Monday

Selamat pagi, selamat menikmati hari Senin yang melelahkan. Menurut konsultan, Kathryn Ely, kondisi Monday Blues biasanya disebabkan buruknya kebiasaan makan, tidur, dan berolahraga pada Jumat sore.

Padahal, aku selalu menjaga makan dan pola tidur. Walau kurang suka olahraga, aku sering ikut Mama jalan-jalan pagi sehabis salat Subuh. Mungkin, karena sekolah itu melelahkan. Makanya aku kurang suka.

Usai bersih-bersih, aku pergi ke ruang setrika. Mbak Ute selalu meletakkan pakaian yang sudah disetrika di atas meja panjang. Pakaian kami tidak dicampur. Baju sehari-hari, seragam, baju kantor, dan gaun dipisahkan agar mudah mencarinya.

Aku menarik seragam putih abu dengan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi. Kasihan Mbak Ute sudah lelah-lelah menyetrika, pakaiannya berantakan lagi.

Ketika seragam sudah ada di tangan, aku kembali ke kamar dan mengenakannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Aku harus cepat, kalau tidak bisa terjebak macet.

Artis Haruka boleh saja mengaku seru saat macet karena bisa tidur. Khusus penghuni lama, waktu paling menyebalkan adalah saat sudah keluar rumah dengan perasaan yang diusahakan bahagia, malah hancur karena tertahan di lampu merah.

Aku memasukkan buku-buku ke dalam tas dan terhenti di buku matematika. Seharusnya, aku mulai menyukai pelajaran ini. Akan tetapi, semuanya berakhir.

Pelajaran ini akan tetap menjadi pelajaran yang dihujat sejagat--kecuali Ameena dan sekutunya yang mencintai matematika. Panggilan Mama membuatku semakin mempercepat kegiatan, lalu berlari ke meja makan.

Papa dan Mama tampak saling melempar canda--sekilas tampak bahagia bila mataku tidak menangkap aura aneh di sekitar mereka berdua. Aku berusaha mengabaikan apapun yang mulai tampak.

Fokus utama hanya satu, belajar dulu dengan giat di empat bulan terakhir sebelum ujian nasional tiba. Setelah itu, aku akan lebih fokus lagi mencari tahu soal hubungan Papa dan maung, alias Bu Marsya.

"Morning, Shalihahnya Mama!" sapa Mama sambil mencium keningku.

Aku memeluk Mama dengan erat. "Morning, My Angel!"

"Hi, My Little Girl!" Papa merentangkan tangannya.

"Have a good day, My Guardian Angel!" ucapku diiringi tingkah berlari dan masuk ke dalam pelukan Papa.

"Mau sarapan apa? Nasi atau bubur?" tawar Mama di sela-sela menuangkan susu cokelat dingin ke dalam gelas panjang.

"Bubur, Ma."

"Hari ini, ada ulangan gak?" tanya Papa penuh perhatian.

"Gak ada kayaknya, Pa. Kalaupun ada pasti dadakan, jadi aku udah belajar dari semalam."

Bohong bila aku mengatakan belajar. Mana sempat membuka di kalau pikiran sedang sibuk berandai-andai memikirkan hal yang kemungkinan besar akan terjadi. Setelah itu, aku sibuk overthinking dan memaksakan diri untuk tidur.

Syukur ada Bang Jack yang mengajakku bicara, walau nyatanya malah aku tinggal tidur. Mungkin tanpa pria itu, sampai detik ini tubuhku belum merasakan yang namanya istirahat.

"Dek, terus gimana kelanjutan hubungan kamu sama Jack?" Mama duduk sambil menatap antusias. "Mama udah kebelet pengen punya mantu terus nimang cucu, seru tahu jadi nenek di usia muda."

Pipiku memanas. Belum apa-apa sudah membicarakan soal pernikahan. "Mama, nih. Aku masih SMA. Belum juga ada bau-bau UN. Masa udah ngomongin mantu aja?"

"Kamu itu satu-satunya tumpuan harapan Mama. Gak usah kuliah, deh, apalagi kerja. Langsung nikah aja sama Jack. Mau, kan? Kalau mau, Mama telepon Jack, nih!" Mama mengambil ponsel.

"Ya Allah, Mama!" Aku berseru kesal--nyaris tersedak. "Jangan buru-buru, dong. Jangan telepon Bang Jack juga!"

"Loh, kenapa?" tanya Mama bingung.

"Walaupun Bang Jack deket sama aku, belum tentu juga dia mau. Bang Jack itu jagain aku karena aku temennya Ameena. Bukan karena suka," ujarku spontan.

Mama yang duduk di sampingku, menepuk-nepuk kepalaku sambil geleng-geleng prihatin. Rambut curly-nya bergoyang-goyang.

"Mama udah lama hidup di muka bumi yang penuh ujicoba ini, Dek. Tiap Jack ke sini sama Ameena, dia natap kamu dengan tatapan berbeda. Kamu masih bocah, mana ngerti soal cinta-cintaan."

Diam-diam, aku mengeluh di dalam hati. Sudah tahu putri semata wayangnya masih bocah, masih saja mendesak untuk segera menikah. Eh, tapi boleh juga kalau Bang Jack mau. Selepas mendapat ijazah, aku bisa langsung menikah dan tidak perlu memaksa kepala bekerja lebih ekstra dengan kuliah. Kali ini, aku setuju dengan Mama.

Saat hendak menanggapi, ponsel Papa berbunyi. Tingkah Papa berubah aneh saat melihat siapa yang menelepon.

"Dari Pak Isa. Papa angkat dulu, ya?" izin Papa sembari menjauh.

"Oke, Pa. Cepat, ya? Habisin sarapannya terus langsung berangkat. Kasihan Adek kalau telat. Hari ini, kan, ada upacara. Nanti kena hukum," sahut Mama.

"Iya, Sayang, iya."

Papa berlalu ke ruang tengah. Langkahnya sangat terburu-buru. Aku menjadi curiga. Pak Isa mana yang menelepon di pagi buta sampai menyebabkan Papa belingsatan macam cacing kena siram air sabun begitu? Apa Pak Isa jadi-jadian a.k.a Bu Marsya and the Bear?

Aku hendak bangun, demi mencuri dengar pembicaraan Papa, tapi Mama malah mencegah.

"Adek mau ke mana? Makan dulu sini. Itu buburnya belum ada setengah. Cepat-cepat, Mama gak mau kamu dijemur di lapangan gara-gara telat datang upacara."

"Mau ambil hape, Ma. Telepon Ameena," jawabku tak sabar.

"Sini, telepon pakai hape Mama aja. Pulsa Mama banyak, kok. Mau telepon astronot di luar angkasa juga bisa," ucap Mama ngawur.

"Ah, Mama!" Aku melesak ke kursi dan mengempaskan diri dengan kesal. Sedikit lagi, aku akan mendapat petunjuk tambahan soal sejauh mana hubungan Papa dengan Bu Marsya, tapi Mama malah menyuruhku menghabiskan sarapan.

Mama menatap bingung. "Kenapa, sih? Kok, kesel gitu? Marah, ya, gara-gara Mama gak bolehin ambil hape? Oh, atau jangan-jangan kamu mau telepon Jack? Kenapa gak bilang dari tadi? Tahu gitu Mama bolehin. Ya udah, sana-sana!"

Dengan semangat empat lima aku berlari menuju kamar yang berdekatan dengan ruang tengah. Hatiku berdentum cukup kencang membayangkan banyak hal yang akan aku dapatkan. Pasti Bang Jack senang sekali bila mendapatkan petunjuk baru.

Aku berjinjit-jinjit agar tidak ketahuan, tapi Papa tiba-tiba muncul dari balik tembok dengan air muka resah. Ia kaget melihat aku berdiri di depannya.

"Zahra ngapain di sini?" tanya Papa. Dia lupa menyembunyikan wajah kagetnya yang amat kentara.

"Mau ambil hape di kamar. Bang Jack, kan, ke Aceh. Siapa tahu dia kirim foto atau kabar, gitu," jawabku lancar.

"So sweet," ledek Papa tak sampai ke hati.

"Why not? Kan, calon mantu."

Aku melempar senyum geli lalu berjalan ke kamar dengan perasaan tidak menentu. Aku menatap pantulan tubuh kurusku di cermin. The whole new life is begin. Hidup baru akan segera dimulai. Kali ini musuhku bukan Tiara, tapi Papa.

Ah, rasanya tidak etis sekali menjadikan Papa sebagai musuh. Dia tetap seorang Papa, kepala keluarga, dan suami Mama. Tanganku meraba botol deodoran dan nyaris melemparnya ke cermin.

Namun, seperti ada bisikan di dalam hati. Bisikan yang menenangkan, hingga memenangkan diriku dari lumatan emosi. Aku harus pergi sekolah dan berpura-pura baik-baik saja. Hanya empat bulan. Aku masih harus mempertahankan good attitude di depan Bu Marsya.

Matematika merupakan salah satu dari empat mata pelajaran penting yang akan menjadi penentu lulus atau tidaknya diriku.

Setelah itu aku akan menunjukkan, tempat yang tepat soal kedudukan Bu Marsya. "I'm still younger, gak banyak yang gue bisa. Paling nanti ngomel aja. So, gue harus sabar sampai lulus," gumamku serius.

Suara Mama melengkung tinggi saat memanggil namaku. Mampus, sudah jam enam lewat. Aku langsung berlari ke meja makan dan memaksa Papa segera berangkat.

Setibanya di sekolah, suara ketua OSIS terdengar sedang mengumumkan kepada seluruh siswa-siswi SMA Dwisaka untuk segera berbaris di lapangan.

Aku menyalami tangan Papa dan berlari sekuat tenaga. Usai menyimpan tas di pos satpam, aku berlari lagi ke barisan kelas 3 MIPA A.

"Untunglah," gumamku dengan napas terengah-engah.

"Ke mana aja lu?" tegur Ameena kesal.

"Nyari harta karun!" jawabku asal.

🐅

Upacara bendera berlangsung khidmat. Di sela-sela pembina upacara memberikan wejangan kepada murid-murid SMA Sunda Kelapa tercinta, beberapa orang murid tampak digiring oleh guru BK ke tengah lapangan.

Pembina upacara kebingungan dan menghentikan pidatonya. Dia mulai fokus pada guru BK yang mempunyai perut seperti balon mau meletus. Bukan hendak mengatai guru, faktanya seperti itu.

Dengan perut sebesar itu, ditambah lagi kepalanya yang bulat dan botak, siswa-siswi yang melihatnya sering merasa gerah sendiri--termasuk aku.

Cuaca berubah menjadi dua kali lebih panas gara-gara melihat guru laki-laki bernama Pak Thomas itu. Kebetulan, matanya juga bulat dan besar seperti kereta api Thomas dalam kartun anak-anak tersebut. Jadi, ruang BK semakin angker karena beliau.

"Psstt, Pak Thomas dapet mangsa lagi!" bisik Ameena.

Tanpa menghiraukan bisikan Ameena, aku mencoba bergeser ke belakang teman sekelas yang memiliki tubuh tinggi besar. Gendernya boleh perempuan, tapi masalah badan, teman laki-laki lain kalah kekar. Setelah mendapat posisi aman dari terik matahari, aku menoleh sedikit pada Ameena.

"Kalau gue telat, pasti berakhir di sana. Untung masih ada kesempatan buat masuk."

"Makanya, jangan kebanyakan drama. Pasti lo sibuk minta tambahan jajan, kan?" tuding Ameena.

"Sembarangan lu, Elmina. Mama gue cuma punya satu anak. Tanpa diminta pun jajan gue bakalan ditambah terus. Gak tahu aja gue suka ngumpulin duit dari Papa sama Mama tiap pagi," balasku dengan wajah bangga.

"Nama gue Ameena. Ameena, bukan Elmina. Abah gue motong kambing buat ngasih nama, lu seenaknya aja ganti-ganti," geram Ameena tak terima.

Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Seperti ada seseorang berdiri di belakangku. Padahal, aku dan Ameena berada di barisan paling belakang.

"Kalian mau saya giring ke tengah lapangan juga?" bisik seseorang.

Aku terlonjak kaget. Wajah seram petugas PMR melongok di antara kepalaku dan Ameena. Kami langsung diam dan memfokuskan pandangan ke tengah lapangan. Pak Thomas girang sekali saat dipuji kepala sekolah selaku pembina upacara. Pasti nanti beliau mendapat traktiran makan siang di kantin Mbak Dian.

Wah, enak sekali jadi guru BK. Tinggal tangkap siswa nakal, makan siang dan uang rokok pun aman.

Salah satu dari mereka tampak tersenyum bodoh walau dimarahi oleh Pak Thomas sepanjang waktu berlalu. Aku mengenalnya. Namanya Frans. Bocah tengil yang sialnya satu kelas denganku. Kerjaannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengganggu ketenangan hidupku.

Telat adalah hal yang sudah biasa bagi Frans. Bolos, menjadi langganan. Aku tidak mengerti kenapa ada orang seberani Frans.

"Oke, hukuman kali ini cukup ringan. Kalian cukup mengucapkan perjanjian di depan seluruh siswa-siswi Dwisaka, kalau kalian tidak akan berbuat onar dan telat lagi. Dimulai dari kamu, Frans!" tunjuk kepala sekolah, Pak Djarot.

"Siap, Pak!" Frans berkata lantang dan maju ke depan mik. "Bentar, mana Dedek Emesh gue? Zahra, nyaut lo! Gue gak bisa lihat, nih, walaupun bisa ngerasain kehadiran lo!"

Sorak sorai terdengar menyebalkan. Aku berusaha bersembunyi sekuat tenaga, tapi Ameena malah menarik tanganku dan membuatnya teracung tinggi ke udara.

"Nah, itu dia!" Frans membungkuk sopan pada Pak Djarot yang terlihat kesal. "Maaf, Pak. Saya nyari jodoh saya dulu barusan."

Sial, aku rencananya mau suka sama Bang Jack. Bukan Frans!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!