Kenapa Harus Bu Marsya?

Di antara ribuan wanita di Jakarta, Bu Marsya yang menjadi maung, eh, selingkuhan Papa. Apakah Papa sangat kebelet selingkuh, tapi tidak laku makanya menggaet Bu Marsya, guru matematika di sekolahku?

Tidak juga, Papa merupakan juara di pemilihan Abang None saat masih muda dulu. Sampai usia empat puluhan pun Papa masih sangat ganteng. Apa karena kegantengan Papa menarik perhatian Bu Marsya, makanya mereka saling mencintai?

Creepy sekali hubungan percintaan dua orang dewasa ini. Ibarat kata, aku sedang menyaksikan rakit bambu sedang bersiap berlayar di lautan lepas.

Bila tidak ada gelombang maka pengemudinya akan disantap ikan hiu. Bila ada gelombang besar, akan karam dan tak sempat menatap cerobong asap di pelabuhan. Bila tidak ada aral melintang, bisa saja di tengah samudra ditelan pusaran air mematikan.

Beresiko sekali. Aku menatap Bu Marsya dengan tatapan kurang yakin. Serius, wanita itu akan melawan Kanjeng Ratu di rumahku?

Bukan bermaksud melecehkan penampilan seseorang, tapi Mama tidak bisa dibandingkan dengan Bu Marsya dari sudut manapun. Mata Papa mungkin mengalami rabun senja atau silindris. Kapan-kapan aku harus mengajaknya ke optik biar diperiksa. Barangkali, ada kacamata untuk menutupi bakat mata keranjang.

"Zahra, kok, kamu lihat saya kayak gitu?" Bu Marsya tersenyum agak takut.

"Hah? Kenapa, Bu?" Aku berkaca di layar ponsel tanpa mengubah ekspresi. Mengerikan sekali, seperti maung lapar yang disuguhi pemandangan daging kancil yang sudah busuk.

"Wajah kamu agak menyeramkan saat menatap saya tadi," ucap Bu Marsya.

"Ini standar, Bu. Kalau marah, saya berubah jadi maung."

Tanpa dinyana, ucapanku membuat Bu Marsya tertawa. Dikiranya, mungkin aku sedang bercanda. Padahal aku serius, Papa saksinya.

Aku pernah marah--dalam artian yang sesungguhnya, saat salah satu adik Mama memaksa Engkong dikremasi, padahal Engkong sudah Islam semenjak Mama mualaf dua puluh tahun yang lalu. Saat itu, aku benar-benar mengamuk dan nyaris membakar satu rumah kalau tidak dihentikan oleh Mama.

Aku tidak suka bila ada kegiatan usik mengusik. Terutama soal kehidupan. Masalah Bu Marsya yang menjadi selingkuhan Papa, aku bisa bersikap manis sembari memupuk kesabaran dalam hati--marahnya disimpan terlebih dahulu.

Aku akan menghukum Papa dan Bu Marsya dengan caraku sendiri. Bukan melibatkan emosi yang nantinya akan membakar orang-orang sekitar seperti sifat api.

"Bu Marsya lagi jalan-jalan juga?" tanyaku sopan.

"Iya, kebetulan ketemu sama Papa kamu. Jadi, kami mampir di sini sebentar untuk mengobrol biasa. Ya, seperti menjawab pertanyaan soal perkembangan kamu di sekolah."

"Iya, sih. Kayaknya, Bu Marsya cukup akrab sama Papa. Soalnya, pas saya sampai di sini, kalian pegangan tangan. Jangan begitu lagi, dong, Bu. Sebagai kawula muda, saya malu lihatnya. Ya, mungkin udah jadi kebiasaan Ibu terlalu akrab dengan orang, tapi jangan sampai pegangan tangan juga. Saya sama Bang Jack aja gak pernah bersentuhan tanpa sekat."

Celotehanku membuat wajah Bu Marsya pucat. "Kamu ngomong apa, sih?"

"Gak ngomong apa-apa. Lupain aja."

"Zahra, kamu sama Jack ada hubungan apa?"

"Aku sama Bang Jack? Emangnya Ibu kenal sama Bang Jack?"

"Saya hanya bertanya."

"Gak boleh nanya-nanya, Bu. Itu sok akrab namanya."

"Zahra!" sentak Bu Marsya. "Saya ini guru kamu. Harusnya, kamu menunjukkan sikap hormat terhadap orang yang mengajarkan kamu di sekolah!"

"Stop!" Aku mengangkat tangan kanan--nyaris mengenai wajahnya. "Ibu jangan marah-marah sama saya hanya karena saya gak kasih tahu apa hubungan saya sama Bang Jack."

"Zahra!"

Alih-alih memedulikan Bu Marsya yang tersinggung, aku malah menatap ke arah pintu keluar kedai. Barangkali, Bang Jack muncul dari sana untuk menemuiku dan membantu memberantas kebosanan yang melanda.

Sedikit pemberitahuan, Bu Marsya merupakan salah satu guru killer di sekolah. Aku sempat menaruh rasa hormat karena cara mengajarnya sangat menyenangkan walau dianggap killer.

Namun, dapat kupastikan, mulai dari hari ini aku akan mengenyahkan rasa hormat itu dari dalam hatiku. Percuma menjadi tenaga pendidik bila di samping mengajar, Bu Marsya merebut suami orang.

Merebut Papa dariku dan dari Mama. Itu merupakan perbuatan tidak menyenangkan. Aku tidak suka.

Saat aku tak sengaja melihat Bu Marsya, wanita itu tampak meletakkan tangan kiri di perutnya. Seperti tingkah wanita hamil yang melindungi kandungannya dari ancaman bahaya.

Dengan tatapan tajam aku menatap Bu Marsya. Kalau benar Bu Marsya hamil, berarti hubungan dia dengan Papa sudah sejauh itu?

"Wih, sorry. Gue telat bawain minumnya Incess!" Sahabatnya Bang Jack yang bekerja di sini berseru heboh, namanya Bang Udin--nama aslinya Benedict. "Lah, si Jack mana? Perasaan tadi dia pamit buat nemenin lo."

Aku menatap latte dan dua milkshake cokelat. "Gak masalah. Bang Jack agi ada urusan bentar, Bang. Ini pesanan siapa? Gue gak ada bilang mau milkshake tadi."

"Emang bukan lo yang pesan, Jack yang suruh lewat WA. Makanya lama karena bikin yang ini lagi."

"Bang Jack pengertian banget sama gue."

"Namanya juga bucin. Lo mau cemilan gak? Biar sekalian gue suruh bikinin? Mau apa? Sebutin aja. Kentang goreng, donat, kebab, roti canai, roti bakar, atau lo mau gue bawain samyang mozarella?" tawar Bang Udin serius.

"Kalau makan, gak kayaknya. Gue minta tolong bungkusin roti bakar cokelat sama samyang mozarella, ya? Masing-masing dua porsi."

"Sedikit amat?"

"Mama gue gak doyan makanan luar, apalagi yang berlemak. Mama vegetarian."

"Oke, nanti kalau mau balik, bilang ke gue biar gue ambilin. Udah, ya? Gue mau lanjut kerja. Gaji gue harus aman sampai akhir bulan buat bayar cicilan motor," seloroh Bang Udin.

Para pegawai Bang Jack perhatian sekali sama aku setelah kabar hoax beredar--kalau aku pacaran dengan Bang Jack. Mereka memperlakukan aku seperti adik sendiri, ketulusannya tampak jelas di mata masing-masing.

Walaupun begitu, Bang Jack mewanti-wanti untuk menolak ajakan ke luar dari mereka. Bukan tidak mungkin ada bisikan setan saat sedang bepergian. Aku sempat protes soal tuduhan itu, tapi dia tidak mau mendengar. Insting laki-laki tidak pernah salah, katanya.

"Mereka akrab sekali sama kamu, bahkan memperlakukan kamu layaknya ratu. Apa kamu sering datang ke mari atau bergaul di luar dengan mereka?" tanya Bu Marsya penuh selidik.

"Bu, laki-laki tahu mana yang pantas dijadikan ratu dan mana yang pantas dijadikan mainan. Saya ini bukan tipikal gadis gampangan yang menerima ajakan laki-laki dengan mudah. Tanya aja Papa, pasti Papa lebih mengenal saya dibanding Ibu," jawabku tenang.

"Saya gak bermaksud mengatakan kamu seperti itu," ujar Bu Marsya cepat.

"Saya juga gak merasa Ibu sedang mengata-ngatai saya. Bu, kata Mama, perempuan yang terlalu mudah 'dipakai' akan lebih mudah ditinggalkan." Aku memberi tanda kutip dengan jari ketika mengucap kata dipakai. Sengaja.

"Ya, kamu benar."

Ajaran Mama memang benar. Dilihat dari segi manapun tak ditemukan celah untuk dibilang salah.

Sejak tadi, aku sedang menahan diri untuk tidak marah-marah. Bukan mudah melakukannya. Mungkin, aku harus mengubah topik agar kepala tidak panas sebab dipaksa berhenti berpikir.

"Ibu suka es krim, gak?" tanyaku.

"Ah!" Bu Marsya kaget. "Ya, saya suka."

"Rasa apa?"

"Vanila. Kamu suka rasa apa?"

"Saya gak suka es krim." Sebenarnya aku suka, tapi gengsi kalau memiliki persamaan dengan maung, eh, selingkuhan Papa.

"Zahra!" Bang Jack memanggil dari kejauhan.

Aku mengembangkan senyuman. Akhirnya, Bang Jack balik juga. Matanya sedikit melebar saat melihat tiga minuman baru di atas meja. Aku tersenyum geli dan beralih menatap Papa, yang entah kenapa, ekspresinya tidak terbaca.

"Minumannya udah diantar? Siapa yang anterin?" tanya Bang Jack tanpa berniat bergeser dari sampingku. Dia langsung duduk dan membuat batas antara aku dengan Papa. Duh, baik sekali.

"Bang Udin, tadi Bu Marsya nanya, kenapa Bang Udin baik banget sama aku terus nge-treat aku kayak ratu. Apa aku sering ke sini atau ke luar bareng Abang sama yang lain. Mungkin Bu Marsya heran kenapa orang-orang sini pada baik sama aku," ceritaku dengan sengaja.

"Oh iya?" Kepala Bang Jack berputar ke arah Bu Marsya. "Selamat siang, Bu. Saya Jack. Maaf, tadi gak sempat kenalan karena mau ngobrol sama Om Umar. Zahra ini tipikal gadis tak tersentuh yang gampang bikin orang sayang sama dia. Makanya, saya berusaha jagain dia dari siapapun, tanpa pengecualian."

"Saya Marsya, gurunya Zahra di sekolah. Maaf, saya gak bermaksud menuduh Zahra atau apa," balas Bu Marsya ramah.

"Saya mengerti kekhawatiran seorang guru. Kebetulan, saya kenal Mamanya Zahra. Jadi, kami udah saling percaya. Saya cukup sering anterin Zahra pulang." Bang Jack kembali menatapku. "Minumannya mau dibungkus aja atau diminum sekarang?"

"Kok, buru-buru?" Aku merengut.

"Ngejar waktu, gue mau nganterin lo pulang, tapi mampir dulu di toko buku. Ada beberapa buku yang harus gue beli buat nyusun skripsi."

"Toko buku? Mau, mau. Sekalian nyari bacaan buat di rumah. Kalau gitu, minumannya bungkus aja, deh. Sekalian roti bakar sama samyang mozarella pesanan gue." Perbedaan usia kami empat tahun, Bang Jack sudah menyusun skripsi dan aku masih di bangku SMA kelas tiga.

"Pamit dulu sama Papa, sama Bu Marsya juga."

Aku berpura-pura menjadi anak manis. "Papa, aku pulang dulu, ya?"

"Kamu pulang sama Papa aja."

"Aku mau jalan-jalan sama Bang Jack. Lagian, Mama tahu Bang Jack gak bakalan aneh-aneh. Papa baru kenal, sih."

"Siapa tahu setan masuk pas kalian berduaan?"

"Kayak Papa sama Bu Marsya?" tembakku tak sabar.

Sinar mata Papa redup. "Zahra, apa maksud kamu?"

"Lupain, Pa. Aku asal ngomong aja. Pamit, Pa, Bu!"

Aku menyalami tangan mereka berdua dan langsung mengikuti Bang Jack ke kasir. Kali ini semua makanan yang aku pesan gratis, kecuali minuman.

Aku tahu Bang Jack mengajakku pergi karena hendak mengatakan sesuatu. Perihal pembicaraan dia sama Papa, misalnya. Atau hendak melarangku menceritakan kejadian hari ini pada Mama. Tanpa diminta, kejadian hari ini akan tetap menjadi rahasia.

Sesampainya di toko buku, Bang Jack tidak langsung masuk. Dia tampak sedang berpikir keras dan berbalik menatapku. "Apapun yang terjadi hari ini, gue harap lo gak bilang apapun sama Tante Dev."

"Kenapa?"

"Gue gak yakin sama permintaan barusan, tapi gue rasa hubungan Papa lo sama Bu Marsya bukan sekadar pacaran lagi. Gue juga gak yakin sama pemikiran gue sendiri, tapi gue janji bakal cari tahu soal itu."

"Bang Jack kenal Papa dengan baik. Bang Jack yakin bakalan nyari tahu soal Papa?"

Bang Jack mengangguk beberapa kali dengan tatapan nanar. "Gue tahu niat lo, Ra."

Aku menghindari tatapannya. "Niat apa? Gue gak lagi ngerencanain apa-apa."

"Percuma bohongin gue."

"Udah, ah. Ayo, masuk. Gue mau nyari novel Kang Abik." Aku melengos.

"Zahra!" panggil Bang Jack.

"Apa?"

"Tanpa gue gerak pun, lo pasti bakalan nyari tahu sendiri dan menjerat mereka dengan halus. Lo masih usia belasan tahun dan gak tahu dunia luar sekejam apa. Gue harap, jangan lakuin apapun yang nantinya malah bikin lo masuk ke dalam bahaya."

Aku tahu, Bang Jack akan melindungiku lebih dari apapun karena pertemanan kami. Akan tetapi, kalau diucapkan dengan nada tegas seperti itu, rasa-rasanya aku meleyot.

Bang Jack tipikal pria manis berkumis tipis, yang kalau tersenyum akan mengundang gadis-gadis manis untuk berbaris. Gula tebu, lewat. Reza Rahadian, lewat--sedikit. Apa aku bilang sama Mama, untuk mengadakan acara pertunangan segera?

"Dengerin gue, gak?"

"Iya, Bang." Gak janji, sambungku dalam hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!