, oke. Suatu saat nanti, Papa gak masalah kalau kamu punya hubungan serius sama Jack. Dia pasti sangat bertanggungjawab."
Kalau Papa menjawab pertanyaanku selanjutnya, aku akan mendapat poin penting yang sangat ingin aku ketahui.
"Papa percaya sama Jack?"
"Why not?"
"Kalau gitu, apa yang Papa bicarain sama Bang Jack tadi siang, sampai harus menjauh dari kami?"
Pertanyaan itu membuat Papa bungkam. Aku menjadi sangat yakin akan adanya perselisihan sebelum mereka kembali menghampiri kami--aku dan Bu Marsya. Entah apa yang Bang Jack ucapkan pada Papa. Aku tidak akan tahu sampai Bang Jack kembali. Papa tidak akan menjawabnya.
"Adek!"
Mama masuk dengan wajah berseri-seri. Wanita itu terkejut melihat Papa, sebelum akhirnya semakin cerah dan ceria. Ia menyalami Papa dengan santun dan bertanya banyak hal tentang kegiatan Papa.
Andai saja aku tidak melihat kemesraan Papa dengan Bu Marsya, sampai detik ini aku akan menganggap Mama dan Papa adalah pasangan terbaik sedunia.
Sayang, kekaguman yang terpupuk sejak kecil patah dalam satu hari. Segala energi positif menguap bagai kubangan kerbau terkena sinar matahari. Topeng indah mulai terkuak, memperlihatkan betapa hancurnya atmosfer rumah ini.
Aku berusaha mencintai Papa sebesar kemarin, tapi rasanya hambar. Pada akhirnya, aku tetap bercerita banyak hal, tapi dengan pikiran buyar.
🐅
Jam dinding bergambar Menara Eiffel menunjukkan angka dua belas. Mataku masih belum terpejam. Rasanya, bila diberlakukan jam tengah malam di sekolah, aku akan mendaftar dan akan pergi setiap mengalami insomnia. Gangguan tidur menyebalkan ini hadir bukan karena sengaja bergadang--seperti kata orang, melainkan wujud dedaunan dari pohon beban dalam pikiran. Jangan tanya buahnya, belum ada.
Aku turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Lampu-lampu sudah dimatikan. Rumahku tidak punya pembantu. Mama memasak sendiri demi memastikan kesehatan dan kebersihan pada makanan yang kami makan. Namun, setiap dua hari sekali, Mbak Ute datang untuk membersihkan rumah dan mencucikan pakaian.
Tanganku dan Mama sama-sama alergi detergen. Bukannya sombong atau sok cantik, aku juga tidak menginginkan alergi sialan itu. Kalau bisa, sudah kucuci semua baju Mama dan Papa setiap hari tanpa perlu disuruh.
Mau bagaimana lagi, sudah menjadi takdir, tangan yang tidak lentik-lentik amat ini bermusuhan dengan detergen. Lagipula, aku yakin banyak perempuan mengalami hal sepertiku. Salahkan saja produk 'tajam' yang terkandung dalam bahan pencuci pakaian tersebut.
Setelah menutup pintu, aku duduk di atas sofa singel di dekat tempat tidur. Kamar bernuansa krem-putih ini telah merekam segala tingkah absurdku selama empat belas tahun. Bila dinding bisa bicara, pasti suaranya akan serak setiap diminta siapapun untuk bercerita tentang apa saja yang aku lakukan di kamar.
Aku menatap rak buku yang menutupi satu sisi. Lima belas buku baru tadi sudah menutupi sisa ruang di rak, dan akan membutuhkan tempat baru.
Buku-buku itu menjadi hiburan bila aku sedang dilanda stres berkepanjangan. Kenapa seorang Fatimah Az-Zahra yang hidup berkecukupan bisa stres? Tentu saja bisa. Aku manusia biasa.
Di SMA, aku punya satu 'musuh'. Namanya Tiara. Dia itu kerjaannya nyinyir terus. Mungkin aku bisa cuek untuk beberapa saat, tapi kalau terlalu sering kepalaku panas juga. Lama-lama berubah jadi maung, nih.
Nah, sekarang aku menghadapi masalah baru. Bukan sekadar berselisih di sekolah atau jambak-jambakan hijab dengan Tiara. Papaku selingkuh dengan guru matematika, Bu Marsya.
Haruskah aku tulis perkembangan kisah ini di laman Facebook dan Twitter agar viral, lalu diangkat menjadi film layar lebar seperti yang sedang heboh sekarang?
Besok, Bu Marsya mengajar di kelasku di jam kedua. Aku harus bersikap seperti apa? Menyimak dengan baik seperti biasa atau memasang wajah seperti maung kelaparan? Kenapa aku harus berada di posisi membingungkan? Apa ini ujian kesabaran?
I've spent all of the love I saved
We were always a losing game
Small town boy in a big arcade
I got addicted to a losing game
Ponsel keluaran Korea berdering. Lagu Arcade memecah kesunyian malam. Aku melirik malas. Siapa yang kurang kerjaan menghubungi orang malam-malam?
Apa orang itu tidak tahu aku sedang memikirkan beban sebesar Neptunus?
Bahkan, Barack Obama saja tidur dengan tenang bila telah tiba masanya istirahat. Kenapa aku tidak bisa?
Aku meraih ponsel dan melihat si penelepon. Rupanya Bang Jack. Senyumku mengembang seketika. Sepertinya, batin kami saling terhubung. Buktinya Bang Jack hadir di saat aku sedang mengalami resah gelisah.
"Abang!" panggilku semangat.
"Ya Allah, assalamualaikum dulu boleh kali, Neng?"
"Waalaikumsalam, Bang."
"Dih, malah dijawab. Eh, maaf gue telepon malam-malam. Soalnya gabut. Di Aceh lagi dingin bener kalau malam. Gue adaptasi dulu selama sehari semalam di hotel."
"Lah, Abang udah sampai Takengon?"
"Belumlah. Besok baru ke sana. Gue nyari hotel dulu di Banda Aceh sambil nunggu jetlag hilang."
"Oh gitu, kirain udah sampai. Eh, katanya dingin, ya? Pantesan suara Abang bindeng."
"Bindeng-bindeng begini gue tetap ganteng, kok."
"Ganteng dari pucuk ubi."
"Gak usah meragukan kegantengan gue. Lo kenapa masih bangun? Udah jam satu ini."
"Jam satu? Jam dua belas kali. Gue kepikiran soal tadi. Pikiran gue terlalu sibuk buat diajak tidur. Dari tadi udah maksa jatohnya malah pusing. Mana tadi Papa ngomong sama gue."
"Ngomong apa?"
"Cerita-cerita kayak biasa, tapi kayak mengisyaratkan gue harus diam dan gak boleh bilang apapun ke Mama. Padahal niat gue emang gak nyampein apapun dulu, biar kita cari tahu terus tembak pas timingnya dapat." Aku pindah tempat dan mulai berguling-guling di atas tempat tidur.
"Mau dengerin cerita gue gak? Ada cerita lucu tadi pas di bandara."
Aku menarik selimut sampai leher dan mulai mendengarkan cerita Bang Jack. Alih-alih menyimak, sepertinya aku lebih fokus mendengar suara berat khas pria dewasa miliknya.
Bang Jack perokok, tapi tidak kecanduan. Masih ada sisa-sisa kelembutan di dalam suaranya. Malah aku candu dengan suara Bang Jack. Pelan, tapi pasti, aku mulai merasa mengantuk. Hingga dunia fana mulai samar, terganti oleh mimpi penghibur alam bawah sadar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Innara Maulida
gimna kalo mama nya tau papa nya selingkuh,,kasin juga mama nya ,,,semoga papa nya nyesel
2024-09-13
0