Tak biasa, Nana jadi jengah dengan kondisinya yang hanya berbalut handuk. Akhirnya ia menutupi tubuhnya dengan selimut, sampai akhirnya hanya wajahnya dan kepalanya saja yang tersembul.
"Kamu tak mengenali saya?" tanya Bim sedikit heran.
Nana menatap wajah Bim, dan memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki tetap Nana tidak mengenalinya dan gelengan kepala memastikan Bim jika Nana tak ingat pada dirinya.
Mana bisa lupa dengan wajah oriental nya. Apa lagi tahi lalat yang dikenang, yang dulu sering di pegang jika menggodanya.
Tapi Nana sedikitpun tak ingat dengan Bim.
"Kamu Vita Cahyani kan? " tanya Bim memastikan.
Nana hanya mengangguk sambil mengingat ingat wajah tampan laki laki di depannya, tapi Nana tetap lupa.
Dia pun mengingat ingat pelanggan yang pernah memakai jasanya, tetap tidak ingat.
"Anaknya Pak Ali dan Ibu Amih?" masih juga Bim menguatkan ingatannya.
Sambil mengerenyitkan kening, untuk mengingat laki laki di depannya Nana menyerah.
Ia memang bukan orang cerdas waktu di sekolah dulu, karena itu daya ingatnya terbatas.
"Om kenal saya begitu mendalam, dulu pernah tinggal di cikahuripan?" Nana langsung menebak.
"Ingat Abah Didin yang rumahnya disamping Abah Jaja?" Balas Bim kemudian.
"Oh.... anaknya Abah Didin tea?" sambil mengingat ingat nama dari laki laki yang usianya lebih tua 5 tahun darinya dan laki laki di depannya adalah teman teh Utik yang kini sudah almarhumah.
"Saya Bimbim, yang sering main ke rumah sama Jaelani dan Asep," Bim berusaha mengingatkan Nana.
"Ya ampun.... akang bimbim, pangling, sekarang teh kasep," jawab Nana senang.
Bimbim yang dulu nana kenal gemuk, rada hitam tapi sekarang putih, badan bidang dan gagah. pantas saja Nana tidak mengenalinya.
"Kang bim kelihatan jadi orang sukses nya kang, kabar abah Didin bagaimana kang? "
"sudah meninggal waktu akang kelas 2 SMP, akhirnya akang pindah ke Jakarta diasuh Om Dodi, adiknya Abah," Bim menjelaskan.
"dua tahun Abah Didin meninggal, menyusul bapak dan teh Utik, mereka terkena tanah longsor kang," meledak tiba tiba tangis Nana yang masih menggunakan handuk dibalut seprai. Bim terhentak kaget dan langsung terucap
"Innalilahi wa innalilahi rojiun," akang baru dengar Neng. Bim ikut berduka.
"Dari situlah kang, penderitaan Neng datang bertubi tubi. setelah bapak meninggal dan rumah tak bisa lagi diperbaiki karena terkubur tanah. Neng, adik dan mamah ikut juragan Pepen tapi kebaikannya hanya topeng, karena neng diperkosa tanpa sepengetahuan mamah akhirnya neng hamil, untuk menutupi malu, neng pun lari dari rumah itu ke Bandung kang, biar aib yang neng tanggung tak ada yang tahu. Neng melahirkan di sebuah kebun, untung ada orang yang lihat dan neng dibantu. Tidak lama tinggal di sana, karena neng malu menumpang pada orang akhirnya dengan terpaksa, neng menerima pekerjaan menjadi ******* kang," meledak tangis nana lagi menceritakan kegetiran hidupnya.
Bim yang mendengar penuturan Nana begitu geram dan wajahnya begitu tegang.
"Neng sebetulnya malu menceritakan ini semua kang, tapi karena Kang Bim sudah neng anggap saudara, neng jadi berani mengungkapkan kegetiran hidup neng ini," masih sesenggukan Nana menceritakan semua kepedihan yang dialaminya.
Bim kini baru menyadari bahwa dia tidak sendirian, ada orang lain yang lebih menderita dari dirinya. Kini Bim bisa lebih tegar lagi dalam mengatasi kepahitan dan kegetiran hidupnya.
"Neng, Insyaallah akang akan membantu neng," janji Bim tegas. Mendengar itu Nana menangis sejadi jadinya, antara gembira, kaget. kini Nana merasa punya malaikat yang bisa menjadi penjaganya dari serigala- serigala yang akan menerkamnya.
"Akang mau keluar dulu, membeli baju untuk neng ya." Nana langsung mengangguk setuju, karena sejak tadi dia hanya berlapis handuk.
Nana kini merasa gembira yang tak bisa dilukiskan. Ia percaya dengan janji Bim. Beban yang sebelumnya begitu membebaninya, kini mulai terasa ringan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments