DORR!
DORR!
“LARI! CEPAT LARI, GIZEL!”
“JANGAN… JANGAN!!”
DUAARR!
“API!! LEDAKAN!! AWAS!!”
“Akhh…”
Gizel terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Keringat membanjiri kening dan lehernya, tubuhnya gemetar. Ia memegangi kepala yang terasa berdenyut hebat.
“Mimpi itu lagi… Kenapa kejadian itu terus-menerus menghantuiku?” gumamnya lirih.
Tangannya meraba nakas dan meraih sebuah bingkai foto. Di dalamnya, tampak wajah bahagia ayah dan ibunya. Keluarga yang kini hanya bisa ia kenang.
“Ayah, Ibu… Aku rindu. Tiga tahun aku hidup sendiri tanpa kalian… Hiks…” Air matanya luruh begitu saja. Ia tak sanggup menahan rasa kehilangan yang mengendap selama ini. Tragedi yang membuatnya hanya bisa melarikan diri tanpa sempat menyelamatkan siapapun.
Namun, waktu terus berjalan. Gizel mengusap air matanya, menarik napas panjang, dan bangkit dari tempat tidur.
“Astaga! Hari ini ada pesanan bunga! Aku harus segera ke toko.”
Ia membersihkan diri, lalu mengenakan pakaian kerjanya. Beberapa saat kemudian, ia turun ke lantai bawah, menuju toko bunga kecil miliknya—satu-satunya sumber penghasilan yang ia andalkan untuk bertahan hidup.
Toko bunga itu sekaligus menjadi tempat tinggalnya, berada di pinggiran kota besar. Meski kecil, toko itu cukup ramai karena keahliannya dalam merangkai bunga yang cantik dan penuh makna.
Setelah menyantap sarapan seadanya, Gizel mulai sibuk menyiapkan lima pesanan bunga.
TING TONG
Bunyi lonceng di atas pintu berbunyi, menandakan ada pelanggan datang. Gizel segera menyambut dengan senyum ramah.
“Selamat datang, silakan masuk,” ucapnya hangat.
Beberapa pelanggan mengambil pesanan, ada pula yang langsung memilih bunga di tempat. Gizel melayani mereka semua dengan senyum tulus—karena inilah yang bisa ia lakukan untuk bertahan. Merangkai bunga, merangkai harapan.
⸻
Di sisi lain kota, berdiri sebuah mansion megah di pinggir sungai, tak jauh dari hutan lebat. Tak ada satu rumah pun di sekitar sana, karena luas dan privasinya yang terjaga menjadikan mansion itu berdiri sendiri.
“Tuan, saya sudah mengosongkan seluruh jadwal Anda hari ini,” ucap seorang pria berjas hitam.
Seorang pria berdiri membelakanginya, bertubuh tegap, mengenakan setelan hitam elegan, namun wajahnya dingin bak es.
“Kita pergi membeli bunga. Hari ini hari istimewa untuk ibuku,” ucapnya tanpa ekspresi.
“Baik, Tuan,” jawab si pria dengan hormat, lalu segera menyiapkan mobil.
Mereka berkeliling kota, tapi toko bunga langganan mereka sedang direnovasi.
“Tuan, kita sudah menyusuri beberapa tempat, tapi tak ada toko bunga yang buka.”
“Cari sampai ketemu! Aku tidak mau tahu!” Suara tegas dan tajam itu membuat pengawalnya bergidik ngeri.
“Ba… baik, Tuan.”
Mereka pun mulai menyusuri jalanan kecil yang tak biasa dilewati. Sampai akhirnya, sebuah toko bunga kecil di pinggir jalan menarik perhatian sang pria.
“Berhenti. Toko itu saja!”
“Tapi biasanya Anda tidak suka membeli bunga dari toko kecil untuk Nyonya Besar, Tuan,” ucap asistennya ragu.
“Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja!”
Mobil diparkir. Sang pria turun seorang diri, berjalan menuju pintu dan mendorongnya hingga bel di atas pintu berbunyi.
Dari balik etalase, muncullah seorang wanita muda dengan senyum lembut yang memikat.
“Selamat datang, Tuan.”
“Aku butuh bunga untuk ibuku,” jawab pria itu singkat.
“Jika berkenan, boleh saya tahu bunga kesukaan beliau?”
“Aku tidak tahu. Buat saja yang paling indah.”
“Baik, tunggu sekitar 20 menit. Apa Anda bersedia menunggu?”
“Hm. Silakan.” Ia duduk di sofa, memperhatikannya dalam diam.
Gizel mulai merangkai bunga dengan tangan terampilnya. Gerakannya lembut, penuh ketelitian, seolah ia sedang menenun cinta dalam setiap kelopak.
Tatapan pria itu tak lepas darinya. Ada sesuatu dari wanita ini—ketenangan, keanggunan, ketulusan—yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan.
20 menit kemudian…
“Tuan, ini bunga Anda. Jika ada yang kurang, saya bisa menambahkan.”
Ia menerima buket itu. “Ini bunga apa saja?”
“Yang putih ini Daisy, melambangkan ketenangan dan kebaikan. Yang berwarna biru lembut ini Cammon Bluebell, untuk kelembutan. Dan yang kuning ini Buttercup, melambangkan kebahagiaan.”
Ia terdiam, lalu mengangguk kecil. “Aku suka.”
“Terima kasih, Tuan.”
Ia menyerahkan sejumlah uang yang menurut Gizel terlalu banyak.
“Maaf, Tuan… Ini terlalu banyak. Harga buketnya tak semahal ini.”
“Anggap saja itu bonus, untuk buketnya yang indah.” Ia berbalik dan meninggalkan toko sebelum Gizel sempat membalas.
“Tunggu… Tapi, Tuan…” Gizel sempat mengejar, namun mobil itu sudah melaju pergi.
“Ah… Dia sudah pergi. Akan kukembalikan saat bertemu lagi.” Ia masuk kembali ke tokonya, masih memegang uang itu dengan canggung.
Sementara itu, di dalam mobil…
“Cantik… seperti pemilik bunganya,” gumam sang pria sambil tersenyum miring. Jarang ia memuji wanita, karena hampir semua yang mendekatinya hanya ingin memanfaatkan ketenarannya—baik dalam dunia hitam maupun bisnis legalnya.
Namun kali ini berbeda. Mata Hazel wanita itu begitu menenangkan, suaranya lembut, membuat hatinya yang beku seolah mencair sejenak.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di tempat tujuan.
Ia turun dari mobil dan melangkah menuju sebuah makam bertuliskan nama: Ana Alexandra.
“Ibu, aku datang. Selamat ulang tahun. Lihat, aku membawakanmu bunga yang cantik,” ucapnya lembut, menaruh buket di atas makam itu.
“Seandainya Ibu masih ada, pasti Ibu akan menyukainya. Aku membeli bunga ini dari seorang gadis… ya, dia cantik. Kau pasti terkejut mendengarnya, karena aku hampir tak pernah memuji wanita.”
Ia duduk sejenak di hadapan nisan itu, menatap nama yang terukir di sana dengan mata memerah.
“Ibu, tenanglah di sana. Aku, Arion Aleksei, akan selalu melindungi nama dan kehormatanmu. Aku akan membalas semua yang telah menyakitimu.”
Tangannya mengepal. Nafasnya dalam.
“Aku pergi dulu, Ibu. Aku tak bisa berlama-lama.”
Arion, pria tampan berbalut kekuasaan dan dendam, adalah pemilik kekaisaran bisnis dan dunia hitam. Di balik ketenangannya, tersembunyi sosok kejam yang tak segan menghabisi siapa pun yang menyentuh keluarganya. Sejak ibunya terbunuh oleh seseorang yang ia anggap sebagai keluarga bahkan rekan baik, Arion menjelma menjadi sosok yang bahkan ditakuti oleh para mafia lain.
“Kita pulang sekarang,” ucapnya pada Bruno.
“Baik, Tuan. Tapi… Tuan Charles telah kembali. Ia sedang menunggu Anda di mansion.”
“Aku tahu.”
Tanpa sepatah kata pun lagi, Arion masuk ke mobil. Dan roda takdir pun mulai berputar…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Andriana Putri
Tekyuu🫶🏻
2024-09-06
0
🥔Potato of evil✨
Seru banget deh!
2024-09-05
1